Klikfranchise

Klikfranchise.com - Tempat


Our Blogs

Blog post
18 Mei'23

Pro Kontra Merek Milik Perorangan

Beberapa merek dan waralaba yang semula merek perorangan, dialihkan kepemilikannya ke badan hukum pemberi waralaba. Meski demikian, ada konsultan dan lawyer Hak Kekayaan Intelektual yang menyarankan agar merek tetap dipertahankan sebagai milik perorangan. Bagaimana sebenarnya peta pro dan kontranya, kalau merek dipertahankan sebagai milik perorangan? Pro Bila para pemegang saham di badan hukum tersebut suatu saat akan mengalami konflik, dan Anda adalah penemu merek dan konsep bisnisnya, maka Anda akan kesulitan untuk menguasai kembali kepemilikan atas merek tersebut. Jadi dalam kasus seperti ini, kepemilikan merek sebagai milik perorangan, yang kemudian memberikan hak kepada PT untuk mewaralabakan, bisa dianggap lebih aman. Bila Anda ingin memperoleh royalti atas merek dan model bisnis yang kemudian dikembangkan menjadi jaringan waralaba bersama para pemegang saham di PT tersebut, maka memilih kepemilikan merek sebagai milik perorangan, yang kemudian memberikan lisensi kepada PT dengan imbalan royalti adalah pilihan yang tepat. Kontra Kepemilikan merek yang berbeda pihak antara pemilik merek dengan pemberi waralaba tentu akan mengakibatkan rasa tidak nyaman bagi beberapa franchisee (penerima waralaba), apalagi jika pemberian hak kepada PT tidak jelas batas waktunya. Hal ini bisa  disiasati dengan membuat Perjanjian Waralaba yang menjelaskan bahwa royalti dibayarkan kepada perorangan pemilik merek yang sah, sementara PT franchisor (pemberi waralaba) menerima jasa konsultasi manajemennya. Hal lain yang menjadi kekurangan dari kepemilikan merek oleh perorangan adalah proses yang menyangkut persoalan waris nantinya. * Baca juga artikel berjudul Merek Atas Nama Perorangan vs PT Bukan Hanya Merek Persoalan mengenai HKI sebenarnya bukan hanya persoalan Merek. Dalam bisnis kuliner misalnya, ada unsur HKI berupa resep rahasia, atau bumbu inti, yang bisa dilindungi sebagai Hak Kekayaan Intelektual. Dalam hal ini Anda dihadapkan pada 2 pilihan pula: milik perorangan, atau milik badan hukum perusahaan yang menjadi franchisor (pemberi waralaba) bila hendak diwaralabakan. Semoga tulisan ini memberikan wawasan yang lebih luas dalam mengambil keputusan, apakah merek anda hendak didaftarkan atas nama perorangan, atau badan hukum.    

Read More (122 views)
Blog post
04 Mei'23

Franchises Went Wrong


Beberapa merek waralaba bergerak ke arah yang salah! Apa saja tanda-tandanya? Fokus Jualan Unit Waralabanya Jual Waralaba Grosiran Biaya-Biaya Waralaba Terlalu Tinggi Fokus Jualan Unit Waralaba Fokus jualan unit waralaba berarti fokusnya adalah membuka unit waralaba sebanyak-banyaknya. Salah satu contoh dari fokus yang keliru seperti ini adalah fenomena banyaknya gerobak yang mangkrak, tidak sedikit juga yang hidup segan mati tak mau. Contoh lainnya adalah banyak waralaba yang gagal karena salah lokasi. Penyebabnya adalah karena franchisor kejar setoran, seleksi kandidat franchisee dan seleksi lokasi hanya formalitas belaka. Semua (atau hampir semua) seleksi dilakukan asal-asalan dan ujung-ujungnya disetujui. Tentu membuka unit waralaba sebanyak-banyaknya bukan hal yang tabu, bila hal ini dilakukan dengan benar, seleksi franchisee dan lokasi dilakukan sesuai standar, sistem support juga dibangun sesuai kebutuhan dan jumlah outletnya. Jual Waralaba Grosiran Sedikit berbeda dari “fokus jualan unit waralaba”, fenomena dan perilaku menjual waralaba grosiran ini dipicu oleh keserakahan. Franchisor menawarkan hak semacam distributor eksklusif kepada pemilik modal, misal untuk satu kota/kabupaten, atau satu provinsi. Dengan demikian franchisor dapat menerima biaya waralaba yang relatif tinggi di muka dengan kemasan “hak eksklusif” tersebut. Franchisee yang menjadi semacam master franchisee tergiur karena bisa menjual unit-unit waralaba sebanyak-banyaknya di lokasi-lokasi dalam area eksklusifnya. Akibat dari penjualan franchise grosiran ini adalah fenomena “fokus jualan unit waralaba” menjadi pola dan modus para “master franchisee”. Master Franchising sebenarnya bukan hal yang tabu, tentu saja dengan syarat bahwa model bisnisnya (baca profit bisnisnya) masih layak dikembangkan hingga 3 level (franchisor, master franchisee, dan unit franchisee). Yang dimaksud dengan model bisnis ini adalah kinerja keuangan, profit di level unit franchisee cukup baik untuk kepentingan balik modal mereka, dan alokasi biaya bulanan bagi master franchisee juga cukup untuk menjalankan bisnis maupun system support di wilayahnya. Persoalannya adalah, banyak yang tidak peduli hal-hal fundamental tersebut, dan memang dipicu oleh keserakahan, instant money, dan mental “get rich quick” yang merugikan pihak lain. Franchisor mengejar keuntungan di muka secepatnya, dan master franchisee mengejar pengembalian modal dan keuntungan sebesar-besarnya dengan menjual unit franchise tapi mengabaikan kinerja bisnis para unit franchisee mereka. Biaya-Biaya Waralaba Terlalu Tinggi Keserakahan, instant money, dan mental “get rich quick” juga menyebabkan banyak waralaba yang dijual dengan biaya-biaya yang mencekik dompet franchisee. Beberapa dari franchisor ini mungkin tidak memahami kesalahan mereka karena terbujuk rayuan oknum yang menjanjikan keuntungan besar melalui franchising bisnis mereka. Beberapa dari franchisor ini sebenarnya simply tidak memahami cara menghitung biaya-biaya waralaba. Awalnya mereka menjual waralaba dengan harga terlalu murah, tumbuh sangat cepat (dan memang menguntungkan bagi franchisee), kemudian mulai menaikkan harga dan biaya-biaya waralaba secara perlahan atau bertahap, hingga akhirnya franchisee yang belakangan tidak mampu meraih keuntungan. Sound familiar? Merek-merek waralaba yang terlihat memiliki ciri-ciri tersebut sebaiknya Anda hindari.  

