All Blogs
Posted by "Utomo Njoto"

Burger King, Franchising dan …
Apakah Anda mendengar bahwa Kopi Janji Jiwa melakukan “buy back”? Setelah saya telusuri di mesin pencari “google”, ternyata tidak ada berita resmi mengenai buy back ini. Bahkan di bulan November 2022 masih ada berita di kanal berita tempo.co mengenai cara daftar franchise (atau kemitraan?) Janji Jiwa. Konon perusahaan pembiayaan (venture capital maupun private equity) kurang menyukai skema franchising, karena dalam franchising yang diakui sebagai omset franchisor hanya royalti dan biaya awal waralaba. Tentu saja ada pengecualian pada franchisor yang berperan ganda sebagai supplier, karena terdapat penghasilan dari kegiatan memasok produk ke franchisee. Dalam hal ini margin keuntungan retail tetap tidak dapat dicatatkan ke dalam pembukuan franchisor. Apakah benar perusahaan pembiayaan kurang menyukai skema franchising? Sesungguhnya, semua perusahaan yang dipersepsi kuat permodalannya, dan memiliki kemampuan mengelola sumber daya manusia untuk ekspansi dan operasional bisnisnya akan lebih menyukai membuka sendiri cabang bisnisnya. Hal ini merupakan hukum alam. Bukan hanya franchising yang dihindari, perusahaan pembiayaan pun akan dihindari. Mengapa harus bermitra dengan pihak lain yang mungkin suatu saat akan menghadapi selisih paham? Sewa Imbal Hasil (Revenue Sharing) Meski demikian, ada kondisi tertentu yang bisa memaksa pemilik suatu bisnis untuk bermitra. Misal ada pihak yang memiliki lokasi sangat strategis tapi tidak mau menjual atau menyewakan lokasi tersebut. Ia hanya mau kerja sama berupa sewa imbal hasil berdasarkan revenue sharing, dengan pertimbangan ia bisa memperoleh hasil di atas rata-rata biaya sewa properti di area tersebut. Arus Kas Perusahaan pembiayaan sebenarnya tidak 100% anti dengan franchising. Banyak franchisor di Amerika yang sahamnya dimiliki oleh perusahaan pembiayaan (baca: Private Equity). Mengapa mereka tetap melakukan franchising kalau mereka memiliki sumber pendanaan yang berlimpah? Selain factok manajemen (distribusi) risiko dan pengelolaan SDM yang lebih sederhana, jawabannya adalah arus kas. Selain memberikan kesempatan bagi mereka untuk memperoleh biaya awal waralaba (upfront franchise fee), franchising memindahkan kebutuhan permodalan untuk membuka bisnis tersebut kepada franchisee. Tentu hal ini sangat besar dampaknya terhadap arus kas perusahaan/bisnis tersebut. Kisah Burger King Terkait konteks franchising dan private equity, perjalanan bisnis Burger King adalah salah satu yang menarik untuk disimak. Berdiri di pertengahan tahun 1953 dengan merek Insta Burger King, menurut Wikipedia, di tahun 1959 bisnis ini dibeli oleh dua franchisee mereka wilayah Miami, Florida karena mengalami kesulitan keuangan. Duo-franchisee ini melakukan restrukturisasi, mengganti merek menjadi Burger King, dan dalam waktu 8 tahun berhasil membuka 250 cabang di seluruh wilayah Amerika Serikat. Pada tahun 1967 duo-franchisee ini, James McLamore dan David R. Edgerton, menjual bisnisnya kepada Pillsbury Company. Peralihan kepemilikan masih berlanjut, diikuti oleh kemerosotan kinerja, hingga pada tahun 2002 bisnis ini dibeli oleh TPG Capital dari pemilik terakhirnya Diageo. TPG bergerak cepat melakukan perbaikan hingga di tahun 2006 melakukan Langkah go public yang dianggap sukses luar biasa. Namun segala upaya untuk meningkatkan kinerja Burger King ini terhambat oleh krisis keuangan sepanjang tahun 2007-2010. Di sisi lain, pesaingnya ternyata lebih baik kinerjanya di masa krisis tersebut. Kinerja yang terus menurun akhirnya memaksa TPG Capital menjual bisnis Burger King ke perusahaan lain, yaitu 3G Capital, di tahun 2010. Pada tahun itu pula Burger King melengserkan diri (go private) dari lantai bursa New York Stock Exhange setelah melantai selama 4 tahunan. Mengapa 3G Capital mengambil langkah go private? Konon karena tidak ingin dibebani kewajiban-kewajiban disclosure sebagai perusahan publik dalam mengambil langkah-langkah perbaikan (perombakan besar) yang hendak dilakukan. Di tahun 2012 ternyata 3G Capital sudah melantai kembali ke bursa, hingga sekarang. Saat ini saham Burger King berada di bawah bendera Restaurant Brands International (RBI) dengan kode QSR. 3G Capital menggunakan RBI untuk bisnis kuliner global mereka yaitu: Burger King, Tim Hortons, dan Popeye’s Chicken. Dari uraian mengenai Burger King tersebut, dapat dipahami bahwa tidak semua perusahaan pembiayaan menghindari atau tidak menyukai franchising.
Read More (172 views)
Pilih Medan Peperangan Untuk …
Dalam menghadapi persaingan, Anda harus memilih medan peperangan yang memberikan peluang kemenangan terbesar bagi Anda. PERANG HARGA Anda bisa memilih medang PERANG HARGA dengan menerapkan harga murah, atau termurah. Tentu Anda harus menguasai "supply chain" dengan biaya operasional yang sangat rendah, dan harga barang modal yang sangat rendah pula. Sayangnya banyak orang terjebak ikut perang harga tanpa menguasai 2 hal tersebut. Kita melihat brand promise dan slogan "harga termurah", tapi faktanya tidak demikian. Pesan komunikasi harga termurah hanya menjadi gimmick marketing. Bahkan toko retail modern yang menjanjikan penggantian hingga 2x atau 3x selisihnya pun berani memberikan janji seperti itu karena hampir tidak pernah terjadi klaim yang mewajibkan persyaratan seperti di area yang sama, di toko retail modern yang sejenis, dan ada bukti struk pada hari yang sama. Tanpa menguasai pengendalian biaya HPP (termasuk supply chain) dan biaya operasional, Anda melakukan bunuh diri bila memilih medan "Perang Harga" ini. PERANG INOVASI Salah satu solusi untuk keluar dari jebakan Perang Harga adalah dengan memilih medan PERANG INOVASI. Dalam hal ini Anda perlu memiliki sumberdaya yang cukup (manusia dan dana) untuk senantiasa inovatif dan kreatif, selalu selangkah lebih depan dari para pesaing Anda, di sini anda "tidak perlu" terjebak pada perang harga, sebelum atau ketika kompetitor "meniru" KEUNIKAN Anda. Salah satu perusahaan yang mendapat predikat inovatif adalah 3M. Konon, menurut salah satu edisi Harvard Business Review (HBR), perusahaan ini menyisihkan hampir 6% dari total penghasilan dari penjualannya untuk keperluan Research & Development (R&D). Perusahaan ini telah menyusun sistem yang memberikan toleransi terhadap kesalahan namun mampu mendorong budaya inovasi yang kerap menghasilkan produk-produk inovatif. Salah satu produk inovatif 3M adalah “Post It Notes”. Produk ini konon merupakan suatu kegagalan dalam proses R&D, namun kemudian justru menjadi produk unggulan, meski melalui jalan yang berliku. Post It Notes berawal dari Spencer Silver, seorang ilmuwan yang sedang melakukan eksperimen di Laboratorium 3M di tahun 1968 untuk menemukan atau menghasilkan lem yang super-strong (amat sangat kuat), tapi hasilnya justru lem yang terlihat menempel tapi “amat sangat mudah dilepas”. Yang lebih menarik lagi adalah, keunikan dari lem yang kemudian digunakan untuk Post It Notes ini dianggap tidak bermanfaat saat itu. Kabarnya dibutuhkan waktu 5 tahun dan hanya setelah terjadi pergantian manajemen, untuk kemudian produk ini dicoba untuk dipasarkan. Meski demikian, di tahun 1973 peluang pasar yang terlihat hanya sebatas lem untuk keperluan bulletin board (semacam majalah dinding atau mading). Alan Fry kemudian memiliki ide untuk menempelkan bahan lem tersebut ke permukaan kertas seperti yang kita lihat sebagai Post It Notes. Penelitian masih harus dilanjutkan lagi untuk memastikan bahan lem tersebut tidak ada yang terlepas dari kertas Post It alias pindah ke permukaan benda yang ditempeli Post It Notes. Tahun 1977 dilakukan launching terbatas di 4 kota, dan tanggapan masyarakat tidak cukup memuaskan sehingga manajemen merasa produk ini tidak cukup menjanjikan bagi perusahaan. Penjualannya tak kunjung membaik di tahun 1978, namun manajemen kemudian membagikan sampling ke perusahan-perusahaan untuk memeriksa kembali peluang pasar bagi produk ini. Kejutan dan lonceng kesuksesan ternyata bergema, banyak perusahaan yang melakukan pemesanan produk Post It Notes, karena merasa produk inovatif dan sangat berguna bagi mereka. Setelah melalui perjalanan panjang, bahkan hingga melewati masa-masa yang menimbulkan keputusasaan, ternyata inovasi Post It Notes ini menjadi kisah menarik dari kegagalan menuju kesuksesan yang luar biasa. PERANG PROTEKSI Anda bisa memilih medan PERANG PROTEKSI bila inovasi Anda bisa dilindungi dengan mekanisme regulasi HAK KEKAYAAN INTELEKTUAL (HKI) sehingga kompetitor tidak bisa meniru produk inovatif Anda, dalam waktu tertentu. Kalau sudah mendapat perlindungan HKI Anda benar-benar "tidak perlu" terjebak pada perang harga. Bahkan Anda dapat melisensikan Kekayaan Intelektual kepada pihak lain, dan menerima imbalan berupa royalty. Tentu saja pemberian lisensi ini harus penuh perhitungan yang cermat, misal untuk wilayah geografis yang sulit dijangkau oleh perusahaan anda (misal beda negara), atau dengan perhitungan potensi volume penjualan untuk keperluan mengembalikan dana yang telah dikeluarkan untuk riset tersebut. Coca-Cola menjual konsentrat kepada perusahaan pembotolan lokal di berbagai negara untuk mempercepat ekspansi penjualan mereka ke berbagai negara. Sejarah kemudian mencatat terjadinya akuisisi besar-besaran terhadap pabrik-pabrik pembotolan ini oleh Coca-Cola Amatil dari Australia, yang di tahun 2021 kemudian melakukan merger dengan Coca-Cola European Partners menjadi Coca-Cola Europacific Partners (sumber: Wikipedia). PERANG MODAL BESAR Anda bisa memilih medan PERANG MODAL BESAR, bila Anda memiliki sumber daya keuangan yang luar biasa. Tentu saja strategi ini hanya cocok apabila KEKUATAN MODAL dapat MENGHADANG pesaing untuk masuk ke dalam bisnis Anda karena mereka melihat kebutuhan akan adanya modal besar bila memasuki arena peperangan yang anda pilih. Praktek lain yang diterapkan terkait #5 ini yang dikenal dengan "predatory price" (semacam “jual rugi”) yang bertujuan untuk mematikan para pesaing yang sangat terbatas permodalannya. Tentu saja predatory price dihentikan setelah pesaing kecil itu "mati". * inspired by buku lama "Hyper Competition" by Richard A. D'Aveni, kemudian dikembangkan ke berbagai contoh yang relevan.
Read More (154 views)
Too Good To Be True, But Coul…
Pertanyaan apa saja yang harus Anda tanyakan bila menemukan penawaran-penawaran yang terlihat "too good to be true" seperti ini? *Catatan: "too good to be true" can be true, but usually IT IS too good to be true. Berikut ini 3 (tiga) pertanyaan yang paling mendasar: 1. Angka-angka ini diambil dari outlet di lokasi yang mana? 2. Outlet di lokasi itu sudah berjalan berapa tahun? 3. Minta kejelasan lagi mengenai outlet di lokasi tersebut: Berapa omsetnya setahun, Berapa profitnya, Berapa "total modal" yang dibutuhkan kalau buka outlet baru dengan kondisi seperti yang di lokasi itu. Selanjutnya, bila benar ada lokasi yang kinerjanya sesuai dengan klaim tersebut, Anda harus memeriksa karakteristik lokasi yang hendak Anda ajukan, apakah memiliki "banyak kemiripan" dengan contoh lokasi mereka. Cara terbaik untuk meminimalkan risiko kegagalan adalah membuka cabang di lokasi yang memiliki "banyak kemiripan" dengan contoh lokasi yang sudah TERBUKTI sukses. Sedikit tambahan, bila jawaban untuk pertanyaan nomor 2 adalah sudah lebih dari 5 tahun, Anda perlu cek omset outlet mereka yang baru buka 1-2 tahun, jangan-jangan omsetnya beda jauh.
Read More (172 views)
Yield 35% Ternyata Hanya 15%?
YIELD SEMU Ada iklan yang menawarkan investasi bisnis kuliner di suatu lokasi dengan "Indikasi Yield" sebesar 35%. Makna yield 35% adalah modal investasi Rp1 juta bisa menghasilkan Rp350 ribu setahun. Menurut saya "yield" ini SEMU. Mengapa? 1.Indikasi Yield Berarti Menurut Data Historis Data historis yang digunakan tentu mengacu pada satu (1) lokasi tertentu. Dalam hal ini, beda lokasi beda kinerja. Penyebabnya terutama karakteristik lokasi. Kita perlu mendapatkan lokasi yang digunakan untuk mendukung klaim yield 35% ini, karena lokasi yang ditawarkan belum tentu memiliki kesamaan karakteristik dalam hal kepadatan penduduk, jumlah traffic orang lewat, kebiasaan belanja, selera cita rasa makanan/minuman, dan beberapa hal lainnya dengan lokasi yang digunakan untuk klaim indikasi yield yang 35% itu. Selain faktor karakteristik lokasi, perbedaan kinerja bisa dikarenakan beda kualitas SDM dan pengelolaan operasional lainnya. 2. Tidak Likuid Karena merupakan investasi Securities Crowd Funding, modal Rp1 juta itu tidak bisa dicairkan, kecuali per 6 bulan ada yang mau membelinya. Inilah perbedaan antara saham biasa di lantai bursa IDX dengan saham urun dana (Securities Crowd Funding). Jual beli saham perusahaan yang terdaftar di IDX bisa kapan saja, asal cocok harga alias ada yang cari. Itu sebabnya saham yang banyak dan sering ditransaksikan disebut saham yang likuid. Saham bisnis riil (bisnis sendiri) juga sama, modal awal alias "pokok"-nya tidak bisa langsung dicairkan menjadi uang tunai. Tapi kalau ada yang berminat jual beli, dan memenuhi syarat sesuai kesepakatan alias AD/ART kalau berbentuk badan hukum, maka transaksi jual beli saham kepemilikan bisa dilakukan kapan saja. Jadi, bila Anda hendak berinvestasi di bisnis riil, atau Securities Crowd Funding (dulu dikenal, sebagai Equity Crowd Funding atau ECF), maka Anda perlu tahu fakta ini: investasi ini merupakan asset yang tidak likuid alias tidak mudah dicairkan kembali menjadi uang tunai. 3. Yield Ini Semu Nah, karena tidak likuid, saya menganggap hasil investasi yang diterima sebagai yield semu. Bila investasi franchise dengan jangka waktu 5 tahun, maka yield 35% itu sebenarnya hanya sekitar 15%. Kalau 10 tahun, maka yield itu menjadi 25%. Memang ada nilai aset bekas, tapi tidak likuid. Kalau bukan property, maka nilai aset bekas dalam pembukuan pun mungkin sudah nol dalam kurun waktu 5-10 tahun. Kesimpulannya, yield bisnis riil dan crowdfunding sangat berbeda bila dibandingkan dengan yield investasi di pasar saham lantai bursa IDX. Catatan: a. Meski nilai bukunya nol, aset tersebut tetap produktif. b. Yield 35% ini masih berpotensi jadi lebih rendah karena biasanya laba yang dibagikan hanya sebagian, misal 80%, untuk dana cadangan perawatan dan penggantian aset yang rusak. c. Apakah yield semu 35% bisa menjadi lebih dari 35%? Bisa, apabila nilai aset yang dijual ternyata lebih besar dari nilai modal yang disetorkan. d. Baca juga blog saya sebelumnya yang berjudul "Beda Mindset Investasi Vs Bisnis".
Read More (290 views)
Sales Naik Tapi Profit Turun?
Diskon promosi merupakan salah satu strategi untuk meningkatkan penjualan. Namun demikian, bila tidak cermat akan terjadi fenomena “sales naik, profit turun”. Sales & Profit Saat membicarakan target sales, kita harus selalu melengkapinya dengan target profit. Hal tersebut untuk mencegah “salah fokus” dalam upaya meningkatkan profit dengan promosi dan/atau diskon penjualan gede-gedean yang menyebabkan gross profit tergerus signifikan. Contoh (Perhatikan tabel di bawah!): Bila HPP (Harga Pokok Penjualan) adalah 45% dari kita sebut juga gross sales, atau harga semula atau price list. Tabel kiri menjelaskan jika tidak pernah diskon. Tabel kanan menunjukkan dampak dari diskon 20% all items, apabila net sales tidak ada peningkatan. Gross profit semula yang mencapai Rp5,5 juta turun menjadi Rp4,375 juta Menarik untuk disimak, bahwa nilai gross sales (yaitu volume atau quantity produk terjual) yang sudah meningkat 25% agar nilai net sales bisa tetap sama dengan kondisi net sales ketika tidak ada diskon. Namun peningkatan gross sales ini tidak mampu mengembalikan nominal gross profit yang semula adalah Rp5,5 juta. Peningkatan gross sales bermakna “peningkatan quantity” produk yang terjual, bila tidak ada praktik menaikkan harga semula alias price list sebelum memberikan diskon promosi. Itu sebabnya, HPP di sebelah kiri adalah Rp4.500.000,- dan HPP di sebelah kanan adalah Rp5.625.000,-. Hal ini dikarenakan persentase HPP dihitung dari gross sales (price list) produk yang terjual. Hati-hati dengan perhitungan persentase HPP dari net sales. Ketika ada diskon 20%, maka HPP terhadap net sales ikut meningkat persentasenya. Di tabel sebelah kiri HPP vs net adalah 45%, namun di sebelah kanan HPP vs net menjadi 56,25% Target Sales Ketika Diskon Promosi Kita harus menemukan nilai nominal net sales minimum (saat diskon promosi 20%) yang mampu memberikan kontribusi gross profit senilai Rp5,5 juta. Ternyata nominal net sales yang sudah 120% dari nominal net sales bila tidak ada diskon belum mampu menghasilkan kontribusi gross profit Rp5,5 juta tersebut. Net sales perlu naik menjadi 126% (dari Rp10 juta menjadi Rp12,6 juta), dan secara quantity peningkatan penjualan yang dibutuhkan ternyata 57,5% (dari Rp10 juta menjadi Rp15,75 juta). Strategi Diskon Promosi Strategi diskon promosi biasanya dilakukan untuk menjaga pencapaian penjualan ketika trend pola konsumsi sedang menurun. Kadang peningkatan target quantity penjualan (berdasarkan angka gross sales) bisa dicapai, kadang tidak. Masalah klasik terkait diskon promosi ini adalah berapa omset (net sales) yang dapat diraih kalau tidak ada diskon promosi?, Seberapa anjlok net sales ini? Jadi, strategi diskon promosi kadang memang “harus” dilakukan, dan untuk menjaga nilai gross profit. Selain upaya upselling & cross selling, biasanya dilakukan diskon terbatas pada produk tertentu, atau waktu tertentu. Tujuannya adalah, agar nilai % diskon promosi keseluruhannya menjadi lebih kecil dari 20%. Baca Juga: Beda Up Selling vs Cross Selling Cross Selling, Teknik Meningkatkan Penjualan Semoga informasi tersebut di atas dapat membantu kita untuk menjaga profitabilitas bisnis kita semua.
Read More (555 views)
Ciri-Ciri Autopilot Yang Suks…
Istilah “autopilot” telah menjadi trend dalam gimmick untuk menjual waralaba. Akhir-akhir ini cukup banyak pihak yang menawarkan peluang bisnis yang autopilot, dalam pameran franchise maupun social media seperti facebook dan Instagram. Autopilot tersebut diberi makna, “ketika Anda jalan-jalan, bisnis Anda bisa tetap beroperasi.” Apa saja yang perlu Anda ketahui tentang “autopilot” ini? Franchisor yang Berpengalaman Istilah “autopilot” ini mungkin cocok untuk bisnis yang operated by franchisor (dijalankan oleh franchisor). Dalam hal ini, kualitas autopilot ini sangat bergantung pada jam terbang franchisor. Autopilot ini sebenarnya memiliki konsekuensi yang lumayan tinggi bagi franchisor yang menjadi operator-nya. Akurasi laporan keuangan merupakan salah satu konsekuensi logis dari janji autopilot. Di sisi lain, rendahnya kualitas pengawasan bisa berakibat pada terjadinya kehilangan barang, rendahnya mutu pengelolaan stok barang, hingga perilaku tidak disiplin dari para pegawai. Franchisor yang menjanjikan autopilot harus mampu meminimalkan terjadinya hal-hal tersebut. Saat artikel ini ditulis, ada banyak “fraud” dalam penggunaan istilah autopilot terkait waralaba dan penghasilan pasif. Pihak yang menawarkan “iming-iming” autopilot ternyata tidak memiliki jam terbang, dan masih sedang melewati kurva belajar alias trial and error. Akibatnya pemilik modal yang jadi korban, karena harus menyuntikkan dana tambahan ketika bisnis yang dijanjikan autopilot dengan passive income ini mengalami kerugian. Masa Kritis 2 Minggu Pertama Seorang pebisnis restoran yang cukup berpengalaman mengatakan bahwa dua minggu pertama setelah pembukaan gerai merupakan masa kritis. “Anything can happen,” ia menjelaskan. Artinya sebaik apapun persiapan opening atau launching itu, seringkali terjadi hal-hal yang tidak terduga, sehingga keputusan yang cepat dan tepat harus segera diambil saat “peristiwa luar biasa” itu terjadi. Untuk itu, ia akan melakukan pengawasan ketat selama dua minggu pertama. Hal ini ia lakukan dengan hadir secara fisik maupun dengan meminta laporan setiap hari dari manager yang bertugas, atau mengawasi melalui internet CCTV. Ada pula minimarket yang bercerita bahwa pada saat opening yang disertai promo besar-besaran biasanya mereka menyediakan tambahan mesin kasir (POS) dan SDM, serta team leader. Jadi kehadiran atau keterlibatan langsung tim manajemen yang memiliki jam terbang tinggi sangat dibutuhkan dalam 2 minggu pertama setelah opening. Masa Kritis 1-2 Tahun Ada pendapat bahwa suatu bisnis memerlukan waktu 1-2 tahun untuk menemukan konfigurasi tim kerja yang tepat. Dalam 1-2 tahun pertama ini biasanya terjadi keluar masuk pegawai. Hal ini dapat terjadi karena pegawai yang tidak disiplin, tidak memenuhi target kinerja penilaian, pegawai tersebut digantikan, mengundurkan diri, atau bahkan ia menghilangkan diri alias kabur begitu saja. Saya menyebut ini sebagai masa kritis 1-2 tahun. Dalam konteks autopilot, tentu masa kritis ini harus mendapatkan perhatian lebih. Sistem yang baik tidak bisa berjalan tanpa SDM yang tepat. Turbulence Masa kritis tersebut di atas bisa berulang kembali, jika konfigurasi tim yang sudah baik ini berubah karena dibajak pihak lain atau leader dan/atau salah satu dari mereka mengundurkan diri. Situasinya mungkin menjadi lebih sulit ketika anggota baru susah masuk ke dalam ‘lingkungan’ tim lama yang suah solid itu. Kondisi masa sulit susulan ini diibaratkan turbulence dalam suatu penerbangan, di mana pilot biasanya harus mengambil alih kendali dari autopilot kembali ke tangan pilot. Kalau dibiarkan autopilot, maka risiko atau bahaya menjadi sangat besar. Kebocoran Ada pula pendapat bahwa perusahaan yang besar, yang seolah sudah autopilot melalui kepemimpinan para profesional, seringkali banyak kebocoran dan korupsi di dalamnya. Hal kebocoran tersebut bisa saja benar, kalau sistem autopilot itu tidak memiliki prosedur kontrol dan budaya melaksanakan audit yang ketat. Sistem autopilot yang baik biasanya memiliki titik-titik crosscheck yang cermat, ketat dan komprehensif, untuk mengantisipasi hal-hal negatif ini. Pesawat dengan autopilot dilengkapi dengan dashboard yang harus diperhatikan oleh pilot, agar intervensi pilot bisa segera dilakukan ketika dashboard terlihat tidak wajar. Jadi, jangan sembarangan menawarkan autopilot dan jangan sembarangan percaya lalu membeli penawaran autopilot.
Read More (736 views)
Wajib Tahu, 5 Jenis Outlet
Bila Anda membangun bisnis yang mengandalkan banyak outlet alias jaringan outlet, mungkin anda perlu memahami 5 macam outlet berikut ini. 1. Pilot Outlet Pilot outlet adalah gerai yang pertama kali berdiri. Biasanya gerai ini merupakan prototype pertama sebagai perwujudan dari ide bisnis Anda. Pilot outlet biasanya memiliki keunikan yang bisa menjadi sumber inspirasi dalam mengungkap kisah sejarah bisnis Anda. Bisnis roti bakar dengan merek Yakun Kaya Toast di Singapura misalnya, dalam beberapa publikasinya menampilkan foto outlet pertamanya yang tradisional, dengan kakek pendiri yang membakar sendiri roti bakarnya. Outlet pertama Bebek Goreng pak Ndut di Kartosuryo misalnya, saat awal franchising mempertahankan layanan tradisional dan tidak mengikuti SOP yang menyajikan layanan yang terkesan formal. Design-nya juga tetap dipertahankan, analoginya adalah wilayah cagar budaya yang tetap menampilkan beberapa aspek orisinal. 2. Model Outlet Model outlet dikenal juga sebagai prototype outlet. Meski demikian, ini bisa berbeda dengan prototype pertama. Disebut model outlet karena outlet ini merupakan acuan dalam menduplikasi outlet yang hendak dibangun di kemudian hari. Model outlet bisa terdiri dari beberapa model, biasanya terkait luas area ruang usaha atau gerainya. Misal model 1 ruko, model 2 ruko, model 3 ruko. 3. Flagship Outlet Gerai Flagship adalah gerai yang lokasinya sangat strategis, banyak dilihat orang, biasanya di lokasi-lokasi sebagai berikut: Di lokasi non-tradisional: bandara, stasiun kereta api, lokasi wisata Ruko di jalan raya utama, atau jalan protokol Di dalam mall, di titik lokasi yang strategis Selain high traffic, gerai flagship biasanya juga highly visibile alias mudah terlihat oleh orang-orang yang lalu-lalang di sekitarnya. Gerai flagship harus mempertimbangkan pula profil target pasarnya. Traffic tinggi sebaiknya mayoritas merupakan target pasarnya. Gerai flagship sebaiknya bukan milik franchisee. Karena faktor lokasi yang bagus, biasanya terlalu mahal harga sewanya sehingga gerai ini mengalami kerugian. Namun karena lokasinya yang strategis, asalkan tidak terlalu sepi, franchisor dapat menganggap keterlambatan pengembalian modal (bahkan kerugian) ini sebagai biaya promosi. 4. Trial Outlet Ketika akan meluncurkan produk baru, sangat disarankan agar produk itu tidak langsung tersedia di semua outlet. Franchisor sebaiknya memilih satu atau beberapa outlet yang memenuhi kriteria yang cocok untuk mengukur acceptance dari target market terhadap produk baru Anda. 5. Special Outlet Yang dimaksud dengan special outlet adalah outlet yang mendapat perlakuan istimewa dan tidak mengikuti standar design yang menjadi identitas merek Anda. McD misalnya, sekitar tahun 1997, ketika standar design-nya masih dominan merah dan kuning, memiliki outlet yang sangat berbeda. Outlet ini bernuansa hijau, dengan ornamen bunga-bunga. Yang berwarna merah kuning hanya logo McD. Semoga pemahaman mengenai 5 jenis outlet ini dapat memperkaya strategi pengembangan jaringan gerai Anda.