Read More (145 views)
Blog post
18 Apr'23

Wajarkah Target Sales-nya?

Makin maraknya penawaran peluang waralaba dengan figur Influencers dan tokoh-tokoh yang piawai membangun personal branding, seolah menjadi lanjutan fenomena bisnis kue para artis yang mulai hilang keriuhannya.  Lakukan investigasi dan observasi. Jangan percaya begitu saja pada informasi yang dicetak di brosur-brosur penawaran. 1. Misal target sales brosur, per bulan Rp250 juta, dengan rata-rata rupiah transaksi Rp25.000,-. Kita cari target jumlah (frekuensi) transaksinya. 2. Lakukan observasi untuk menemukan fakta lapangan. Kunjungi salah satu outlet yang ciri-ciri lokasi atau wilayahnya mirip lokasi Anda. 3. Bedakan antara "akhir minggu" dengan "hari biasa". Ambil contoh untuk akhir minggu Anda cek hari sabtu, untuk hari biasa Anda cek hari senin. Atau Anda observasi senin dan rabu, lalu ambil rata-ratanya (dibagi dua). Misal hasilnya seperti ini: 4. Kesimpulan: 1800 dibagi 7, rata-rata per hari 257.14 transaksi. 5. Perbedaan rupiah target sales dengan hasil observasi:   *Idealnya memang ada laporan keuangan sehingga tidak perlu observasi. Tapi bila Anda meragukan laporan itu langkah-langkah tersebut adalah salah satu cara verifikasi-nya.

Read More (145 views)
Blog post
19 Feb'23

Burger King, Franchising dan Fund…

Apakah Anda mendengar bahwa Kopi Janji Jiwa melakukan “buy back”? Setelah saya telusuri di mesin pencari “google”, ternyata tidak ada berita resmi mengenai buy back ini. Bahkan di bulan November 2022 masih ada berita di kanal berita tempo.co mengenai cara daftar franchise (atau kemitraan?) Janji Jiwa. Konon perusahaan pembiayaan (venture capital maupun private equity) kurang menyukai skema franchising, karena dalam franchising yang diakui sebagai omset franchisor hanya royalti dan biaya awal waralaba. Tentu saja ada pengecualian pada franchisor yang berperan ganda sebagai supplier, karena terdapat penghasilan dari kegiatan memasok produk ke franchisee. Dalam hal ini margin keuntungan retail tetap tidak dapat dicatatkan ke dalam pembukuan franchisor. Apakah benar perusahaan pembiayaan kurang menyukai skema franchising? Sesungguhnya, semua perusahaan yang dipersepsi kuat permodalannya, dan memiliki kemampuan mengelola sumber daya manusia untuk ekspansi dan operasional bisnisnya akan lebih menyukai membuka sendiri cabang bisnisnya. Hal ini merupakan hukum alam. Bukan hanya franchising yang dihindari, perusahaan pembiayaan pun akan dihindari. Mengapa harus bermitra dengan pihak lain yang mungkin suatu saat akan menghadapi selisih paham? Sewa Imbal Hasil (Revenue Sharing) Meski demikian, ada kondisi tertentu yang bisa memaksa pemilik suatu bisnis untuk bermitra. Misal ada pihak yang memiliki lokasi sangat strategis tapi tidak mau menjual atau menyewakan lokasi tersebut. Ia hanya mau kerja sama berupa sewa imbal hasil berdasarkan revenue sharing, dengan pertimbangan ia bisa memperoleh hasil di atas rata-rata biaya sewa properti di area tersebut. Arus Kas Perusahaan pembiayaan sebenarnya tidak 100% anti dengan franchising. Banyak franchisor di Amerika yang sahamnya dimiliki oleh perusahaan pembiayaan (baca: Private Equity). Mengapa mereka tetap melakukan franchising kalau mereka memiliki sumber pendanaan yang berlimpah? Selain factok manajemen (distribusi) risiko dan pengelolaan SDM yang lebih sederhana, jawabannya adalah arus kas. Selain memberikan kesempatan bagi mereka untuk memperoleh biaya awal waralaba (upfront franchise fee), franchising memindahkan kebutuhan permodalan untuk membuka bisnis tersebut kepada franchisee. Tentu hal ini sangat besar dampaknya terhadap arus kas perusahaan/bisnis tersebut. Kisah Burger King Terkait konteks franchising dan private equity, perjalanan bisnis Burger King adalah salah satu yang menarik untuk disimak. Berdiri di pertengahan tahun 1953 dengan merek Insta Burger King, menurut Wikipedia, di tahun 1959 bisnis ini dibeli oleh dua franchisee mereka wilayah Miami, Florida karena mengalami kesulitan keuangan. Duo-franchisee ini melakukan restrukturisasi, mengganti merek menjadi Burger King, dan dalam waktu 8 tahun berhasil membuka 250 cabang di seluruh wilayah Amerika Serikat. Pada tahun 1967 duo-franchisee ini, James McLamore dan David R. Edgerton, menjual bisnisnya kepada Pillsbury Company. Peralihan kepemilikan masih berlanjut, diikuti oleh kemerosotan kinerja, hingga pada tahun 2002 bisnis ini dibeli oleh TPG Capital dari pemilik terakhirnya Diageo. TPG bergerak cepat melakukan perbaikan hingga di tahun 2006 melakukan Langkah go public yang dianggap sukses luar biasa. Namun segala upaya untuk meningkatkan kinerja Burger King ini terhambat oleh krisis keuangan sepanjang tahun 2007-2010. Di sisi lain, pesaingnya ternyata lebih baik kinerjanya di masa krisis tersebut. Kinerja yang terus menurun akhirnya memaksa TPG Capital menjual bisnis Burger King ke perusahaan lain, yaitu 3G Capital, di tahun 2010. Pada tahun itu pula Burger King melengserkan diri (go private) dari lantai bursa New York Stock Exhange setelah melantai selama 4 tahunan. Mengapa 3G Capital mengambil langkah go private? Konon karena tidak ingin dibebani kewajiban-kewajiban disclosure sebagai perusahan publik dalam mengambil langkah-langkah perbaikan (perombakan besar) yang hendak dilakukan. Di tahun 2012 ternyata 3G Capital sudah melantai kembali ke bursa, hingga sekarang. Saat ini saham Burger King berada di bawah bendera Restaurant Brands International (RBI) dengan kode QSR. 3G Capital menggunakan RBI untuk bisnis kuliner global mereka yaitu: Burger King, Tim Hortons, dan Popeye’s Chicken. Dari uraian mengenai Burger King tersebut, dapat dipahami bahwa tidak semua perusahaan pembiayaan menghindari atau tidak menyukai franchising.