Read More (495 views)
75% Franchisor Hilang Setelah…
Beberapa fakta yang mengejutkan pernah mengguncang dunia waralaba di tahun 2010-an, yaitu: Dalam waktu 10 tahun terdapat 75% franchisor yang menghilang dari waralaba. Dua merek waralaba cukup terkenal mencatat tingkat gagal bayar SBA Loan (semacam Kredit Usaha Kecil) lebih dari 35%. Beberapa merek waralaba yang kurang terkenal (di Amerika) bahkan mencatat tingkat gagal bayar SBA Loan sekitar 60% hingga 80%. 75% menghilang?, sebenarnya ada apa dengan waralaba dibalik fakta ini?. Mari kita simak penjelasan berikut ini. Scott Shane, seorang dosen dan peneliti di Amerika, pernah mengingatkan, “Riset akademis menunjukkan bahwa sejumlah tiga per empat dari franchisor yang baru (new franchisors) berhenti menawarkan waralaba setelah sepuluh tahun diwaralabakan.” Meski demikian, euforia waralaba dan entrepreneurship telah menutup rapat informasi penting ini. Informasi ini mulai terkuak lebar karena terjadi kehebohan berupa tingginya tingkat gagal bayar SBA Loan berbasis waralaba. Informasi yang dipublikasikan mengenai SBA Loan menunjukkan bahwa gagal bayar Subway hanya 4% sementara Blimpie mencapai 37%. Angka ini segera dipertanyakan oleh para pengamat, apakah ini murni faktor merek atau ada faktor lain. Meski persentase itu dibandingkan dengan jumlah gerai dari merek yang bersangkutan yang mengambil kredit SBA Loan (bukan terhadap gabungan seluruh merek waralaba yang mengambil kredit SBA Loan, artinya bukan terhadap jumlah seluruh gerai merek tersebut), persentase yang tinggi menunjukkan anggapan bahwa waralaba memiliki tingkat risiko kegagalan yang lebih rendah daripada non-waralaba patut dipertanyakan. Ini fakta yang mengerikan, meski datanya terbatas pada SBA Loan di Amerika Serikat. Tingkat gagal bayar kredit waralaba di tahun 2004-2006 ternyata 10% lebih tinggi daripada bisnis independen (non-waralaba). Bagaimana dengan Indonesia?, untuk Indonesia dulu sampai sekarang, masih belum ada publikasi serta data resminya. Kelompok Berisiko Tinggi Beberapa pengamat menduga tingginya gagal bayar SBA Loan di bisnis waralaba dikarenakan pihak-pihak yang mengajukan kredit ke SBA Loan adalah pihak yang berisiko tinggi dan tidak berhasil mendapat pinjaman konvensional dari bank umum. Bila benar mereka yang gagal bayar ini merupakan kelompok berisiko tinggi, maka hal ini mencerminkan bahwa ada yang kurang pas pada proses seleksi calon franchisee oleh para franchisor. Apalagi ketika dibandingkan dengan yang non-waralaba ternyata tingkat kegagalannya lebih tinggi yang waralaba. Di Indonesia, belum ada publikasi resmi mengenai tingkat gagal bayar kredit waralaba. Tahun 2011 pemerintah meluncurkan program pembiayaan untuk waralaba dengan bunga rendah melalui LPDB (Lembaga Pengelolaan Dana Bergulir) di bawah Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil Menengah. Mudah-mudahan program yang ditujukan untuk mengurangi jumlah pengangguran ini tepat sasaran, tidak mengalir ke merek franchise yang tidak kompeten, dan seleksi calon penerima dananya dilakukan dengan ketat sehingga tidak jatuh pada kelompok berisiko tinggi. Secara kasat mata kita melihat cukup banyak bisnis gerobakan yang ditawarkan sebagai BO akhirnya tidak beroperasi, bahkan yang mereknya terkenal sekalipun. Kita juga menyaksikan pula beberapa bisnis non-gerobak dengan merek waralaba akhirnya tutup, entah karena salah lokasi atau salah kelola. Franchisee Salah Kelola Satu hal yang bisa menjadi faktor penyebab kegagalan franchisee adalah salah kelola. Akhir-akhir ini saya menjumpai cukup banyak franchisor yang kerepotan menghadapi franchisee yang kurang disiplin dalam mengelola keuangan bisnisnya. Ada franchisee bisnis retail mengambil kredit mobil dengan cicilan Rp5 jutaan ketika bisnisnya mulai membukukan arus kas bersih bulanan sekitar Rp5 jutaan. Akibatnya, ketika arus kas bersihnya tidak berhasil menembus angka Rp5 juta, kelengkapan stok barangnya terganggu sehingga omset dan arus kas bersihnya terus mengalami penurunan. Adalagi beberapa franchisee retail yang lupa diri melihat besarnya uang tunai penjualan retailnya. Ia menggunakan sebagian besar hasil penjualan itu untuk keperluan pribadi, padahal seharusnya ia menyisihkan uang modal untuk membeli barang kembali alias melengkapi stock barangnya. Mengingat besarnya risiko salah kelola ini, sangat disarankan kepada para franchisor, yang franchiseenya memperoleh kucuran bantuan permodalan LPDB, untuk mengawasi dengan ketat keuangan franchisee selama 3 tahun pertama agar pengembalian pinjaman ini lebih terjamin. Kompetensi Manajemen Franchisor Beberapa pihak yang lain berargumentasi bahwa tingginya tingkat gagal bayar di Amerika tersebut dikarenakan Resesi Ekonomi yang melanda Amerika Serikat. Meski demikian, ternyata SBA Loan memiliki 2 versi laporan terkait pengembalian kredit yang diberikan: “Top 100 Merek Waralaba Terbaik” dan “Top 100 Merek Waralaba Terburuk”. Artinya, gagal bayar ini bukan sekedar faktor resesi ekonomi, melainkan kompetensi manajemen franchisor dan franchisee yang bersangkutan. Masa-masa sulit hampir pasti pernah dialami oleh bisnis mana pun juga. McD misalnya pernah mengalami masalah serius dan kritis sekitar tahun 2002. Larry Light, konsultan dan mantan Chief Marketing Officer McDonald’s, menyingkap fakta bahwa ketika ia bergabung dengan McDonald’s di bulan September 2002, harga saham perusahaan ini anjlok dari nilai tertinggi USD 45.31 di bulan Maret 1999 menjadi USD 17.66. Harga saham ini terus merosot hingga sekitar USD 13 pada bulan Maret 2003. McD berhasil melewati masa-masa kritis tersebut. Harga saham McDonald’s melejit dari sekitar USD 13 di tahun 2003 menjadi sekitar USD 32 di akhir tahun 2005. Selama periode Januari-Mei 2011 saham McD bergerak di atas USD 70. Bahkan sejak pertengahan Mei hingga awal Juni nilainya bertengger di atas USD 80. Owner Operator Secara umum, menurut Scott Shane, franchisor baru yang mewajibkan owner operator dengan keterlibatan 100% memiliki tingkat kegagalan yang jauh lebih rendah dibandingkan dengan investor pasif. Tingkat keberhasilan owner operator ini memang membutuhkan seleksi franchisee yang ketat, karena bila yang lolos seleksi ternyata tidak becus mengelola maka yang terjadi adalah sebaliknya: malapetaka bagi gerai franchisee tersebut (dan bagi seluruh jaringan waralaba bila kesalahannya menyangkut kepuasan pelanggan dan mengganggu citra merek waralaba tersebut). Bayangkan suatu rumah makan “Bakso XYZ”. Seorang pelanggan baru pertama kali masuk ke sana. Ia mengeluh kepada manager yang ternyata franchisee yang owner operator, “Kuahnya mengandung terlalu banyak lada.” Owner operator menjawab dengan santai, ”Memang standarnya begitu.” Pelanggan tersebut langsung memiliki persepsi bahwa “Bakso XYZ” bukan bakso yang sesuai dengan selera dia. Kemungkinan besar ia tidak akan mau masuk ke gerai “Bakso XYZ” di lokasi lainnya. Ujian 5 dan 10 Tahun Tampaknya usia 5 dan 10 tahun akan menjadi batu ujian bagi para franchisor. Beberapa sumber menyatakan, dalam waktu 10 tahun terdapat 75% franchisor yang gagal, dan separuh dari mereka sebenarnya sudah gagal dalam waktu kurang dari 5 tahun. Bagaimana dengan di Indonesia? Pada tahun 2011 saya pernah mempelajari Direktori Waralaba SWA tahun 2005. Dari “42 Merek Waralaba Lokal yang tercatat dalam 1 tahun terakhir”, saya menengarai sekitar 22 merek tidak terlihat lagi di tahun 2011 tersebut. Selain itu terdapat sekitar 6 merek yang masih ada, tapi tidak lagi menawarkan waralabanya. Di bidang makanan dan restoran, beberapa merek tidak terlihat lagi karena gagal menjaga standar kualitas dan persepsi rasa untuk mereknya. Yang lainnya ada yang menghilang karena tidak mampu mengembangkan model bisnisnya untuk berkembang lebih jauh, adapula yang tidak berhasil tinggal landas waralabanya (kurang peminat). Di tahun 2022 majalah Infobrand Indonesia me-release daftar merek waralaba dan kemitraan yang sudah dikonfirmasi masih menawarkan kerja sama waralaba/kemitraan. Jumlahnya hanya sekitar 500 merek. Padahal di tahun 2011 majalah Franchise Indonesia pernah menerbitkan data sekitar 2000 merek untuk direktori waralaba/kemitraan mereka. Semoga informasi tersebut di atas membuka wawasan kita semua. Waralaba (dan BO alias “Business Opportunity” yang mirip waralaba) bukan resep atau jalan pintas sukses yang mudah. Tidak ada jaminan keberhasilan. Jadi, telitilah sebelum membeli atau menginvestasikan dana anda ke dalam bisnis waralaba.
Read More (530 views)
SOP Saja Tidak Cukup!
Memiliki SOP atau Pedoman Operasional saja tidak cukup untuk menjaga kualitas produk dan layanan bisnis kita. Bila Anda merasa sudah memiliki SOP yang baik, namun kondisi di lapangan seringkali tidak konsisten, maka kita perlu memeriksa kekurangannya ada di mana. Pedoman Operasional Pedoman Operasional biasanya berisi informasi mengenai Who does What, How & Why (siapa melakukan apa, bagaimana caranya, dan mengapa harus dilakukan dengan cara seperti itu). Tentu saja dalam How itu bisa muncul unsur Where dan/atau When (di mana dilakukannya, dan/atau kapan harus dilakukan). Seleksi Sumber Daya Manusia Pedoman Operasional yang sudah disusun dengan sangat baik akan mandul bila seleksi Sumber Daya Manusia dilakukan asal-asalan. Seleksi SDM sangat memengaruhi hasil dari program pelatihan suatu perusahaan. Kualitas SDM yang buruk tentu menyulitkan proses pelatihan, sekaligus mengakibatkan output hasil pelatihannya tidak maksimal. Pelatihan SDM Seleksi yang sudah dilakukan dengan baik harus ditindaklanjuti dengan program pelatihan yang baik dan benar. Kinerja yang baik, kualitas produk dan layanan yang baik, sangat ditentukan oleh kombinasi antara seleksi dan pelatihan SDM. Supervisi Bagian terakhir namun tidak kalah pentingnya adalah mekanisme dan pelaksanaan supervisi atau pengawasan yang konsisten. Dalam melaksanakan supervisi, biasanya dilakukan audit terhadap seluruh aspek operasional: kebersihan, pelayanan, kualitas produk, dan sebagainya. SOP dan tugas melakukan stock take atau stock opname misalnya, perlu diperiksa ulang secara random untuk memastikan pelaksanaannya sudah dilakukan dengan benar oleh staff di outlet. Beberapa bisnis menerapkan mystery shopper, yaitu mengirim pembeli yang ditugaskan untuk melakukan penilaian tanpa sepengetahuan tim atau staff di outlet. Jadi, SOP saja tidak cukup. Untuk menghasilkan kinerja yang konsisten dan maksimal, kita membutuhkan satu paket lengkap yaitu, SOP, Seleksi SDM, Pelatihan SDM, dan Supervisi.