Read More (377 views)
Blog post
06 Feb'23

Pilih Medan Peperangan Untuk Mena…

Dalam menghadapi persaingan, Anda harus memilih medan peperangan yang memberikan peluang kemenangan terbesar bagi Anda. PERANG HARGA Anda bisa memilih medang PERANG HARGA dengan menerapkan harga murah, atau termurah. Tentu Anda harus menguasai "supply chain" dengan biaya operasional yang sangat rendah, dan harga barang modal yang sangat rendah pula. Sayangnya banyak orang terjebak ikut perang harga tanpa menguasai 2 hal tersebut. Kita melihat brand promise dan slogan "harga termurah", tapi faktanya tidak demikian. Pesan komunikasi harga termurah hanya menjadi gimmick marketing. Bahkan toko retail modern yang menjanjikan penggantian hingga 2x atau 3x selisihnya pun berani memberikan janji seperti itu karena hampir tidak pernah terjadi klaim yang mewajibkan persyaratan seperti di area yang sama, di toko retail modern yang sejenis, dan ada bukti struk pada hari yang sama. Tanpa menguasai pengendalian biaya HPP (termasuk supply chain) dan biaya operasional, Anda melakukan bunuh diri bila memilih medan "Perang Harga" ini. PERANG INOVASI Salah satu solusi untuk keluar dari jebakan Perang Harga adalah dengan memilih medan PERANG INOVASI. Dalam hal ini Anda perlu memiliki sumberdaya yang cukup (manusia dan dana) untuk senantiasa inovatif dan kreatif, selalu selangkah lebih depan dari para pesaing Anda, di sini anda "tidak perlu" terjebak pada perang harga, sebelum atau ketika kompetitor "meniru" KEUNIKAN Anda. Salah satu perusahaan yang mendapat predikat inovatif adalah 3M. Konon, menurut salah satu edisi Harvard Business Review (HBR), perusahaan ini menyisihkan hampir 6% dari total penghasilan dari penjualannya untuk keperluan Research & Development (R&D). Perusahaan ini telah menyusun sistem yang memberikan toleransi terhadap kesalahan namun mampu mendorong budaya inovasi yang kerap menghasilkan produk-produk inovatif.  Salah satu produk inovatif 3M adalah “Post It Notes”. Produk ini konon merupakan suatu kegagalan dalam proses R&D, namun kemudian justru menjadi produk unggulan, meski melalui jalan yang berliku. Post It Notes berawal dari Spencer Silver, seorang ilmuwan yang sedang melakukan eksperimen di Laboratorium 3M di tahun 1968 untuk menemukan atau menghasilkan lem yang super-strong (amat sangat kuat), tapi hasilnya justru lem yang terlihat menempel tapi “amat sangat mudah dilepas”.  Yang lebih menarik lagi adalah, keunikan dari lem yang kemudian digunakan untuk Post It Notes ini dianggap tidak bermanfaat saat itu. Kabarnya dibutuhkan waktu 5 tahun dan hanya setelah terjadi pergantian manajemen, untuk kemudian produk ini dicoba untuk dipasarkan. Meski demikian, di tahun 1973 peluang pasar yang terlihat hanya sebatas lem untuk keperluan bulletin board (semacam majalah dinding atau mading).  Alan Fry kemudian memiliki ide untuk menempelkan bahan lem tersebut ke permukaan kertas seperti yang kita lihat sebagai Post It Notes. Penelitian masih harus dilanjutkan lagi untuk memastikan bahan lem tersebut tidak ada yang terlepas dari kertas Post It alias pindah ke permukaan benda yang ditempeli Post It Notes. Tahun 1977 dilakukan launching terbatas di 4 kota, dan tanggapan masyarakat tidak cukup memuaskan sehingga manajemen merasa produk ini tidak cukup menjanjikan bagi perusahaan. Penjualannya tak kunjung membaik di tahun 1978, namun manajemen kemudian membagikan sampling ke perusahan-perusahaan untuk memeriksa kembali peluang pasar bagi produk ini. Kejutan dan lonceng kesuksesan ternyata bergema, banyak perusahaan yang melakukan pemesanan produk Post It Notes, karena merasa produk inovatif dan sangat berguna bagi mereka. Setelah melalui perjalanan panjang, bahkan hingga melewati masa-masa yang menimbulkan keputusasaan, ternyata inovasi Post It Notes ini menjadi kisah menarik dari kegagalan menuju kesuksesan yang luar biasa.  PERANG PROTEKSI Anda bisa memilih medan PERANG PROTEKSI bila inovasi Anda bisa dilindungi dengan mekanisme regulasi HAK KEKAYAAN INTELEKTUAL (HKI) sehingga kompetitor tidak bisa meniru produk inovatif Anda, dalam waktu tertentu.  Kalau sudah mendapat perlindungan HKI Anda benar-benar "tidak perlu" terjebak pada perang harga. Bahkan Anda dapat melisensikan Kekayaan Intelektual kepada pihak lain, dan menerima imbalan berupa royalty. Tentu saja pemberian lisensi ini harus penuh perhitungan yang cermat, misal untuk wilayah geografis yang sulit dijangkau oleh perusahaan anda (misal beda negara), atau dengan perhitungan potensi volume penjualan untuk keperluan mengembalikan dana yang telah dikeluarkan untuk riset tersebut.  Coca-Cola menjual konsentrat kepada perusahaan pembotolan lokal di berbagai negara untuk mempercepat ekspansi penjualan mereka ke berbagai negara. Sejarah kemudian mencatat terjadinya akuisisi besar-besaran terhadap pabrik-pabrik pembotolan ini oleh Coca-Cola Amatil dari Australia, yang di tahun 2021 kemudian melakukan merger dengan Coca-Cola European Partners menjadi Coca-Cola Europacific Partners (sumber: Wikipedia). PERANG MODAL BESAR Anda bisa memilih medan PERANG MODAL BESAR, bila Anda memiliki sumber daya keuangan yang luar biasa. Tentu saja strategi ini hanya cocok apabila KEKUATAN MODAL dapat MENGHADANG pesaing untuk masuk ke dalam bisnis Anda karena mereka melihat kebutuhan akan adanya modal besar bila memasuki arena peperangan yang anda pilih.  Praktek lain yang diterapkan terkait #5 ini yang dikenal dengan "predatory price" (semacam “jual rugi”) yang bertujuan untuk mematikan para pesaing yang sangat terbatas permodalannya. Tentu saja predatory price dihentikan setelah pesaing kecil itu "mati". * inspired by buku lama "Hyper Competition" by Richard A. D'Aveni, kemudian dikembangkan ke berbagai contoh yang relevan.   

Read More (337 views)
Blog post
30 Jan'23

Low Price Battle Ala Mixue

Siapa yang tidak kenal dengan Mixue? Nama yang akhir-akhir ini sering kita dengar bukan? Ya baru-baru ini Mixue membuat gempar masyarakat Indonesia dengan pertumbuhan gerainya yang begitu signifikan, tak heran banyak netizen Indonesia bahkan membuat lelucon di media sosial. Menyandang brand yang sedang viral, karena harga murah dan cabangnya yang terus bertambah secara signifikan, maka timbul pertanyaan dari masyarakat. “Bagaimana Mixue bisa menjual produknya dengan harga sangat murah? Apa rahasia mereka bisa grow secepat itu?”. Sejarah Mixue Dilansir dari laman resminya, Mixue didirikan pada tahun 1997 oleh Zhang Hongchao yang pada saat itu masih berstatus mahasiswa. Berawal Zhang Hongchao yang mendapatkan modal sekitar 4000 Yuan (setara Rp7.000.000) untuk membuat es krim (sundae) di kawasan Zhengzhou - Provinsi Henan, China.  Baru tahun 2000 Zhang Hongchao membuka toko pertamanya dan memutuskan membuat es krim yang enak namun dengan harga murah dibawah rata-rata. Pada tahun 2007, Mixue secara resmi mengubah model bisnisnya ke franchising model dengan kurang lebih 1 bulan setelahnya ada 27 cabang baru di China. Bisnis Model Mixue Kesuksesan Mixue tentu tak lepas dari sosok Zhang sang founder yang melihat segmen pasar es krim di China yang menyasar kalangan menengah ke atas, Zhang justru memilih menargetkan specific customer yang berasal dari kalangan masyarakat menengah ke bawah. Setelah Mixue menjadi franchising model, Zhang sadar bahwa jika ia terus-menerus menjual produknya dengan harga murah maka besar kemungkinan tidak akan profitable. Dari situlah muncul ide mengubah bisnis Mixue berupa penjualan bahan baku dan equipment, artinya Mixue akan fokus terhadap Supply Chain.  Hal ini selaras dengan apa yang disampaikan oleh Bapak Utomo Njoto, pakar waralaba Indonesia. Menurutnya, “mengenai harga murah, kita bisa memilih medan perang harga bila kita menguasai supply chain, dengan biaya operasional yang sangat rendah, dan harga barang modal yang sangat rendah pula”. (Sayangnya banyak orang terjebak ikut perang harga tanpa menguasai 2 hal tersebut). Ide tersebut didukung dengan strategi bisnis Economies of Scale. Apa itu? Dikutip dari Ekrut, Economies of Scale adalah “suatu konsep yang menggambarkan situasi di mana biaya produksi per unit menjadi lebih hemat ketika volume produksi meningkat. ”Artinya jika Anda memiliki fixed cost Rp100 juta/bulan dan mampu memproduksi 1000 es krim, sehingga biaya produksi per es krim sebesar Rp100 ribu. Jika perusahaan dapat memproduksi 1500 es krim, maka biaya produksinya per es krim adalah Rp66,6 ribu yang artinya harga modalnya semakin murah. Supaya supply chain management tersebut dapat berjalan, maka sistem franchise yang dilakukan Mixue adalah menjadikan gerai Mixue tersebut hak milik franchisee, namun untuk menjual es krim dan minuman, franchisee diharuskan membeli bahan baku dan equipment dari pusat.  Mixue memiliki value proposition harga yang sangat murah untuk produknya dengan target customer middle to low income ke negara-negara tier 3, tier 4 dan mass market, maka dari itulah Mixue merambah gerainya ke negara ASEAN salah satunya adalah Vietnam pada tahun 2018 disusul Indonesia pada tahun 2020. Tak heran kenapa growth dari Mixue sangat cepat selain dari strategi bisnis, pemilihan target pasar adalah kuncinya. Chart Model Strategi Bisnis Mixue “Extreme low cost low price strategy”, kalimat yang sepertinya akan terus identik dengan Mixue apabila kita belajar strategi yang diterapkan perusahaan es krim ini. Strateginya kira-kira seperti gambar dibawah ini: Detail lengkapnya kurang lebih sebagai berikut: Mixue mencari Large volume (franchisee) yang hanya bisa didukung bisnis model franchise. Harga biaya produksi lebih murah karena diterapkannya Economies of Scale, sehingga mereka dapat memperkuat supply chain dan logistik yang dimiliki.  Dengan biaya produksi yang lebih murah, mereka berani menerapkan extreme low price untuk produknya. Branding  dengan menjual produk harga yang murah akan menarik minat lebih banyak konsumen, sehingga mereka mampu untuk menambah lebih banyak franchisee.  Berdasarkan laporan dari YouTube Raymond Chin, pendapatan Mixue pada bulan Maret - Juni 2022. Sebagian besar justru diperoleh dari Ingredients sebesar 72,16%, kemudian 15,55% dari packaging, dan sisanya dari penjualan es krim dan lain-lain. Dan karena hal itulah Mixue bisa disebut sebagai perusahaan supply chain, bukan perusahaan FnB seperti yang kita tahu. Bagaimana menurut Anda? Apakah kira-kira masih ada strategi bisnis dari Mixue yang belum disebutkan? Sangat menarik memang jika kita membahas brand satu ini, apalagi ada beberapa pendapat yang mempertanyakan kemampuan Mixue untuk bertahan dalam jangka panjang di pasar Indonesia? Benarkah Mixue ini hanya sekedar trend?   Sumber: Economies of Scale Pengertian, Penyebab, Jenis, dan Keutungan Melakukannya               Mixue Bicheng Co., Ltd.               Belajar Strategi Mixue Dominasi Franchise FnB - Raymond Chin

Read More (995 views)
Blog post
16 Jan'23

Too Good To Be True, But Could Be…

Pertanyaan apa saja yang harus Anda tanyakan bila menemukan penawaran-penawaran yang terlihat "too good to be true" seperti ini? *Catatan: "too good to be true" can be true, but usually IT IS too good to be true. Berikut ini 3 (tiga) pertanyaan yang paling mendasar: 1. Angka-angka ini diambil dari outlet di lokasi yang mana? 2. Outlet di lokasi itu sudah berjalan berapa tahun? 3. Minta kejelasan lagi mengenai outlet di lokasi tersebut: Berapa omsetnya setahun, Berapa profitnya, Berapa "total modal" yang dibutuhkan kalau buka outlet baru dengan kondisi seperti yang di lokasi itu. Selanjutnya, bila benar ada lokasi yang kinerjanya sesuai dengan klaim tersebut, Anda harus memeriksa karakteristik lokasi yang hendak Anda ajukan, apakah memiliki "banyak kemiripan" dengan contoh lokasi mereka. Cara terbaik untuk meminimalkan risiko kegagalan adalah membuka cabang di lokasi yang memiliki "banyak kemiripan" dengan contoh lokasi yang sudah TERBUKTI sukses. Sedikit tambahan, bila jawaban untuk pertanyaan nomor 2 adalah sudah lebih dari 5 tahun, Anda perlu cek omset outlet mereka yang baru buka 1-2 tahun, jangan-jangan omsetnya beda jauh.  