Read More (360 views)
Wilayah Proteksi Waralaba
Wilayah proteksi waralaba (franchise territory) adalah topik hangat yang tak ada habisnya dalam pembicaraan mengenai waralaba. Hal ini menjadi makin seru ketika yang dibicarakan adalah fenomena Indomaret dan Alfamart yang terlihat tidak memiliki pola terkait wilayah proteksi. Bukan Proteksi Pasar Hal terpenting yang harus dipahami terkait dengan wilayah waralaba adalah bahwa proteksi itu bukan proteksi pasar, melainkan proteksi tidak adanya gerai sejenis dalam wilayah yang didefinisikan sebagai wilayah proteksi. Pelanggan bisa saja menyeberang ke gerai di lain wilayah. Hal ini dapat terjadi sekedar karena sedang melintas, atau karena kualitas layanan yang dirasakan berbeda. Alasan yang terakhir ini seharusnya tidak terjadi. Franchisor perlu menjaga standar kualitas layanan ini. Kecukupan Pasar Salah satu pertimbangan penting terkait wilayah proteksi adalah kecukupan pasar. Meski demikian, perhitungan mengenai “pasar” ini tidak selalu mengacu pada jumlah penduduk sekitar. Beberapa lokasi memiliki karakteristik pelanggan yang bukan penduduk sekitar, artinya orang yang melintas di sana, misalnya restoran dalam mall. Dalam hal ini yang dibutuhkan adalah pemahaman mengenai jumlah pelanggan dan/atau angka penjualan dan/atau angka estimasi EBITDA yang dibutuhkan untuk menjadikan bisnis di lokasi tersebut layak atau menarik sebagai suatu investasi bisnis. Salah satu minimarket pernah menyebutkan angka penjualan rata-rata Rp10 juta per hari sebagai acuan kelayakan investasi bisnis di suatu lokasi. Bagaimana dengan bisnis Anda? Semangat Berjaringan Konflik antara franchisor dengan franchisee dalam hal wilayah waralaba biasanya disebabkan karena kurangnya semangat berjaringan di benak franchisee. Selain itu, bisa juga dikarenakan ambisi franchisor untuk memiliki gerai sebanyak-banyaknya tanpa memperhitungkan kecukupan pasar yang dibutuhkan oleh franchisee. Kedua faktor ini berakar pada satu kata,“keserakahan”. Diperlukan keseimbangan antara kebutuhan franchisor dalam membangun merek dan gerai sebanyak mungkin, dengan kecukupan pasar yang dibutuhkan oleh franchisee. Radius, atau … Metode paling populer untuk menentukan batasan wilayah proteksi adalah penggunaan istilah “radius sekian kilometer”. Metode ini rawan konflik, karena batasannya seringkali kurang jelas. Apalagi bila diukur dari pencatatan kilometer mobil atau motor. Metode terbaik adalah batasan ruas jalan, rel kereta api, jembatan layang, dan landmark lainnya. Perkiraan radius dapat digunakan sebagai langkah awal. Selanjutnya, pelajarilah jumlah penduduk dan jumlah traffic yang akan menjadi pasar Anda, kemudian tentukan batas-batasnya dengan jelas. Batas-batas administratif Kelurahan, Kecamatan, atau Kabupaten/Kotamadya mungkin dapat digunakan karena lebih clear batasannya. Khusus untuk gerai di dalam mall, umumnya wilayah proteksi hanya di dalam areal lokasi gedung mall tersebut. Jadi, gerai di luar mall biasanya mengecualikan area mall dalam definisi wilayah waralabanya (tergantung kesepakatan). Tanpa Wilayah Proteksi Mungkinkah suatu waralaba tanpa wilayah proteksi?, meski tidak umum, jawaban saya adalah “mungkin saja”. Hal ini tergantung posisi tawar franchisor lebih tinggi terhadap franchisee. Ada beberapa alasan yang dapat membuat franchisor tidak memberikan wilayah proteksi. Kebutuhan untuk memiliki gerai sebanyak-banyaknya merupakan salah satu alasan yang paling umum dijumpai. Asalkan franchisor mempertimbangkan kecukupan pasar sebagaimana telah diuraikan di atas, maka kebijakan tersebut sah-sah saja menurut saya. Alasan lainnya adalah antisipasi perubahan atau pertumbuhan jumlah penduduk di wilayah tersebut di tengah-tengah jangka waktu waralaba. Beberapa franchisor memutuskan untuk memperkecil wilayah proteksi ketika perpanjangan perjanjian waralaba, karena perubahan kependudukan ini. Tentu saja franchisee yang bersangkutan seyogyanya diberi kesempatan (prioritas) untuk membuka gerai di wilayah yang semula merupakan wilayah proteksinya. Semoga penjelasan tersebut bermanfaat bagi anda semua.
Read More (448 views)
Perlindungan Non-Kompetisi Ba…
Klausul-klausul perjanjian waralaba biasanya memberikan perlindungan bagi franchisor. Salah satunya adalah klausul mengenai pernyataan komitmen franchisee untuk tidak berkompetisi dengan franchisor, atau lebih spesifiknya dengan bisnis waralaba milik franchisor. Bukan Sekedar HKI Franchisor berhak mendapat perlindungan non-kompetisi karena franchisee telah mendapatkan informasi strategi pemasaran, promosi, branding, pengelolaan SDM, hingga sistem administrasi dan pengelolaan biaya untuk menjalankan bisnis tersebut. Selain itu, franchisee memiliki informasi rahasia seperti angka penjualan, produk paling laku dan produk yang kurang laku, daftar pemasok, harga beli yang diberikan oleh pemasok, dan sebagainya. Jadi bukan sekedar HKI. Oleh karena itu, komitmen non-kompetisi biasanya melibatkan unsur kerahasiaan informasi, sehingga komitmen ini tidak hanya mengenai larangan kepemilikan langsung maupun tidak langsung suatu bisnis yang berkompetisi dengan bisnis franchise, tapi mencakup pula larangan memberikan informasi, dan memberikan konsultasi kepada bisnis yang berpotensi berkompetisi dengan bisnis franchisor. Non-kompetisi Harus Spesifik Harus diakui, klausul atau pasal perjanjian mengenai non-kompetisi kadang memang merugikan franchisee ketika dibuat terlalu luas. Misal, seseorang membeli waralaba restoran pizza, tidak selayaknya dilarang masuk bisnis restoran ayam goreng. Brian Loffredo menuliskan opininya di LinkedIn sebagai berikut: …, franchisees need to consider their exit strategies when entering into a franchise relationship and need to make sure any restrictions are clearly defined and as narrowly drawn as possible. For example, a pizza franchisee with dreams to stay in the food industry will want to make sure his restrictions are not so broad as to preclude the sale of chicken wings or participation in full-service restaurants. A window cleaning franchise will want to make sure his restrictions will not preclude handyman services or general contracting. Given the potentially crippling effect of many restrictions, it makes sense for franchisees to clarify their obligations early, and before entering into a franchise relationship. https://www.linkedin.com/pulse/franchise-non-compete-agreements-enforceable-brian-loffredo/ Selain bidang usahanya, di beberapa negara atau daerah ada ketentuan bahwa wilayah non-kompetisi dan batasan waktu pasca-pengakhiran perjanjian waralaba-nya juga perlu spesifik. Berikut ini satu contoh lagi yang berlaku di Amerika, dikutip dari Greensfelder : The court found that a two-year restriction was enough time for the franchisor to protect its legitimate business interest. The court further found that ten miles was a reasonable geographic limit because ten miles was the approximate distance a customer is willing to travel for the franchisor’s products. The court held that the franchisee was violating the non-compete clause by operating a business similar to franchisor’s business in the same location where the franchisee previously operated his franchise business. Ketentuan mengenai lingkup bidang usaha, wilayah, dan batasan waktu pasca-pengkahiran ini bersifat relatif dan berbeda dari negara atau daerah yang satu dengan yang lainnya. Negosiasi Klausul ini memang dapat dinegosiasikan berdasarkan kondisi tertentu. Apotek K-24 misalnya, meski pada prinsipnya tidak menyediakan ruang negosiasi terhadap klausul ini, memberikan kebijakan khusus ketika ada Rumah Sakit yang hendak mengubah layanan pembelian obat yang semula untuk keperluan pasien internal menjadi layanan apotek untuk umum. Tentu saja kebijakan ini diberikan dengan batasan yang cukup ketat. Larangan non-kompetisi sebagai apotek yang melayani umum tetap berlaku. Kelonggaran diberikan dalam bentuk kembali menjadi layanan penyediaan obat untuk pasien internal Rumah Sakit. Perluasan Lini Produk Hal pelik dari definisi bisnis yang spesifik ini adalah ketika terjadi perluasan lini produk. Bila semula franchisor adalah restoran pizza kemudian mengembangkan produk ayam goreng sebagai salah satu menunya, maka akan ada potensi benturan kepentingan ketika franchisee pizza ini kemudian sudah menjadi franchisee ayam goreng merek lain. Dalam praktek, hal ini memang sulit dihindarkan, namun penting sekali bagi franchisor dan franchisee untuk membuat jelas dari awal mengenai kemungkinan perluasan lini produk ini, bagaimana kedua pihak akan bersikap nanti.
Read More (300 views)
Beda Mindset Investasi vs Bis…
Bila Anda biasa menempatkan portofolio investasi di aset kertas (paper asset) seperti saham, reksadana, atau deposito, maka mindset Anda harus berubah ketika mulai mempertimbangkan “berinvestasi” dibisnis riil, mengapa?. Untuk lebih lanjut, mari kita simak pembahasan dibawah ini. Tidak Likuid Berbeda dengan saham, reksadana, dan deposito (juga valas dan LM emas batangan), investasi dibisnis riil itu relatif tidak likuid, alias modal yang sudah Anda setorkan tidak bisa diuangkan kembali dengan segera. Bila ada keperluan keuangan, paper asset dapat segera dicairkan nilai pokoknya. Dalam bisnis, sulit sekali untuk mencairkan kembali modal yang sudah menjadi aset untuk menjalankan bisnis tersebut. Tentu saja paper asset berupa saham gocap adalah pengecualian dalam penjelasan ini, karena saham gocap mungkin sulit dijual (dicairkan) juga. Depresiasi Aset Sebagian besar dari modal yang Anda setorkan akan menjadi aset tidak bergerak yang secara akuntansi kemungkinan besar nilainya menjadi nol akibat depresiasi nilai aset dalam waktu 5 tahun mendatang (kecuali gedung bangunan yang mungkin bisa sampai 20 tahun). Dalam paper asset, modal Anda tidak akan menyusut. Jadi, selain faktor likuiditas, modal yang telah menjadi aset tersebut mengalami penurunan nilai. Tentu saja penurunan nilai ini bisa dikoreksi dengan revaluasi asset yang nilainya kemungkinan kecil bisa menyamai atau melebihi nilai modal yang ditanamkan ke bisnis tersebut. Tentu ada pengecualian pada beberapa item seperti properti yang didapat dengan harga murah sehingga saat revaluasi harganya melonjak menjadi lebih tinggi dari harga beli atau harga modalnya. Penghasilan Bulanan vs Yield bulanan Nah, selain hal likuiditas dan depresiasi, ada satu hal lagi yang menarik untuk disimak, yaitu penghasilan bulanan dalam bisnis riil. Perhatikan ilustrasi berikut ini, paper asset kita umpamakan berbentuk Deposito: *Bunga deposito dan hasil Bulanan belum dikurangi pajak Pada umumnya prospek suatu bisnis digambarkan dengan ungkapan payback period, beberapa orang menggunakan istilah Break Event Point (BEP), beberapa orang yang lain menggunakan istilah balik modal. Tentu saja ketiga istilah tersebut (payback period, BEP, dan balik modal) sesungguhnya tidak identik, tidak persis sama. Namun untuk keperluan penyederhanaan, maka kita anggap saja sama maknanya, yaitu waktu yang dibutuhkan agar akumulasi EBITDA (Earnings Before Interest Tax Depreciation Amortization, yaitu laba usaha sebelum dipotong biaya bunga, pajak tahunan, depresiasi, dan amortisasi) bulanan menjadi sama dengan modal yang dibelanjakan menjadi asset dan biaya-biaya persiapan bisnisnya. Nah dalam tabel tersebut, YIELD untuk deposito terlihat sama persis dengan bunga deposito. Tapi untuk YIELD bisnis, kita perlu mengurangi total hasil dengan modal, karena modal sudah menjadi aset yang relatif tidak likuid. Aset yang tidak likuid ini bisa dikatakan tetap produktif meski mungkin perlu biaya perawatan dan perbaikan asset, dan biaya ini seyogyanya tercatat sebagai biaya operasional. (Baca artikel: Biaya Operasional, Apa Saja?) Catatan: Meski hasil EBITDA kemudian dikurangi dengan total modal di akhir tahun ke-5, biasanya nilai dan persentase yield ini tetap lebih menarik daripada deposito, apabila anda tidak keliru memilih waralaba atau kemitraan. Angka ini akan menjadi lebih menarik lagi ketika kita menarik waktu yang lebih panjang, misal 10 tahun atau 15 tahun. *Bunga deposito dan hasil Bulanan belum dikurangi pajak Bila Anda punya pendapat lain, atau tambahan informasi yang bermanfaat, silakan mengirim komentar ke admin@klikfranchise.com.