Read More (349 views)
Blog post
16 Des'22

CRM, Strategi Loyalnya Customer

Pernahkah Anda ketika selesai berbelanja online di suatu aplikasi e-commerce atau web marketplace, kemudian  menerima notifikasi berupa informasi pesanan Anda sedang diproses?, atau notifikasi berupa promo? Jika iya maka Anda telah terkena strategi CRM (Customer Relationship Management). Sebenarnya apa itu CRM? Mari kita simak penjelasan berikut! Pengertian CRM Dikutip dari Populix, CRM adalah strategi bisnis bagi perusahaan untuk mengembangkan usahanya di berbagai aspek dengan melakukan proses olah data pelanggan menggunakan bantuan aplikasi. Seiring dengan berkembangnya zaman, penggunaan CRM dibidang marketing semakin fleksibel dan dinamis sesuai target customer yang dituju. Di era yang tech-savvy ini, untuk mengakomodasi kebutuhan CRM yang kompleks disediakan berbagai  tool CRM yang disebut e-CRM. e-CRM digunakan oleh beberapa perusahaan besar untuk mengetahui intensi, minat serta meningkatkan kepuasan pelanggan. Berikut beberapa e-CRM yang dapat meningkatkan profit bisnis Anda: Salesforce Zoho SugarCRM HubSpot CRM Vtiger Freshsales Qontak Dan sebenarnya masih banyak lagi tools CRM yang lain baik berbayar atau bahkan free services yang dapat Anda gunakan. Hubungan Marketing Funnel Dengan CRM CRM tidak bisa lepas dari Marketing Funnel, yang menjelaskan beberapa tahapan bagi audiens sebelum melakukan transaksi atau pembelian produk/jasa yang ditawarkan. Proses tahapan-tahapan inilah yang nantinya akan dideskripsikan lebih detail di Customer Lifecycle Journey.  Marketing Funnel tipe AIDA   Jika Anda perhatikan, gambar marketing funnel di atas merupakan marketing funnel tipe AIDA (Attention, Interest, Desire, Action) yang sebelumnya pernah dibahas sebelumnya di artikel: Memahami Marketing Funnel Kurang Dari 5 Menit! Dalam gambar berbentuk corong tersebut, diketahui bahwa 1000 leads yang diperoleh nantinya akan terus berkurang sesuai dari intensi kebutuhan audiens. Nah, menjaga “intensi audiens” inilah yang harus dipertahankan agar audiens mau membeli produk Anda dengan cara membuat campaign. Jadi, dalam bentuk marketing funnel di atas CRM berfungsi sebagai strategi campaign yang mampu mengkonversi traffic audience yang diperoleh hingga menjadi loyal customer. Sistem Kerja CRM Sistem kerja CRM seringkali digambarkan dalam bentuk diagram alur yang dikenal dengan Customer Lifecyle Journey. Pada dasarnya, proses tersebut terdiri dari 5 tahap, yaitu reach, acquisition, conversion, retention, dan loyalty. Singkatnya, Customer Lifecycle Journey dapat menguraikan secara lengkap langkah-langkah yang akan diambil pelanggan saat mereka masuk ke flow penjualan sesuai 5 proses yang sudah disebutkan. Ini tentu akan membantu tim marketing perusahaan dalam menentukan (decision making) campaign, produk, promo, dan konten apa yang sesuai dengan behavior dan kebutuhan pelanggan.   Customer Lifecycle Journey   Gambar di atas merupakan contoh simulasi siklus CRM perusahaan X (katakanlah) RedDoorz berupa flowchart yang saya buat, mari kita urai satu-persatu: 1. Awareness Tahapan awareness disini merupakan salah satu proses dari Reach. Untuk mendapatkan Reach, tentu kita butuh traffic audience dari berbagai channel, seperti social media ads, Google ads, social media organic, dan blog. Umumnya untuk bisnis yang baru, menjalankan social media secara organik (feed Instagram, FB, artikel blog) sudah cukup untuk menarik calon customer apabila strategi konten Anda tepat dengan kebutuhan audience. 2. Consideration (Leads) Reach menjadi tidak berguna apabila Anda tidak berusaha menggaet pelanggan (acquire). Oleh karenanya, dibutuhkan semacam ajakan atau call to action di iklan Anda. Pada gambar di atas tahapan consideration hingga leads merupakan proses dari Acquisition untuk memperoleh potential customer. Berdasarkan gambar diatas, sebelum audience memasuki fase consideration, strategi perusahaan adalah dengan menjalankan ads berupa promo first time offer bagi audience yang belum mengenal RedDoorz. Setelah memasuki tahap consideration, audience baru akan mendapatkan push notification penawaran dari promo tersebut sehingga sebagian audience nantinya akan melakukan sign up dan menjadi leads (potential customer). 3. Buyer Setelah menjadi leads (mengisi form nama, email, dll) audience pasti akan mendapatkan kiriman email berupa “welcome email” atau mungkin email yang berisi keuntungan apabila menggunakan aplikasi RedDoorz . Email-email tersebut berfungsi untuk mendorong audiens melakukan Conversion dan menjadi buyer. Tahap ini mulai dibutuhkan yang namanya menjaga hubungan dengan pelanggan. Pastikan pelanggan puas dengan produk dan jasa Anda, pastikan Anda untuk meminta feedback dari pelanggan untuk meng-improve produk dan layanan Anda. 4. Loyal Fase ketika audience sudah menjadi buyer atau new customer, dibutuhkan strategi marketing berkelanjutan untuk mendorong pelanggan tersebut melakukan transaksi kembali, proses inilah yang disebut Retention. Contohnya adalah seperti menawarkan membership subscription supaya mendapatkan penawaran promo terbaik dan email special offer untuk transaksi selanjutnya. Catatan, tentu dalam membuat campaign penawaran harus didukung dengan copy yang menarik dan sesuai interest pelanggan, jika tidak, tentu saja pelanggan akan tidak peduli dengan offer yang Anda berikan.  Setelah pelanggan merasa tertarik dengan campaign retention yang ditawarkan dan merasa puas akan produk atau layanan yang Anda berikan, maka akan tercipta “Loyalty” dari customer. Loyalty akan sangat amat terasa penting karena akan membuat pelanggan tetap menggunakan produk Anda setelah melakukan konversi. 5. Churn Rate Churn rate lebih dikenal sebagai pelanggan yang tidak melakukan aktivitas apapun terhadap produk dan layanan yang Anda tawarkan selama beberapa waktu lamanya. (tergantung jenis bisnis dan umumnya 3 bulan sejak transaksi terakhir). Tahapan ini sebenarnya terpisah dari 5 proses penting CRM yang sudah kita pelajari. Namun, churn rate sangat berguna sebagai database pelanggan yang pernah menggunakan atau melakukan transaksi di bisnis Anda. Ketika pelanggan sudah tidak aktif, maka akan fatal apabila Anda hanya melepasnya saja. Ya, Anda harus melakukan pendekatan dengan treatment khusus untuk pelanggan yang sudah tidak terhubung dengan bisnis Anda. Seperti menawarkan fitur layanan baru, special offer, atau seperti kasus gambar diatas kita bisa menawarkan diskon re-book rooms untuk user yang pernah menggunakan aplikasi RedDoorz. Itulah beberapa hal fundamental terkait penggunaan CRM sebagai strategi marketing yang ampuh untuk menciptakan sebuah loyalitas pelanggan. Selanjutnya mungkin kita akan membahas lebih advance dan spesifik terkait e-CRM dan media yang digunakan seperti SMS, email, push notif, dan WhatsApp.  Jadi bagaimana? Apakah Anda telah menerapkan CRM untuk bisnis Anda?   Sumber: Startup Studio Indonesia                Glints                Hubspot