Read More (345 views)
7 Mitos Waralaba
Ada banyak salah kaprah dalam waralaba yang perlu diluruskan. Salah kaprah ini telah menimbulkan konflik-konflik yang seharusnya bisa dihindari, atau setidaknya diminimalkan. Dalam kesempatan ini saya mencoba menguraikan 7 mitos waralaba yang mengakibatkan salah kaprah yang banyak terjadi. 1. Waralaba itu Menghasilkan Passive Income Khusus untuk waralaba yang operated by franchisor (dikelola atau dijalankan oleh franchisor), mungkin pendapat ini benar sebagian. Sebagian, karena meski operated by franchisor, franchisor biasanya tidak memberikan jaminan keuntungan. 2. Waralaba itu Pasti Untung Waralaba adalah investasi bisnis, jadi pasti ada resiko. Bila tidak menghendaki resiko, pilihannya adalah menyimpan uang di bank saja dalam bentuk tabungan atau deposito. Salah kaprah bahwa “waralaba pasti untung” ini terus berlanjut, karena informasi dan penawaran waralaba di pameran selalu terlihat menarik dan manis didengar. Tak jarang investor baru menyadari adanya resiko rugi setelah bisnis waralabanya beroperasi dan mengalami kerugian. Banyak investor yang terpikat oleh tampilan luar suatu merek atau bisnis yang diwaralabakan. Keterampilan franchisor dalam membangun dan mengemas merek dan bisnisnya sering mengelabui investor atau calon franchisee. Membeli waralaba dengan merek yang mentereng, tanpa mempelajari dengan cermat fundamental bisnisnya, sama saja dengan membeli rumah yang dicat dengan rapih di bagian luar saja tapi tidak memeriksa bagian dalamnya yang mungkin saja seperti bermasalah konstruksinya. 3. Waralaba itu Mudah Dijalankan Tingkat kemudahan menjalankan bisnis waralaba tergantung jenis dan model bisnisnya. Sesederhana apa pun, tampaknya manajemen kepegawaian (SDM, Sumber Daya Manusia) merupakan tantangan terbesar dan terberat yang akan dihadapi setiap franchisee. Kecuali franchise pasif, franchisee seharusnya terlibat aktif mengikuti pelatihan awal yang diselenggarakan oleh franchisor. Tidak sedikit franchisee yang mengabaikan hal penting ini. Di sisi lain, banyak franchisor yang kurang menuntut kewajiban franchisee untuk mengikuti pelatihan ini. 4. Franchisor Bertanggungjawab Menyediakan Pegawai Banyak franchisee yang “merasa dijanjikan” bahwa franchisor yang akan menyediakan pegawai. Kalau ada pegawai mengundurkan diri, maka franchisor bertanggungjawab mencarikan pegawai. Seharusnya mencari pegawai adalah kewajiban franchisee. Franchisor hanya membantu, tapi tidak mungkin memberikan janji atau jaminan pasti bisa menemukan calon pegawai. Ketersediaan calon pegawai itu di luar kendali franchisor. Kewajiban franchisor adalah mengajarkan cara menyeleksi dan melatih, atau memberikan support pelaksanaan menyeleksi dan melatih calon pegawai itu. Kewajiban franchisee adalah “mencari pegawai” dan “mengelola pegawai” dengan baik. 5. Franchisor Bertanggungjawab Meningkatkan Sales Franchisee Meski tidak sepenuhnya keliru, pernyataan di atas tidak sepenuhnya benar. Franchisor bertanggungjawab meningkatkan “peluang” terjadinya penjualan (sales) melalui upaya-upaya atau kegiatan branding dan pemasaran (marketing). Kegiatan branding dan marketing yang baik akan meningkatkan peluang datangnya calon pelanggan, tapi penjualan baru akan terjadi ketika tim di level gerai menjalankan perannya dengan baik. Keberhasilan meningkatkan penjualan adalah tanggungjawab masing-masing franchisee, melalui komitmen-komitmen menjaga standar kualitas produk dan layanan, kepuasan pelanggan, dan kegiatan promosi lokal. Dalam hal tertentu, kadang upaya franchisor masih kurang berhasil mendatangkan calon pelanggan ke gerai. Hal ini bisa diakibatkan karena suatu mall yang kurang aktif menyelenggarakan event, atau memang wilayah sekitar lokasi gerai memiliki kebiasaan tertentu yang unik, atau faktor lain seperti traffic (jumlah kendaraan atau orang yang lewat) yang kurang mendukung. Dalam hal ini memang franchisor diharapkan dapat memberikan support dengan mendatangkan timnya ke gerai untuk melihat cara-cara lain yang diperlukan khusus untuk kondisi gerai tersebut. 6. Merek Terkenal Berhak Atas Biaya Awal Waralaba yang Tinggi Salah kaprah ini dikarenakan pemahaman yang tumpang tindih dengan konsep “brand equity”. Biaya awal waralaba itu terkait dengan potensi keuntungan di level gerai yang bersangkutan. Brand equity itu terkait dengan potensi pengembangan yang tidak dibatasi di satu gerai belaka. Itu sebabnya brand equity suatu merek bisa jauh lebih tinggi nilainya bila dibandingkan dengan biaya awal waralaba. Franchisor yang memasang biaya awal waralaba amat tinggi (dengan alasan mereknya terkenal), ibarat memasang perangkap bagi dirinya sendiri. Biaya awal waralaba yang ia tetapkan dengan sangat tinggi akan mengakibatkan franchisee tidak bisa mencapai balik modal. Payback period bisnis di gerai franchisee menjadi akan buruk ketika dikaitkan dengan biaya investasi yang dikeluarkan oleh franchisee tersebut. 7. Waralaba Untuk Belajar Bisnis Salah kaprah yang satu ini memiliki dampak negatif yang mengganggu perkembangan bisnis waralaba. Beberapa franchisee mengira bahwa mereka berhak mengganti merek setelah jangka waktu perjanjian waralaba berakhir. Mereka menganggap sah-sah saja kalau mereka membeli waralaba untuk belajar bisnis, lalu menurunkan merek waralaba dan menggantinya dengan merek mereka sendiri. Bila investor atau calon franchisee memang berencana hendak menggunakan merek sendiri, etikanya mereka tidak membeli waralaba. Ada jalan lain untuk tujuan tersebut: membayar konsultan bisnis bidang tertentu, misalnya konsultan restoran bagi yang hendak mendirikan bisnis restoran, atau konsultan retail bagi yang hendak mendirikan bisnis mini market. Beberapa pemasok mesin juga sering menyediakan jasa konsultasi seperti ini, misal pemasok mesin laundry memberikan pelatihan dan konsultasi untuk mendirikan bisnis laundry, atau pemasok bahan makanan seperti coklat dan tepung menyediakan jasa pelatihan dan konsultasi untuk mendirikan bisnis roti dan kue.
Read More (481 views)
Dualisme Merek Warteg Kharism…
Tahukah anda bahwa ada DUA versi Warung Tegal (Warteg) Kharisma Bahari, dan dua-duanya memiliki Sertifikat Merek? Berikut tabel perbandingan informasi merek yang didapat dari https://pdki-indonesia.dgip.go.id/ Tabel Perbandingan Merek WKB dengan Kharisma Bahari LOGO Nama Merek WKB +LOGO KHARISMA BAHARI Translasi WKB = Penamaan Tidak ada Nama Pemilik Merek SAYUDI HERNANDO YUDHA SETIAWAN Nomor Permohonan J002019020608 JID2020081354 Tanggal Penerimaan 4/22/2019 12/16/2020 Nomor Sertifikat IDM000811094 IDM000923795 Tanggal Pendaftaran 11/11/2020 11/16/2021 Kelas 43 43 Uraian Kelas Restoran, cafe, rumah makan, tempat penyediaan makanan dan minuman, catering, warung makan. Kantin, Pusat Jajanan Serba Ada (Pujasera), Restoran, rumah makan. Dualisme (Kepemilikan) Merek Dualisme kepemilikan merek sebenarnya bukan hal yang baru. Salah satu kasus dualisme (kepemilikan) merek yang mengakibatkan perseteruan hingga ke meja hijau adalah “Geprek Bensu”. Tentu keduanya memiliki perbedaan, tapi faktanya masyarakat tidak paham hingga munculnya berita viral mengenai sengketa merek ini. Terkait merek Kharisma Bahari ini, terlihat “WKB” yang lebih dulu menggunakan merek ini hanya mendaftar di kelas 43 dan tidak melibatkan konsultan merek, sebaliknya “Kharisma Bahari” menggandeng konsultan merek dan mendaftar pula di beberapa kelas lainnya, misalnya di kelas 45 yang dalam uraiannya didaftarkan sebagai “jasa lisensi konsep waralaba, Jasa Lisensi Waralaba” (saya kurang paham makna bolak-balik dari lisensi dan waralaba ini). Bahkan di kelas 43 mereka mendaftarkan pula merek “WRTG KHARISMA BAHARI”, sekitar 2 minggu setelah permohonan pendaftaran merek mereka sendiri yang saya cantumkan di tabel tersebut. Dualisme dengan Kesepakatan Bersama Sebenarnya ada dualisme yang disertai kesepakatan bersama, misalnya Rocket Chicken dan RFC (Rocket Fried Chicken). Meski demikian, tampaknya sebagian masyarakat terlihat tidak sepenuhnya paham kalau dua merek ini berbeda kepemilikannya. Berita mengenai sengketa dua merek ini yang berujung damai dapat disimak di tautan berikut ini; Sengketa Merek Rocket Chicken dengan Rocket Fried Chicken Berujung Damai. Mengenai WKB dan “Karisma Bahari” yang bukan-WKB ini, tidak jelas apakah keduanya satu grup, atau keduanya menandatangani kesepakatan tertentu, atau pihak WKB tidak mengetahui ada pihak yang menggunakan dan mendaftarkan merek Kharisma Bahari untuk bisnis warteg. Risiko Brand Image Dualisme seperti ini sebenarnya tentu saja memiliki risiko terhadap brand image mereka masing-masing. Sebaiknya seorang pengusaha menggunakan merek yang unik dalam mengembangkan bisnisnya, dan menjaga keunikan (uniqueness) mereknya dengan memperhatikan perkembangan permohonan merek yang diajukan ke Dirjen HKI. Bila terlalu sibuk, bisa melibatkan konsultan HKI terdaftar dengan kejelasan kerja sama, yaitu menjaga agar tidak ada merek yang sama atau mirip yang didaftarkan ke Dirjen HKI. * Bila ada informasi tambahan yang dapat melengkapi kabar terkait dualisme merek Warteg Kharima Bahari, anda bisa kirim email ke admin@klikfranchise.com
Read More (990 views)
Plus Minus Urun Dana atau Cro…
Crowd Funding! Sebelum anda menempatkan dana anda melalui crowdfunding (urun dana), sebaiknya Anda pahami dulu plus minusnya. Ada 4 Jenis Urun Dana Hingga saat ini, tampaknya hanya ada 4 jenis urun dana, yaitu: 1. Berbasis Ekuitas, atau penyertaan saham (saham biasa dan saham syariah). 2. Berbasis Pinjaman, seperti utang, berupa obligasi, atau sukuk. 3. Berbasis Reward, atau hadiah 4. Berbasis Donasi, atau sumbangan. Gabungan antara jenis pertama dan kedua akhir-akhir ini dikenal sebagai Securities Crowd Funding (SCF), sementara jenis pertama saja kemudian disebut sebagai Equity Crowd Funding. Contoh SCF banyak kita jumpai seperti Bizhare, Santara, LandX. Jenis ketiga, yaitu berbasis hadiah, biasanya dilakukan dalam rangka rintisan bisnis untuk membuat prototype yang kemudian imbalannya berupa hak untuk menerima prototype produk tersebut. Contoh jenis ini sepertinya belum ada di sini. Yang sangat terkenal di luar negeri adalah kickstarter.com. Jenis keempat, sebagaimana namanya, pada umumnya bertujuan untuk penggalangan dana donasi. Contoh yang gencar berpromosi di sini adalah kitabisa.com. Plus Minus Ulasan mengenai plus minus dalam artikel ini hanya akan membahas jenis pertama dan jenis kedua, alias SCF. Belok sebentar, kita akan membahas perbedaan kepemilikan aset dalam saham syariah dan sukuk. Sebenarnya sukuk itu semacam obligasi, tapi karena obligasi itu bersifat utang dan berbunga, maka bentuk syariahnya menjadi sukuk dan bersifat kepemilikan aset. Kepemilikan aset dalam sukuk bersifat temporer, sesuai jangka waktu perjanjiannya. Sedangkan saham syariah tidak berjangka waktu, sesuai AD/ART PT tersebut. Kelebihan atau sisi plus dari SCF antara lain sesuai namanya, setiap orang bisa ikut urun dana mulai dari nilai terkecil yang ditetapkan oleh yang mencari dana melalui SCF. Risiko Ikut Urun Dana Secara umum risiko ikut urun dana adalah kalau perusahan yang mencari dana tersebut kemudian kinerjanya kurang baik. Tentu semua menyadari bahwa ini adalah risiko bisnis. Permasalahannya, kita harus menunggu periode 6 bulanan untuk menjual saham yang kita beli melalui ECF/SCF itu, sementara kalau di saham reguler kita bisa segera menjual saham yang buruk kinerjanya, asal belum terjebak di level saham gocap. Tentu saja menjual saham yang kinerjanya tidak baik di ECF/SCF bisa saja bernasib sama dengan saham gocap, alias tidak ada pembeli. (Ada rumor bahwa penerbit saham di ECF/SCF ada yang menjanjikan buy back, mungkin dalam % tertentu dari nilai awalnya, tapi saya belum menemukan konfirmasi tertulis mengenai hal ini). Upaya penulis menelusuri issue buy back terkait urun dana ini (sampai saat artikel ini ditulis) hanya menemukan adanya jaminan atau kewajiban buy back kepada penerbit saham yang menggunakan pola urun dana, apabila semula penerbit saham menerapkan pola syariah kemudian berubah menjadi konvensional (bukan syariah). Likuidasi Bila mengikuti aturan regulasi Perseroan Terbatas, tentu solusi ketika penerbit mengalami kesulitan arus kas adalah menerbitkan saham baru dan pemilik saham lama akan mengalami dilusi atau penurunan persentase kepemilikan modal. Itu kalau ada yang mau membeli saham tambahan yang diterbitkan. Jika tidak ada pembelinya, maka solusi terakhir adalah likuidasi. Nah terkait likuidasi, hak pemegang saham adalah yang terakhir dibayarkan setelah para pemberi utang atau pemilik piutang terhadap perusahaan yang menerbitkan saham melalui ECF/SCF ini. Dari sisi ini, tentu SCF berupa obligasi lebih diuntungkan dibandingkan saham. Status sukuk yang tidak persis sebagai utang, melainkan diakui sebagai kepemilikan aset temporer (sesuai jangka waktu sukuk) mungkin diprioritaskan alias diperlakukan seperti obligasi. Meski demikian, nilainya tergantung hasil likuidasi aset-aset yang ada. Franchising & Crowd Funding Bila Anda berniat membeli franchise dengan crowfunding, atau membuka cabang dengan crowdfunding, selain faktor-faktor di atas anda perlu mencermati biaya-biaya yang timbul. Biaya yang dibebankan oleh perusahaan urun dana biasanya berkisar antara 5%-10% dari nilai total dana yang terkumpul. Ini akan menjadi beban tambahan terhadap biaya awal waralaba. Bila Anda berniat “ikut” urun dana menanamkan modal urunan untuk membeli franchise, perlu kehati-hatian dan perhitungan yang cermat. Tips saya: pahami plus minusnya, sebagaimana yang sudah diuraikan di atas. Selanjutnya, pastikan (1) proyeksi keuangannya dapat dipercaya, (2) mereknya mampu mendatangkan penjualan sesuai target, dan (3) tim manajemen operasionalnya nanti mampu menjalankan operasional sehari-hari dengan baik sehingga target-target bisa tercapai. * Bila ada informasi tambahan yang dapat melengkapi pemahaman terkait urun dana ini, Anda bisa kirim email ke admin@klikfranchise.com Crowd Funding! Sebelum Anda menempatkan dana Anda melalui crowdfunding (urun dana), sebaiknya anda pahami dulu plus minusnya.
Read More (580 views)
Franchise Consultant, Package…
Ada 3 perbedaan mendasar dari 3 peran berikut ini. Saat ini mungkin mereka semua Anda kenal sebagai "Franchise Consultant" Franchise Consultant Konsultan franchise menjelaskan bagaimana seharusnya franchise (dan kemitraan) dijalankan, menjelaskan rambu-rambu mengenai kriteria atau parameter kesiapan bisnis Anda dalam menawarkan franchise atau kemitraan. Konsultan franchise juga membantu mengarahkan Anda untuk menjadikan bisnis Anda memenuhi parameter atau mencapai kriteria tersebut. Tugasnya mengidentifikasi hal-hal yang perlu diantisipasi, meminimalkan kekeliruan dan konflik dengan franchisee/mitra. Franchise Broker Broker franchise membantu Anda menjual franchise dan/atau kemitraan. Idealnya franchise broker menjual franchise/kemitraan yang memenuhi persyaratan atau parameter kesiapan tersebut di atas. Tapi bisa saja franchise broker menawarkan franchise/kemitraan yang belum memenuhi kriteria sebagai franchise/kemitraan yang siap atau layak. Misinya hanya berjualan, alias mencarikan investor. Franchise Packager Franchise packager berperan untuk membantu membuat bisnis Anda "bisa" dan "menarik" untuk ditawarkan sebagai waralaba atau kemitraan. Berbeda dengan peran franchise consultant, "bisa" di sini bukan berarti benar-benar memenuhi kriteria kesiapan/kelayakan untuk menawarkan waralaba atau kemitraan. Seringkali target penjualan yang ditampilkan dalam simulasi merupakan hasil simulasi, bukan kinerja historis. Misi dari franchise packager adalah menghasilkan suatu paket penawaran yang "menarik" ... semua klien dianggap memenuhi syarat untuk menawarkan waralaba/kemitraan. Franchising bukan sekedar menawarkan bisnis yang kemasannya menarik. Penawaran franchise memang perlu (1) kemasan yang menarik, tapi harus disertai dengan (2) akumulasi pengalaman yang berharga dalam menjalankan bisnis, termasuk keluar dari keadaan yang sulit, dan (3) tim yang kompeten dalam memberikan support operasional kepada franchisee. Akumulasi pengalaman dan kompetensi tim tersebut diharapkan menjadi faktor pendukung untuk mewujudkan peluang sukses bisnis tersebut di lokasi yang diajukan oleh franchisee.