Read More (483 views)
Blog post
15 Des'22

Mengenal Kosakata Digital Marketi…

Apa yang Anda harapkan dari bisnis Anda? Ya seringkali ketika kita membuka bisnis terutama waralaba satu hal yang terbesit adalah menghasilkan revenue (pendapatan) semaksimal mungkin. Namun, bagaimana cara Anda untuk mencapai tujuan tersebut? Salah satu caranya adalah “Digital Marketing”, dengan arus perkembangan teknologi yang cepat dan maraknya penggunaan internet mengubah behavior masyarakat dalam mencari informasi dengan menggunakan smartphone/android. Maka dari itulah strategi digital marketing dibutuhkan untuk memasarkan produk/service yang Anda tawarkan. Sebelum belajar lebih jauh tentang Digital Marketing, alangkah baiknya Anda kenali terlebih dahulu kosakata berikut yang beberapa dikutip dari RevoU : A Ads/Iklan - Cara pemasaran yang dilakukan dengan mengiklankan (ads) produk/layanan dari brand. A/B Testing - Metode perbandingan 2 versi (campaign, ads dll) satu dengan yang lainnya untuk menentukan performance mana yang lebih baik. Affiliate Marketing - Model advertising dimana perusahaan membayar pihak ketiga untuk menghasilkan traffic dan membawa audiens ke produk perusahaan. B Backlink - Link dari suatu website yang merujuk ke halaman website lain/website Anda.  Brand Awareness - Istilah marketing yang menggambarkan sejauh mana konsumen mengenali suatu produk atau merek. Browser - Software yang mengakses dan menampilkan halaman atau file yang ada di World Wide Web.  Buyer Persona - Gambaran semi-fiksi pelanggan ideal yang diciptakan berdasarkan market research dan data riil terkait pelanggan yang sudah ada. C Call to Action (CTA) - Kalimat ajakan kepada audiens untuk melakukan suatu tindakan yang kita inginkan. Campaign - Aktivitas untuk mempromosikan produk brand dalam jangka waktu tertentu. Carousel - Fitur di media sosial yang memungkinkan pengguna mengunggah beberapa foto atau video dalam satu postingan. Click-through Rate (CTR) - Presentase seseorang yang mengeklik link ads. (Formula: Jumlah klik/Impression)  Content Pillar - Pondasi agar konten perusahaan memiliki identitas dan menjadi keseluruhan strategi konten media sosial bisnis. Conversion - Audiens yang telah melakukan tindakan berdasarkan Call to Action (CTA) yang telah Anda buat. Cost per Click (CPC) - Biaya yang dibayarkan setiap seseorang mengeklik iklan. (Formula: Total Biaya ads/klik)  Cost per Lead (CPL) - Biaya yang dibayarkan setiap mendapatkan leads atau user potensial baru. (Formula: Total biaya ads/Total Leads) Cost per thousand Impressions (CPM) - Biaya yang dibayarkan setiap seribu impression dari ads. (Formula: (Total biaya ads/Impressions) x 1000) Crawl - Proses bot atau spiderbot mengunjungi website, mengambil konten, dan mengindeks sehingga situs web tersebut dapat dengan mudah ditemukan di Search Engine. Customer Journey - Seluruh pengalaman yang dialami customer saat berinteraksi dengan perusahaan/brand dan membantu perusahaan dalam memahami customer lebih baik. D Direct Marketing - Pemasaran yang dilakukan dengan memanfaatkan jalur komunikasi dan distribusi langsung ke konsumen tanpa perantara. Domain - Bagian dari alamat web (URL) yang digunakan untuk mencari lokasi suatu website atau halaman dari website. E Email Marketing - Salah satu strategi yang memanfaatkan media email untuk mempromosikan produk serta digunakan dalam menarik pelanggan. Endorse - Strategi marketing yang melibatkan publik figur dan orang-orang terkenal seperti content creator serta influencer dengan basis pengikut yang masif. Engagement Rate -  Persentase pengguna yang berinteraksi dengan sebuah konten. G Google Ads - Layanan online advertising yang disediakan Google untuk menargetkan audiens, mengarahkan traffic ke website, dan meningkatkan kunjungan in-store. I Impression - Jumlah beberapa kali konten atau iklan muncul. K Key Performance Indicator (KPI) - Serangkaian metrik pengukuran kuantitatif yang digunakan untuk mengukur kinerja suatu perusahaan.  Keywords - Kata-kata yang ditargetkan pemilik website, bisa berupa ads/organik. L Landing Page - Salah satu laman web yang ditargetkan untuk menarik audiens agar melakukan tindakan tertentu. Leads - Orang-orang yang tertarik dengan produk/jasa brand dan memiliki potensi besar untuk menjadi pelanggan. Lead Generation - Kegiatan dan proses yang dilakukan untuk menemukan calon pelanggan dan informasi kontak mereka (nama, email, alamat, perusahaan, dll) M Metrics - Indikator untuk mengukur dan melacak keberhasilan usaha digital marketing brand. O Organik - Cara pemasaran yang dilakukan secara gratis atau tanpa ada biaya. P Personal Branding - Proses menciptakan citra atau image diri seorang individu. Platform - Hardware atau software yang menggerakkan suatu aplikasi atau layanan. R Reach - Total jumlah orang yang melihat sebuah konten/iklan. Return On Investment (ROI) - Ukuran kinerja yang digunakan untuk menghitung efisiensi atau profitabilitas suatu investasi bisnis. S Search Engine Marketing (SEM) - Salah satu channel marketing berbayar yang juga menggunakan platform search engine seperti SEO. Search Engine Result Page (SERP) - Halaman web yang ditampilkan search engine (seperti Google, Bing, dsb) setelah pengguna mengetik query di platform mereka. T Trendjacking - Strategi dengan memanfaatkan kejadian atau meme yang sedang viral untuk promosi/komunikasi yang berbeda kepada audience. Traffic - Jumlah total pengunjung website U User Experience (UX) - Keseluruhan perjalanan yang dilalui pengguna saat mereka menggunakan suatu produk. User Interface - Elemen visual yang berguna untuk menghubungkan pengguna (user) dengan sistem teknologi. Beberapa istilah di atas merupakan istilah yang sering diucapkan di bidang digital marketing, saat ini banyak perusahaan B2B maupun B2C berlomba-lomba dan berinvestasi di dunia digital marketing, sudah saatnya bagi Anda untuk berinvestasi di bidang ini.   Sumber: Revoupedia

Read More (481 views)
Blog post
21 Nov'22

Yield 35% Ternyata Hanya 15%?

YIELD SEMU Ada iklan yang menawarkan investasi bisnis kuliner di suatu lokasi dengan "Indikasi Yield" sebesar 35%. Makna yield 35% adalah modal investasi Rp1 juta bisa menghasilkan Rp350 ribu setahun. Menurut saya "yield" ini SEMU. Mengapa?   1.Indikasi Yield Berarti Menurut Data Historis Data historis yang digunakan tentu mengacu pada satu (1) lokasi tertentu. Dalam hal ini, beda lokasi beda kinerja. Penyebabnya terutama karakteristik lokasi. Kita perlu mendapatkan lokasi yang digunakan untuk mendukung klaim yield 35% ini, karena lokasi yang ditawarkan belum tentu memiliki kesamaan karakteristik dalam hal kepadatan penduduk, jumlah traffic orang lewat, kebiasaan belanja, selera cita rasa makanan/minuman, dan beberapa hal lainnya dengan lokasi yang digunakan untuk klaim indikasi yield yang 35% itu. Selain faktor karakteristik lokasi, perbedaan kinerja bisa dikarenakan beda kualitas SDM dan pengelolaan operasional lainnya. 2. Tidak Likuid Karena merupakan investasi Securities Crowd Funding, modal Rp1 juta itu tidak bisa dicairkan, kecuali per 6 bulan ada yang mau membelinya. Inilah perbedaan antara saham biasa di lantai bursa IDX dengan saham urun dana (Securities Crowd Funding). Jual beli saham perusahaan yang terdaftar di IDX bisa kapan saja, asal cocok harga alias ada yang cari. Itu sebabnya saham yang banyak dan sering ditransaksikan disebut saham yang likuid. Saham bisnis riil (bisnis sendiri) juga sama, modal awal alias "pokok"-nya tidak bisa langsung dicairkan menjadi uang tunai. Tapi kalau ada yang berminat jual beli, dan memenuhi syarat sesuai kesepakatan alias AD/ART kalau berbentuk badan hukum, maka transaksi jual beli saham kepemilikan bisa dilakukan kapan saja. Jadi, bila Anda hendak berinvestasi di bisnis riil, atau Securities Crowd Funding (dulu dikenal, sebagai Equity Crowd Funding atau ECF), maka Anda perlu tahu fakta ini: investasi ini merupakan asset yang tidak likuid alias tidak mudah dicairkan kembali menjadi uang tunai. 3. Yield Ini Semu Nah, karena tidak likuid, saya menganggap hasil investasi yang diterima sebagai yield semu. Bila investasi franchise dengan jangka waktu 5 tahun, maka yield 35% itu sebenarnya hanya sekitar 15%. Kalau 10 tahun, maka yield itu menjadi 25%. Memang ada nilai aset bekas, tapi tidak likuid. Kalau bukan property, maka nilai aset bekas dalam pembukuan pun mungkin sudah nol dalam kurun waktu 5-10 tahun. Kesimpulannya, yield bisnis riil dan crowdfunding sangat berbeda bila dibandingkan dengan yield investasi di pasar saham lantai bursa IDX.   Catatan: a. Meski nilai bukunya nol, aset tersebut tetap produktif. b. Yield 35% ini masih berpotensi jadi lebih rendah karena biasanya laba yang dibagikan hanya sebagian, misal 80%, untuk dana cadangan perawatan dan penggantian aset yang rusak. c. Apakah yield semu 35% bisa menjadi lebih dari 35%? Bisa, apabila nilai aset yang dijual ternyata lebih besar dari nilai modal yang disetorkan. d. Baca juga blog saya sebelumnya yang berjudul "Beda Mindset Investasi Vs Bisnis".     

Read More (440 views)
Blog post
07 Okt'22

Sales Naik Tapi Profit Turun?

Diskon promosi merupakan salah satu strategi untuk meningkatkan penjualan. Namun demikian, bila tidak cermat akan terjadi fenomena “sales naik, profit turun”. Sales & Profit Saat membicarakan target sales, kita harus selalu melengkapinya dengan target profit. Hal tersebut untuk mencegah “salah fokus” dalam upaya meningkatkan profit dengan promosi dan/atau diskon penjualan gede-gedean yang menyebabkan gross profit tergerus signifikan. Contoh (Perhatikan tabel di bawah!): Bila HPP (Harga Pokok Penjualan) adalah 45% dari kita sebut juga gross sales, atau harga semula atau price list. Tabel kiri menjelaskan jika tidak pernah diskon. Tabel kanan menunjukkan dampak dari diskon 20% all items, apabila net sales tidak ada peningkatan. Gross profit semula yang mencapai Rp5,5 juta turun menjadi Rp4,375 juta Menarik untuk disimak, bahwa nilai gross sales (yaitu volume atau quantity produk terjual) yang sudah meningkat 25% agar nilai net sales bisa tetap sama dengan kondisi net sales ketika tidak ada diskon. Namun peningkatan gross sales ini tidak mampu mengembalikan nominal gross profit yang semula adalah Rp5,5 juta. Peningkatan gross sales bermakna “peningkatan quantity” produk yang terjual, bila tidak ada praktik menaikkan harga semula alias price list sebelum memberikan diskon promosi. Itu sebabnya, HPP di sebelah kiri adalah Rp4.500.000,- dan HPP di sebelah kanan adalah Rp5.625.000,-. Hal ini dikarenakan persentase HPP dihitung dari gross sales (price list) produk yang terjual. Hati-hati dengan perhitungan persentase HPP dari net sales. Ketika ada diskon 20%, maka HPP terhadap net sales ikut meningkat persentasenya. Di tabel sebelah kiri HPP vs net adalah 45%, namun di sebelah kanan HPP vs net menjadi 56,25% Target Sales Ketika Diskon Promosi Kita harus menemukan nilai nominal net sales minimum (saat diskon promosi 20%) yang mampu memberikan kontribusi gross profit senilai Rp5,5 juta. Ternyata nominal net sales yang sudah 120% dari nominal net sales bila tidak ada diskon belum mampu menghasilkan kontribusi gross profit Rp5,5 juta tersebut. Net sales perlu naik menjadi 126% (dari Rp10 juta menjadi Rp12,6 juta), dan secara quantity peningkatan penjualan yang dibutuhkan ternyata 57,5% (dari Rp10 juta menjadi Rp15,75 juta). Strategi Diskon Promosi Strategi diskon promosi biasanya dilakukan untuk menjaga pencapaian penjualan ketika trend pola konsumsi sedang menurun. Kadang peningkatan target quantity penjualan (berdasarkan angka gross sales) bisa dicapai, kadang tidak. Masalah klasik terkait diskon promosi ini adalah berapa omset (net sales) yang dapat diraih kalau tidak ada diskon promosi?, Seberapa anjlok net sales ini? Jadi, strategi diskon promosi kadang memang “harus” dilakukan, dan untuk menjaga nilai gross profit. Selain upaya upselling & cross selling, biasanya dilakukan diskon terbatas pada produk tertentu, atau waktu tertentu. Tujuannya adalah, agar nilai % diskon promosi keseluruhannya menjadi lebih kecil dari 20%.   Baca Juga: Beda Up Selling vs Cross Selling                     Cross Selling, Teknik Meningkatkan Penjualan Semoga informasi tersebut di atas dapat membantu kita untuk menjaga profitabilitas bisnis kita semua.