Read More (479 views)
Salah Informasi Menjadi “Bom …
Salah mengelola arus kas dapat mengakibatkan lumpuhnya suatu bisnis, bahkan beberapa bisnis bubar karena kesalahan ini. Oleh karena itu dibutuhkan Laporan Keuangan yang akurat dan informatif untuk keperluan pengambilan keputusan maupun mendeteksi hal-hal yang tidak diinginkan. Laporan Arus Kas Pada umumnya para pelaku bisnis level UKM memantau bisnisnya dengan pencatatan pemasukan dan pengeluaran. Itupun kalau mereka cukup disiplin melakukan pencatatan dan memisahkan keuangan pribadi dari keuangan bisnis mereka. Pencatatan yang berorientasi pada pemasukan dan pengeluaran yang dikenal sebagai laporan arus kas ini tentu saja memiliki beberapa kelemahan, yaitu hanya memberikan gambaran tentang arus kas saja. Sering saya jumpai bahwa pencatatan arus kas ini tidak memberikan gambaran mengenai laba kotor secara akurat, karena definisi HPP (Harga Pokok Penjualan) bagi UKM yang hanya mengandalkan Laporan Arus Kas ini adalah “transaksi pembelian”. Akibatnya persentase “HPP” menjadi seperti yo-yo, naik turun dari bulan ke bulan. Ketika ada bulan yang banyak transaksi pembelian bahan baku, “HPP” nya melonjak sangat tinggi, tapi dalam bulan-bulan sedikit transaksi pembelian, “HPP” nya menjadi sangat rendah. “Tapi kan bisa diambil nilai setahun? Coba kita hitung dengan rentang waktu satu tahun". Argumen ini yang sering muncul bila saya mengingatkan fenomena naik-turunnya HPP dari bulan ke bulan. Bila stok awal tahun bisa persis sama dengan nilai stok akhir tahun, langkah menyetahunkan transaksi pembelian memang bisa “menetralisir” naik-turunnya “HPP” bulanan. Tapi siapa yang bisa menjamin kesesuaian nilai stok awal tahun dengan stok akhir tahun, kecuali kita melakukan pencatatan stok awal tahun dan akhir tahun dengan disiplin dan akurat? Laporan Laba/Rugi Untuk memantau biaya HPP yang lebih akurat, biasanya kita menggunakan Laporan Laba Rugi. Nilai HPP dalam Laporan ini biasanya dipasangkan dengan item-item barang yang terjual. Untuk itu dibutuhkan pencatatan yang akurat terkait stok barang. Setiap selisih jumlah stok barang akan dicatatkan sebagai penjualan dengan catatan bahwa “penjualan” ini merupakan akibat selisih stok alias deviasi atau penyimpangan jumlah stok. Sisi positif dari ditemukannya deviasi ini adalah kita mengetahui penyimpangan-penyimpangan yang terjadi di lapangan, yang harus dilaporkan dan dijelaskan oleh pimpinan gerai, entah itu kerusakan barang atau kehilangan barang. Laporan Neraca Dua laporan di atas tidak lengkap bila belum ada Laporan Neraca, karena di sini kita dapat menemukan adanya pengeluaran belanja modal (capital expenditure, atau capex) yang bukan pengeluaran rutin dengan bukti tercatatnya aset tersebut di dalam neraca. Dalam Laporan Neraca pula kita dapat menemukan pencatatan piutang dan utang, dua hal yang sering membingungkan kita ketika arus kas atau kondisi rekening kita tidak ssuai dengan Laporan Laba/Rugi. Kehadiran tiga jenis laporan tersebut akan membantu kita dalam mengambil keputusan yang lebih bijaksana. Arus kas yang melimpah harus dicermati dengan memantau jumlah utang usaha, yaitu kewajiban pembayaran kepada pemasok. Bila tidak punya data yang akurat mengenai jumlah utang, maka bisa jadi arus kas yang melimpah ini kita gunakan untuk hal-hal yang tidak seharusnya kita beli. Arus kas yang menunjukkan surplus hingga Rp20 juta, tanpa dilengkapi data Laba/Rugi dan posisi utang kepada pemasok mungkin akan menggoda kita untuk membeli kendaraan pribadi dengan skema kredit. Bila kita tidak punya data yang akurat terkait HPP, maka bisa jadi kita menjalankan usaha dengan intuisi belaka, sehingga ketika mengambil keputusan untuk memberlakukan diskon promosi penjualan, maka margin keuntungan kotor (dan margin keuntungan bersih tentunya) menjadi kedodoran. Bila kita hanya mengandalkan pencatatan stok awal dan stok akhir, lalu dikaitkan dengan pembelian (barang masuk gudang), tanpa memperhatikan kaitannya dengan penjualan dalam periode yang sama, bisa jadi nilai HPP dalam persepsi Anda menjadi sangat tinggi ketika sebenarnya terjadi cukup banyak barang yang hilang atau rusak. Semua kesalahan akibat kurang akuratnya informasi tersebut bisa menjadi “bom waktu” yang menghancurkan bisnis Anda. Pastikan pengambilan keputusan bisnis Anda didukung oleh data-data yang akurat. Semoga bermanfaat!
Read More (404 views)
Bisnis dengan Pertumbuhan Eks…
Tren pertumbuhan bisnis sedang dan sudah bergeser dari linear menjadi eksponensial. Pertumbuhan linear, yang disebut pula pertumbuhan incremental, cukup puas dengan peningkatan 10-20% per tahun, meski sebagian mungkin mampu membukukan pertumbuhan lebih dari 20% per tahun. Sebaliknya pertumbuhan eksponensial berbicara tentang peningkatan 10x lipat. Mark Bonchek bahkan menggambarkan dalam Harvard Business Review bahwa pola pikir eksponensial adalah bagaimana menambah input 100% dan menghasilkan output 1000%. Bila bisnis dengan pertumbuhan incremental harus mengendalikan pertumbuhannya agar tidak melebihi kemampuan supply dari mesin produksinya. Sebaliknya, bisnis dengan dengan pertumbuhan eksponensial tidak perlu melakukan hal tersebut. Dalam hal ini platform digital memindahkan sumber daya dari “mesin industri” yang memiliki keterbatasan menjadi “jaringan” (network) seluas-luasnya. Hal itulah yang dipraktekkan oleh para pemain bisnis aplikasi seperti eBay, Amazon, serta nama-nama beken akhir-akhir ini seperti Airbnb, Uber, Go-jek, dan Grab. Sebelum gelombang platform digital, beberapa upaya untuk tumbuh melewati kapasitas supply mesin produksi adalah dengan cara pemberian (menjual) lisensi, waralaba, dan upaya-upaya produksi dengan cara maklon (produksi di pabrik pihak lain). Lisensi Tingginya biaya penelitian R&D mendorong praktek pemberian lisensi. Pabrik farmasi yang menemukan suatu formula dapat segera memberikan lisensi produksi dan pemasaran kepada pihak lain dengan imbalan royalti. Biasanya lisensi ini diberikan untuk wilayah pemasaran yang tidak mengganggu potensi pasar dari pabrik pemberi lisensi tersebut. Pemberian lisensi yang lainnya, yang lebih banyak dikenal, adalah lisensi design karakter kartun yang dipasang di berbagai produk. Gambar karakter Mickey Mouse dari Disney misalnya, banyak dijumpai terpasang pada botol minum anak-anak. Perusahaan yang hendak memasang gambar karakter Mickey Mouse pada botol minuman yang diproduksinya harus membayar royalti kepada Disney. Dengan strategi lisensi seperti ini, Disney berpotensi mengecap pertumbuhan yang hampir tanpa batas, karena tidak ada unsur mesin produksi di pihak Disney. Waralaba Beberapa ikon waralaba kelas dunia seperti McD dan KFC memiliki tingkat pertumbuhan gerai yang luar biasa tinggi. Setiap tahunnya mereka dapat menambah jumlah gerai hingga puluhan ribu. Alfamart dan Indomaret saja bisa menambah gerai hingga seribu lebih dalam setahun. Hal ini dimungkinkan karena beberapa hal, yaitu mereka menerapkan strategi kemitraan dengan para pemasok sehingga terlepas dari kendala mesin produksi, dan mereka menawarkan peluang waralaba kepada para investor sehingga terlepas dari kendala permodalan. Platform Digital Pertumbuhan eksponensial memang lebih sering dikaitkan dengan fenomena bisnis digital seperti Airbnb, Uber, Go-jek, dan Grab. Dalam konteks platform digital ini, bisnis yang tumbuh secara eksponensial digambarkan harus mencari sesuatu yang “berbeda”, bukan sekedar menjadi “lebih baik”. Memang tidak mudah menemukan sesuatu yang “berbeda” ini. Siapa menyangka layanan serba gratis seperti Facebook, Google, dan Youtube akhirnya meraup belanja iklan yang sangat besar untuk membiayai bisnis mereka dan menghasilkan laba usaha yang signifikan? Salah satu platform digital lokal Indonesia, Tokopedia, memiliki konsep unik. Mereka tidak memungut komisi dari pembeli dan penjual. Kebijakan ini tentu meninggalkan pertanyaan di benak kita, bagaimana perusahaan ini membiayai operasional hariannya? Masih misterius memang, seperti apa strategi jangka panjang untuk sumber pendapatan Tokopedia ini. Hingga saat ini Tokped, demikian nickname mereka, masih mengandalkan modal yang disuntikkan oleh para pemodalnya yang dikenal sebagai modal ventura. Ada beberapa sumber pemasukan yang resmi dipublikasikan, seperti gold merchant dan TopAds. Adapula yang berspekulasi bahwa sebenarnya ada bagi hasil dari jasa kurir pengiriman. Yang pasti, saat ini tampaknya Tokopedia belum membukukan laba usaha yang signifikan. Menurut Mark Bonchek, pendiri dan CEO (Chief Epiphany Officer) dari Shift Thinking, para pebisnis seringkali harus mampu merasa nyaman dengan “ketidakpastian” di tahap awal bisnisnya, dengan catatan ia harus mampu menjaga visi jangka panjangnya, walau kadang tidak ada gambaran yang jelas mengenai rencana pertumbuhannya akan menjadi seperti apa di kemudian hari. Incremental vs Exponential Thinking Menyimak kurva yang disajikan Mark Bonchek, terlihat bahwa dibutuhkan kesabaran dan visi jangka panjang, yang kadang bisa saja merupakan “perjudian besar”. Bahkan di tengah perjalanannya bisa saja pesaing masuk dengan konsep lebih baik, sebelum pertumbuhan eksponensialnya tercapai. Friendster tanpa disangka-sangka tersisihkan oleh Facebook. Ketergusuran bisa pula terjadi di awal atau di tengah pertumbuhan eksponensial suatu bisnis. Yahoo secara perlahan namun pasti tergusur oleh Google. Sebagaimana saran prinsip positioning untuk membangun kategori produk baru, Airbnb tampaknya melenggang hampir tanpa pesaing yang signifikan karena lambatnya pemain lain masuk kategori ini, kecuali di Tiongkok. Pertengahan 2016 dikabarkan Airbnb memiliki listing sebanyak 2 juta di seluruh dunia, namun hanya 30 ribuan yang berlokasi di Tiongkok. Kompetitor utamanya, Tujia, listingnya mencapai 420 ribu lokasi. Satu lagi kompetitor di Tiongkok, Mayi, mengklaim memiliki listing sebanyak 300 ribu lokasi. Negara tirai bambu ini memang menjadi momok bagi para kampiun bisnis asal Amerika. Dari bisnis waralaba, tersiar kabar bahwa KFC (Yum) dan McD akhirnya memutuskan untuk keluar dari kepemilikan bisnis di negeri tirai bambu tersebut, menjual sahamnya kepada mitra lokalnya. Di bisnis digital, konon eBay tergagap-gagap menghadapi Alibaba di sana. Uber pun memilih untuk merger dengan pesaingnya di sana, Didi Chuxing. Mengamati kurva dari Mark Bonchek, mungkin dapat disimpulkan bahwa bisnis digital seperti Go-jek, Grab, Bukalapak, Lazada, Tokopedia, dan beberapa Apps lokal Indonesia belum memasuki tahap pertumbuhan eksponensial. Mereka semua masih sedang “membangun” menuju pertumbuhan. Gugur Sebelum Berkembang Untuk bersaing di bisnis dengan pertumbuhan eksponensial sebagaimana yang diungkap dalam kurva tersebut, kita memahami bahwa persaingannya membutuhkan nafas panjang, khususnya dari sisi keuangan. Kehadiran Go-jek sempat melahirkan Blu-jek dan Lady-jek serta mungkin masih ada jek-jek yang lain. Situs belanja online juga tidak luput dari peristiwa gugurnya pemain sebelum tumbuh berkembang secara eksponensial. Rakuten Belanja Online yang diluncurkan 2011 akhirnya tutup di awal 2016 lalu. Sementara itu, menurut kompas.com, situs belanja online multiply.co.id yang bermula dari jejaring sosial mengibarkan bendera putih di tahun 2013, hanya berselang 2 tahun dari tahun peluncurannya sebagai situs jual beli online yang mengusung konsep “social shopping”. Tampaknya bisnis dengan pertumbuhan eksponensial akan membutuhkan kehadiran banyak pemodal ventura, yang konon masih langka di Indonesia. Pemodal ventura yang mendanai Apps lokal masih didominasi oleh pemodal ventura dari luar negeri, seperti SoftBank, Sequoia Capital, Vertex Ventures, Farallon, Northstar, dan beberapa nama yang mungkin terdengar asing di telinga kita. (Jakarta, April 2017)
Read More (461 views)
8 Sebab Utama Kegagalan Bisni…
Dirangkum dari franchisedirect.com, ada 8 sebab utama kegagalan bisnis franchise. Ada 4 faktor franchisor (1-4) dan 4 faktor franchisee (5-8). *Saya menambahkan keterangan, versi saya sendiri. Training & support tidak memadai, entah karena kejar setoran agar bisa buka sebanyak-banyaknya, atau memang tim nya kurang kompeten, atau franchisor sedang melewati learning curve dan masa sulitnya. Bisnis dan franchise model yang relatif baru, belum teruji oleh waktu. Biasanya ini karena hype sesaat. Contoh ekstrimnya ais kepal milo. Pasarnya tidak cukup besar untuk mengimbangi biaya-biayanya. Ini kekeliruan yang klasik, dan menjadi faktor utama kegagalan mayoritas start-up yang dilanda gelombang PHK maupun gulung tikar saat ini. Menghasilkan produk adalah satu hal, menjual dan menghasilkan uang yang cukup dari produk itu adalah hal lain yang tidak kalah penting. Franchisor bubar, karena memang tidak memiliki komitmen jangka panjang pada bisnisnya, atau sebagai akibat dari kesulitan keuangan. Di Amerika sendiri ada beberapa franchisor yang menyatakan bangkrut karena terlalu banyak utang, tapi seringkali terselamatkan karena biasanya ada perusahaan lain yang mengambil-alih. Selain itu bisa juga franchisor sekedar mengurangi jumlah tim sehingga sistem support memburuk. Modal kerja pas-pasan, karena informasi franchisor yang banyak hidden cost, atau memang franchisee-nya yang memaksakan diri. Tidak realistis dalam menyusun proyeksi bisnis, karena menelan mentah-mentah semua target dan asumsi yang dipublikasikan franchisor (padahal ini untuk wilayah lain), atau membuat asumsi dan target yang terlalu optimistis dan tidak sesuai keadaan wilayah lokasinya. Tidak tunduk pada sistem franchisor. Ini biasanya bisa diminimalisir jika seleksi franchisee dan tim operasionalnya cukup ketat. Orang-orang yang super kreatif, dan sulit tunduk pada sistem yang baku, memang tidak cocok menjadi franchisee. Tidak fokus. Tidak sedikit franchisee yang menjadikan investasi franchise-nya sebagai bisnis kedua, sehingga kurang mendapat perhatian dan mudah dikelabui pegawainya (kehilangan barang maupun uang tunai). Di sisi lain adapula franchisee yang mengalihkan laba operasional (atau lbh parah lagi: omset) di bisnis franchise nya untuk bisnis lainnya yang sedang kesulitan arus kas. Akibatnya, bisnis franchise yang sebenarnya bagus jadi bermasalah juga. Semoga bermanfaat!