Read More (748 views)
Blog post
25 Sep'22

Ciri-Ciri Autopilot Yang Sukses

Istilah “autopilot” telah menjadi trend dalam gimmick untuk menjual waralaba. Akhir-akhir ini cukup banyak pihak yang menawarkan peluang bisnis yang autopilot, dalam pameran franchise maupun social media seperti facebook dan Instagram. Autopilot tersebut diberi makna, “ketika Anda jalan-jalan, bisnis Anda bisa tetap beroperasi.” Apa saja yang perlu Anda ketahui tentang “autopilot” ini?   Franchisor yang Berpengalaman Istilah “autopilot” ini mungkin cocok untuk bisnis yang operated by franchisor (dijalankan oleh franchisor). Dalam hal ini, kualitas autopilot ini sangat bergantung pada jam terbang franchisor. Autopilot ini sebenarnya memiliki konsekuensi yang lumayan tinggi bagi franchisor yang menjadi operator-nya. Akurasi laporan keuangan merupakan salah satu konsekuensi logis dari janji autopilot. Di sisi lain, rendahnya kualitas pengawasan bisa berakibat pada terjadinya kehilangan barang, rendahnya mutu pengelolaan stok barang, hingga perilaku tidak disiplin dari para pegawai. Franchisor yang menjanjikan autopilot harus mampu meminimalkan terjadinya hal-hal tersebut. Saat artikel ini ditulis, ada banyak “fraud” dalam penggunaan istilah autopilot terkait waralaba dan penghasilan pasif. Pihak yang menawarkan “iming-iming” autopilot ternyata tidak memiliki jam terbang, dan masih sedang melewati kurva belajar alias trial and error. Akibatnya pemilik modal yang jadi korban, karena harus menyuntikkan dana tambahan ketika bisnis yang dijanjikan autopilot dengan passive income ini mengalami kerugian.   Masa Kritis 2 Minggu Pertama Seorang pebisnis restoran yang cukup berpengalaman mengatakan bahwa dua minggu pertama setelah pembukaan gerai merupakan masa kritis. “Anything can happen,” ia menjelaskan. Artinya sebaik apapun persiapan opening atau launching itu, seringkali terjadi hal-hal yang tidak terduga, sehingga keputusan yang cepat dan tepat harus segera diambil saat “peristiwa luar biasa” itu terjadi.  Untuk itu, ia akan melakukan pengawasan ketat selama dua minggu pertama. Hal ini ia lakukan dengan hadir secara fisik maupun dengan meminta laporan setiap hari dari manager yang bertugas, atau mengawasi melalui internet CCTV. Ada pula minimarket yang bercerita bahwa pada saat opening yang disertai promo besar-besaran biasanya mereka menyediakan tambahan mesin kasir (POS) dan SDM, serta team leader. Jadi kehadiran atau keterlibatan langsung tim manajemen yang memiliki jam terbang tinggi sangat dibutuhkan dalam 2 minggu pertama setelah opening.   Masa Kritis 1-2 Tahun Ada pendapat bahwa suatu bisnis memerlukan waktu 1-2 tahun untuk menemukan konfigurasi tim kerja yang tepat. Dalam 1-2 tahun pertama ini biasanya terjadi keluar masuk pegawai. Hal ini dapat terjadi karena pegawai yang tidak disiplin, tidak memenuhi target kinerja penilaian, pegawai tersebut digantikan, mengundurkan diri, atau bahkan ia menghilangkan diri alias kabur begitu saja. Saya menyebut ini sebagai masa kritis 1-2 tahun. Dalam konteks autopilot, tentu masa kritis ini harus mendapatkan perhatian lebih. Sistem yang baik tidak bisa berjalan tanpa SDM yang tepat.   Turbulence Masa kritis tersebut di atas bisa berulang kembali, jika konfigurasi tim yang sudah baik ini berubah karena dibajak pihak lain atau leader dan/atau salah satu dari mereka mengundurkan diri. Situasinya mungkin menjadi lebih sulit ketika anggota baru susah masuk ke dalam ‘lingkungan’ tim lama yang suah solid itu. Kondisi masa sulit susulan ini diibaratkan turbulence dalam suatu penerbangan, di mana pilot biasanya harus mengambil alih kendali dari autopilot kembali ke tangan pilot. Kalau dibiarkan autopilot, maka risiko atau bahaya menjadi sangat besar.   Kebocoran Ada pula pendapat bahwa perusahaan yang besar, yang seolah sudah autopilot melalui kepemimpinan para profesional, seringkali banyak kebocoran dan korupsi di dalamnya. Hal kebocoran tersebut bisa saja benar, kalau sistem autopilot itu tidak memiliki prosedur kontrol dan budaya melaksanakan audit yang ketat. Sistem autopilot yang baik biasanya memiliki titik-titik crosscheck yang cermat, ketat dan komprehensif, untuk mengantisipasi hal-hal negatif ini. Pesawat dengan autopilot dilengkapi dengan dashboard yang harus diperhatikan oleh pilot, agar intervensi pilot bisa segera dilakukan ketika dashboard terlihat tidak wajar. Jadi, jangan sembarangan menawarkan autopilot dan jangan sembarangan percaya lalu membeli penawaran autopilot.

Read More (1020 views)