Read More (402 views)
Mau Beli Franchise? Tanyakan …
Langsung saja, berikut ini 8 pertanyaan cerdas yang wajib anda tanyakan kepada franchisor sebelum membeli franchise. Sudah punya berapa outlet? Butuh modal berapa rupiah? Dengan modal segitu, omset rata-rata sebulan berapa rupiah? Dengan omset segitu, “profit bersih” nya bisa berapa rupiah? Yang bisa mencapai omset dan profit segitu lokasinya di mana? Ada berapa lokasi yang omsetnya bisa segitu? Butuh waktu berapa bulan untuk outlet-outlet itu mencapai omset segitu? Apakah ada franchisee yang boleh saya ajak bicara? (minta contact-nya) Kalkulator Franchise Untuk bisa menggunakan kalkulator franchise, sebenarnya diperlukan informasi tambahan sebagai berikut: Berapa nilai rupiah HPP atau COGS atau harga modal untuk omset segitu? Berapa nilai rupiah biaya operasional-nya bila tidak termasuk depresiasi? Berapa nilai rupiah rata-rata setiap transaksinya? Bila angka-angka itu valid, seharusnya Omset – HPP – Biaya Operasional = Profit Bersih. Masukkan angka-angka itu ke dalam kolom form kalkulator franchise di klikfranchise.com, maka Anda dapat memeriksa kewajaran klaim omsetnya, demikian juga dengan balik modalnya. STPW (Surat Tanda Pendaftaran Waralaba) Bisnis yang ditawarkan sebagai franchise di wilayah Indonesia, wajib punya STPW (Surat Tanda Pendaftaran Waralaba), dan wajib memberikan waktu sekitar 2 minggu kepada calon franchisee-nya untuk mempelajari prospektus penawaran waralaba. Bila tidak memiliki STPW, biasanya mereka istilah legal yang digunakan untuk perjanjian kerja sama adalah kemitraan. Suka Keseharian Bisnisnya Satu hal lagi yang penting, bila franchise-nya bukan investor pasif, maka Anda harus suka keseharian bisnisnya. Hobi saja tidak cukup, tapi Anda harus menyukai keseharian bisnisnya, jangan sampai bosan, apalagi stress. Keseharian bisnis ini contohnya adalah menyangkut mengelola pegawai dan menangani keluhan pelanggan.
Read More (504 views)
8 Cara Kreatif Naikkan Omset
Ada 8 cara menaikkan omset, beberapa mungkin belum Anda ketahui. Meski diharapkan akan meningkatkan profit, sesungguhnya fokus dari 8 cara ini adalah meningkatkan omset, bukan profit. Kita akan bahas terpisah mengenai cara meningkatkan profit. Tambah Belanjaan Tambah belanjaan sering disebut sebagai upselling. Ketika kita hendak membeli paket hemat di KFC, kita ditawari tambahan sup atau perkedel, atau es krim, bahkan CD musik bukan? Ketika kita selesai dengan makanan utama, pelayan restoran menawarkan hidangan pencuci mulut seperti pudding atau es krim. Di apotek pun bisa terjadi upaya upselling. Ketika Anda membeli obat flu misalnya, pegawai apotek mungkin menawarkan Vitamin C kepada Anda. Pelayan yang pasif, atau pedoman operasional yang tidak mengupayakan upselling, mencerminkan kurangnya perhatian dalam upaya meningkatkan omset. Tambah Produk Bila produk yang dimiliki sangat terbatas, maka perlu dipikirkan untuk menambah produk baru. Gerai-gerai kopi tampaknya memahami kebutuhan menambah produk ini. Starbucks, Janji Jiwa, Fore dan beberapa merek lainnya menambahkan produk makanan untuk meningkatkan omset gerai mereka. Tambah Outlet Selain menambah produk, menambah jumlah outet atau buka cabang adalah salah satu cara yang paling sering dijumpai dalam upaya meningkatkan omset. Dalam hal ini waralaba dan kemitraan merupakan cara untuk menambah outlet ketika menghadapi kendala keterbatasan modal. Penambahan outlet berpotensi meningkatkan omset lebih besar daripada penambahan produk, karena potensi omset 1 gerai memang cukup tinggi (bila tidak ada kekeliruan dalam memilih lokasi dan mempersiapkan SDM nya). Tambah outlet zaman now tentu saja bisa diterapkan dengan penambahan channel penjualan di dunia maya: affiliate, reseller, dropshipper, atau membuka toko sendiri di marketplace dan direct selling di website korporat. Tambah Volume Konsumsi Apakah Anda ingat iklan Yakult yang mendorong konsumsi 2x sehari? Atau Kratingdaeng yang mengkampanyekan bahwa produknya mana dikonsumsi hingga 3x sehari? Iklan dari dua produk tersebut merupakan contoh upaya meningkatkan volume konsumsi agar penjualannya bisa meningkat. Orang-orang yang semula hanya mengkonsumsi 1x sehari bisa tergerak ingin meningkatkan konsumsinya. Manfaat Tambahan Contoh mengenai manfaat tambahan ini adalah produk abon. Ketika muncul trend bahwa produk abon digunakan untuk topping produk bakery, maka omset produsen abon meningkat, bahkan konon harga jual abon pun meningkat seiring bertambahnya permintaan akibat manfaat barunya sebagai topping produk bakery. Pilihan Packaging Yang satu ini mungkin agak kontroversial. Konon penggunaan packaging tube plastik dapat mendorong penjualan lebih tinggi karena konsumen tidak dapat menggunakan isi produk di dalam tube plastik itu sampai habis, bila dibandingkan dengan kemasan tube aluminium. Memang ada sekelompok konsumen yang penasaran dan memotong tube plastik untuk bisa memanfaatkan sisa produk di dalam tube tersebut sampai tuntas habis. Tapi tampaknya kelompok ini tidak terlalu banyak jumlahnya. Diskon Penjualan Yang terakhir ini bisa berhasil, tapi bisa juga gagal dalam upaya menaikkan omset. Ketika menerapkan program diskon penjualan, dibutuhkan jumlah transaksi dan/atau upaya upselling supaya target penjualan dari program diskon penjualan ini memberikan hasil yang maksimal, tidak mencederai kinerja penjualan sebelumnya, juga tidak mencederai margin keuntungan yang biasa diperoleh tanpa program promosi yang menawarkan diskon penjualan. Diskon penjualan dapat bermakna program bundling (paket hemat, PDP atau pembelian dengan pembelian), diskon untuk pembelian dalam jumlah besar (bulk purchasing), dan sebagainya. Tambah Frekuensi Kunjungan Belanja Meningkatkan frekuensi kunjungan pelanggan biasanya terkait dengan program promosi diskon penjualan. Misal Anda diberi voucher senilai 20% dari nilai belanja Anda, untuk kunjungan berikutnya, tapi berlaku sampai akhir bulan saja. Artinya Anda harus berkunjung lagi sebelum akhir bulan. Sekalipun semula Anda tidak berencana berkunjung lagi.
Read More (523 views)
Kupas Tuntas Beda Waralaba, L…
Mungkin Anda bertanya-tanya, mengapa penawaran kemitraan dan BO seringkali menggunakan istilah waralaba? Mengapa beberapa merek menyebutkan bahwa kerja samanya adalah pemberian lisensi, dan perjanjiannya disebut sebagai Perjanjian Lisensi? Ciri-ciri Waralaba Ciri-ciri bisnis waralaba atau franchise adalah: (1) terjadi penggunaan bersama dari merek milik Pemberi Waralaba oleh Penerima Waralaba, (2) ada standar operasional dan pengendalian (Quality Control) yang signifikan oleh Pemberi Waralaba, (3) ada Kegiatan Pemasaran yang terpusat atau dikoordinir oleh Pemberi Waralaba, dan (4) ada Biaya intangible (tidak berwujud barang) yang dibayar bulanan dan/atau di muka kepada Pemberi Waralaba atau pihak lain sebelum Bisnis mulai beroperasi. Regulasi Waralaba Regulasi waralaba di Indonesia mewajibkan bahwa pemilik Bisnis yang hendak menawarkan kerja sama waralaba untuk mendaftarkan prospektus penawaran waralabanya ke Kementerian Perdagangan agar mendapatkan ijin berupa Surat Tanda Pendaftaran Waralaba (STPW) sebagai Pemberi Waralaba. Persyaratannya antara lain harus sudah membukukan laba usaha dalam 2 tahun terakhir, memiliki keunikan, memiliki dokumentasi standar operasional yang sudah tertulis, memiliki sistem support seperti pelatihan, dan khusus untuk usaha skala menengah laporan keuangan 2 tahun terakhirnya wajib teraudit oleh auditor independen. Regulasi yang ketat ini mengakibatkan beberapa pebisnis yang hendak menawarkan waralaba akhirnya menggunakan istilah lain, seperti Lisensi, BO, dan Kemitraan. Waralaba vs Lisensi Yang terjadi dalam Lisensi adalah penggunaan merek (dan/atau unsur Hak Kekayaan Intelektual yang lainnya: hak cipta, design, dsb.) dan pembayaran royalti kepada Pemberi Lisensi. Contoh sederhana adalah Pemberian Lisensi gambar Mickey Mouse (MM). Penerima Lisensi diberi hak menggunakan atau memasang gambar MM di botol minuman, namun untuk kegiatan dan strategi pemasaran botol minuman itu sepenuhnya dilakukan oleh Penerima Lisensi. Meski demikian, biasanya Pemberi Lisesi memiliki hak untuk memeriksa materi promosi dan kualitas produk yang hendak dijual oleh Penerima Lisensi. Selain Lisensi Hak Cipta atas karya design seperti karakter MM tersebut, pembelian lisensi biasanya kita jumpai dalam bisnis farmasi. Penulisan “under license” di kotak kemasan obat adalah contoh kerja sama dalam bentuk pemberian lisensi. Dalam konteks waralaba, pemilik merek yang sudah terbit sertifikatnya tapi belum memenuhi syarat pendaftaran STPW biasa dijumpai menggunakan istilah Perjanjian Lisensi Merek. Berbeda dengan pemberian lisensi, Pemberi Waralaba McD misalnya, akan menyusun kegiatan dan strategi pemasaran untuk seluruh jaringan waralabanya. Penerima Waralaba dapat mengajukan proposal kegiatan pemasaran lokal, yaitu khusus outlet yang bersangkutan, atau untuk area tertentu. Selain itu format bisnis, tim manajemen dan organisasi dari Penerima Waralaba harus mengikuti standar yang sudah disusun oleh Pemberi Waralaba. Satu hal yang wajib diperhatikan adalah, sebelum HKI resmi terdaftar dalam bentuk terbitnya sertifikat (Merek, Paten, Hak Cipta, dsb), kita tidak berhak menyebut kerja sama kita sebagai Pemberian Lisensi. BO (Business Opportunity) dan Kemitraan BO dipahami sebagai penawaran kerja sama yang belum teruji keberhasilannya, meski sebenarnya penawaran Kerja sama BO seyogyanya sama dengan waralaba, yaitu sudah teruji mampu menghasilkan laba usaha. Jadi, BO seharusnya sudah seperti waralaba tapi tidak mendaftarkan diri sebagai waralaba. Kemitraan biasa digunakan pula untuk kerja sama BO, karena istilah “mitra” yang menjadi sebutan bagi investor yang membeli BO. Salah satu kekurangan dari BO dan kemitraan biasanya berupa tidak adanya Quality Control (QC), karena biaya yang dibebankan kepada mitra BO tidak memenuhi skala ekonomis untuk keperluan QC ini. Tentu hal ini memiliki konsekuensi berupa risiko tidak standarnya kualitas produk dan layanan di jaringan bisnis yang menggunakan pola BO tapi menyertakan merek tertentu. Terkait masalah tidak adanya QC, saya sering menganjurkan penjualan BO berupa paket usaha ini dilakukan tanpa menyertakan merek. Bila ingin menampilkan merek, cukup dengan menyertakan merek sebagai identitas bahan baku saja seperti Blue Band di berbagai outlet yang menjual “terang bulan”. Istilah “kemitraan” itu sendiri memiliki makna yang sangat luas, mencakup bentuk kerja sama join venture (JV), inti-plasma, keagenan, waralaba, dan sewa imbal hasil, sebagainya. Persepsi Masyarakat Meski memiliki perbedaan yang cukup hakiki seperti uraian di atas, persepsi masyarakat mengenai waralaba, lisensi BO dan kemitraan relatif tidak ada perbedaan. Dalam praktek, hal ini sebenarnya tergantung pada konsistensi pemilik merek. Mungkin saja penawarannya adalah lisensi dan BO atau kemitraan, tapi esensi kerja samanya benar-benar memenuhi ciri-ciri waralaba sebagaimana yang diuraikan di atas. Di sisi lain, bisa juga mengaku waralaba tapi tidak menjalankan benar ciri-ciri waralaba tersebut. Kesimpulannya, pembeli alias calon investor, calon mitra, atau calon franchisee harus menggali sendiri mengenai hal-hal yang akan diimplementasikan dalam kerja sama tersebut.
Read More (564 views)
Wajib Tahu: 6 Pilihan Strateg…
Penawaran Waralaba pada umumnya menggunakan skema Single Unit Franchise, yang berarti hanya untuk SATU lokasi saja. Sebenarnya ada 6 pilihan strategi penawaran waralaba (franchise) sebagaimana akan dijelaskan dalam blog ini. Single Unit Franchise Melalui penawaran Single Unit Franchise (SUF), franchisor hanya memberi hak kepada franchisee untuk memiliki satu outlet saja. Bila hendak membuka outlet kedua, maka franchisee akan menandatangani perjanjian waralaba SUF yang baru lagi. Multi-Unit Franchise Melalui penawaran Multi Unit Franchise (MUF), franchisor memberi hak kepada franchisee untuk memiliki sejumlah outlet dalam jumlah yang sudah ditentukan, dengan batas waktu tertentu untuk memenuhi jumlah outlet itu. Dengan skema ini, selain menggunakan persyaratan biaya awal yang disetor penuh di muka, bisa saja biaya awal waralaba dikemas (dipecah) dalam dua istilah, yaitu (1) biaya awal waralaba saat penandatanganan multi-unit franchise agreement, dan (2) biaya awal untuk setiap pembukaan outlet. Bila MUF dibatasi dalam wilayah tertentu (kota, propinsi, atau negara), maka kita bisa menyebutnya sebagai Area Developer dengan menggunakan perjanjian yang disebut Area Development Agreement. Area Development Sebagaimana dijelaskan tadi, Area Development adalah MUF dalam suatu wilayah tertentu, bisa satu kota, atau satu provinsi, atau satu negara. Untuk mengejar target jumlah unitnya dalam rentang waktu tertentu (biasa disebut Target Development), Area Developer tidak memiliki hak untuk subfranchising, namun bisa mengembangkan kerja sama dengan pihak lain dalam bentuk “sewa imbal hasil”. Ini yang dilakukan oleh KFC dan McD. Sewa imbal hasil ini bisa juga dalam bentuk sewa tanah dengan BOT (Build Operate Transfer) bangunannya. Tentu saat transfer nanti harus dihapuskan atau disamarkan ciri-ciri brand franchisor. Master Franchising Master Franchising itu semacam Area Developer tapi dengan hak subfranchising, artinya dapat menunjuk pihak lain sebagai pemilik unit bisnis. Master Franchisee biasanya memiliki peran yang sangat mirip dengan franchisor. Perbedaannya mungkin sebatas kepemilikan HKI dan “inti resep rahasia” (bumbu inti yang dirahasiakan pada waralaba bisnis kuliner) kalau ada. Master Franchisee wajib memiliki kemampuan dalam menyeleksi calon franchisee (subfranchisee), menyeleksi lokasi, menyelenggarakan pelatihan, audit, dan memastikan kelancaran system support di wilayahnya. Keputusan menggunakan strategi Master Franchising harus dilakukan dengan super hati-hati, karena margin keuntungan yang semula hanya berbagi antara franchisor dan franchisee kini harus dibagi kepada 3 pihak: Franchisor, Master Franchisee, dan Subfranchisee. Regional Franchising, Area Franchising Terkait dengan Master Franchising, muncul pula istilah Regional Franchising dan Area Franchising. Dua istilah ini biasanya dimaksudkan untuk area yang lebih kecil dari satu negara, dan pada umumnya diterapkan di negara-negara yang sangat luas seperti Amerika Serikat dan China. Bila istilah ini diterapkan dalam level Master Franchise, artinya tidak ada Master Franchise di antara Area Franchisee dan Franchisor, maka perlakuannya sama saja dengan Master Franchisee. Bila akan ada lagi Master Franchise di tengah-tengah mereka, maka tingkat laba bisnis menjadi sangat critical, karena akan dibagikan kepada 4 pihak, yaitu: franchisor, Master Franchisee, Regional/Area Franchisee, dan subfranchisee. Beberapa brand franchise tumbang karena menerapkan skema berbagi dengan 4 pihak ini. Multi-Country Master Franchising Salah satu bentuk Master Franchising yang kadang kita temui adalah pemberian hak Master Franchise untuk beberapa negara. Yang cukup umum adalah wilayah waralaba Singapura, Malaysia dan Indonesia sebagai satu kesatuan. Ada juga yang mendapatkan hak untuk negara Indonesia, Thailand, dan Malaysia. Dalam memutuskan multi-country master franchising, tentu saja franchisor akan menilai kompetensi serta jaringan dan relasi bisnis dari kandidat multi-country master franchisee-nya. Catatan: Multi-Country Master Franchise ini kadang disebut Regional Master Franchise, artinya ketika kita mendengar istilah Regional Master Franchise maka kita perlu melakukan konfirmasi ulang, regional ini multi-country atau area franchise (negara bagian, atau provinsi di bawah suatu negara yang sangat luas).
Read More (752 views)
Hati-hati: MLM mengaku Warala…
Akhir-akhir ini muncul kembali fenomena Multi Level Marketing (MLM) yang menggunakan istilah “Franchise Individu” dalam melakukan rekrutmen anggota. Meski waralaba dan MLM sama-sama merupakan suatu penawaran peluang bisnis, keduanya tidak persis sama. Franchisee tidak wajib melakukan kegiatan rekrutmen member yang menjadi karakteristik MLM. Dari segi dana investasi, untuk bisa menjadi Franchisee dibutuhkan dana yang relatif tinggi karena terkait dengan membangun suatu bisnis yang lengkap dengan sistem administrasi dan fungsi-fungsi bisnis lainnya seperti pemasaran lokal, penjualan, serta keberadaan suatu gerai dengan ketentuan adanya stok barang. Untuk menjadi anggota MLM dana yang dibutuhkan relatif rendah, karena tidak perlu membangun gerai, tidak perlu membangun sistem administrasi. Semuanya disediakan oleh perusahaan penyelenggara MLM tersebut. Meski ada yang membangun gerai, misal pada level stockist, umumnya anggota MLM menjalankan secara perorangan tanpa gerai (outlet). Yang dibutuhkan hanya dana untuk membayar biaya harga paket produk awal, joining fee dan atau annual fee. Produk tidak harus distok. Pembelian produk ke penyelenggara MLM bisa dilakukan setelah ada pesanan. Karena berbasis gerai, dalam waralaba dikenal istilah proteksi wilayah waralaba yang berarti di dalam suatu wilayah geografis tertentu Franchisor menjamin tidak ada gerai dengan merek dan model bisnis yang sama. Proteksi dalam MLM adalah dalam bentuk struktur jaringan pemasaran berjenjang (biasa disebut upline dan downline) yang disimpan dalam database perusahaan penyenggara MLM untuk keperluan perhitungan bagi hasil. Pelatihan dalam MLM berfokus pada pengetahuan produk dan rencana bisnis berdasarkan pengembangan jaringan atau struktur berjenjang. Pelatihan dalam waralaba format bisnis lebih terarah pada cara mengelola dan pelaksanaan operasional sehari-hari gerai waralaba. Pelatihan dalam waralaba merek dagang bisa berupa pengetahuan produk dan atau penyelenggaraan operasional sehari-hari gerai waralaba serta strategi pemasaran, termasuk kepuasan pelanggan. Dari segi penyalahgunaan, dalam MLM bisa terjadi penyalahgunaan dalam bentuk struktur piramid dan money game. Money game di sini dapat juga dikamuflase atau ditutupi dengan paket produk yang dijual dengan harga sangat tinggi (tidak normal) sehingga sesungguhnya yang dilakukan adalah member-get-member belaka, bukan konsumsi dan/atau penjualan produk. “Kenakalan” dalam waralaba biasanya dalam bentuk proyeksi keuangan dan asumsi-asumsi yang tidak realistis, biaya-biaya waralaba (biaya awal waralaba dan royalti) yang terlalu tinggi sehingga Franchisee mustahil meraih keuntungan yang wajar dalam menjalankan bisnisnya, serta tidak seriusnya penyelenggaraan dukungan konsultasi operasional sehari-hari dari pihak Franchisor kepada pihak Franchisee. Salah satu ketidakseriusan yang sangat merugikan Franchisee adalah tidak mengelola mereknya dengan benar, termasuk di antaranya tidak mengawasi standar kualitas produk dan layanan pada jaringan gerai waralabanya.
Read More (530 views)
eCommerce & Waralaba
Akhir-akhir ini makin banyak yang menanyakan kepada saya mengenai kebijakan eCommerce dalam sistem waralaba. Meski tidak ada aturan main yang baku, prinsip dasar waralaba yang win-win seyogyanya dijadikan landasan dalam merumuskan kebijakan terkait hal ini. Menurut Michael Leconte, ada 4 model utama yang dapat dipertimbangkan oleh franchisee terkait kebijakan ini. The “Pure-play franchisor” Model Dalam hal ini hanya franchisor yang berhak melakukan eCommerce atau bisnis online. Franchisor membangun divisi tersendiri dan setiap transaksi online diambil oleh franchisor, artinya tidak didelegasikan ke gerai franchisee. Tentu saja kebijakan ini dapat dianggap merugikan franchisee karena menyaingi atau mencuri kue penjualan mereka. The “Pure-play franchisee” Model Berlawanan dengan model “pure-play franchisor”, dalam model ini franchisor membebaskan para franchisee untuk menjalankan bisnis online mereka sendiri di wilayah mereka masing-masing. Model ini tentu lebih beresiko dalam hal standarisasi pengalaman konsumen. Praktek desentralisasi seperti ini juga memiliki resiko penjualan lintas wilayah pemasaran. Konflik antar franchisee sangat mungkin terjadi, meski sangat dimungkinkan untuk menetapkan batasan wilayah penjualan online dalam perjanjian waralaba. The “Shared e-commerce” Model. Menurut model ini, franchisor mengendalikan eCommerce channel (website maupun mobile), namun para franchisee menjadi bagian dari keseluruhan strategi penjualan online tersebut. Transaksi penjualan online menjadi omset franchisee, artinya pengiriman produknya dilaksanakan oleh franchisee. The “Distributed e-commerce” Model Dalam model ini franchisor “menyediakan website” untuk masing-masing franchisee. Setiap franchisee berhak dan berkewajiban untuk melakukan pemasaran secara lokal di masing-masing wilayahnya melalui website tersebut. Model ini menuntut tingkat partisipasi yang lebih tinggi dari para franchisee bila dibandingkan dengan “shared e-commerce”. Dengan lain perkataan, para franchisee harus diperlengkapi dengan pemahaman mengenai bisnis online dan cara melakukan pemasaran online. Franchisor sebaiknya melakukan monitoring (pengawasan), evaluasi dan pelatihan berkala terkait website para franchisee. Model ini bisa saja mengakibatkan perbedaan pengalaman konsumen dalam berselancar di website dan bertransaksi online. Meski demikian, dalam model franchisor masih memiliki ruang kendali bagi franchisor untuk meminimalkan jurang pengalaman tersebut, bila dibandingkan dengan model “pure-play franchisee” (yang memberi kesan seolah franchisor “lepas tangan” sama sekali). Perjanjian Waralaba Akhirnya, hak dan kewajiban terkait 4 model utama ini (dan mungkin saja ada varian atau turunannya) harus dicantumkan secara tertulis dengan lugas dan jelas dalam perjanjian waralaba. *Artikel ini pernah dimuat di Majalah Franchise pada tahun 2020
Read More (535 views)
Multi-Strategy Distribusi dan…
Waralaba sejatinya merupakan salah satu cara mengembangkan usaha. Menurut UU Perdagangan, waralaba merupakan salah satu cara distribusi produk (barang atau jasa) secara tidak langsung. Karena waralaba adalah “salah satu cara”, biasanya pelaku usaha juga melakukan cara lain yang saya sebut sebagai “multi-strategy”. Tentu saja tulisan ini akan membahas multi-strategy terkait waralaba saja. Waralaba dan Distribusi Tidak Langsung Non-waralaba Distribusi tidak langsung non-waralaba adalah yang melibatkan distributor dan pengecer maupun pihak lain seperti sub-distributor dan agen. Pelaku usaha yang sudah memiliki distributor dan pengecer bisa saja menambahkan waralaba sebagai strategi distribusi produknya. Tentu saja keputusan untuk menggunakan strategi waralaba memiliki beberapa konsekuensi yang harus diantisipasi. Jaringan waralaba biasanya memiliki keseragaman formula penentuan harga di suatu lokasi. Sementara toko-toko pengecer dari jaringan distribusi non-waralaba biasanya memiliki kebiasaan tawar-menawar harga, sehingga mereka seringkali dapat menjual di bawah harga yang digunakan jaringan waralaba. Franchisor harus kreatif mendefinisikan “nilai tambah” yang biasanya “intangible”, misalnya dengan menambah jangka waktu masa garansi. Nilai tambah lain berupa voucher untuk pembelian produk lain bisa saja dilakukan, tapi praktek ini berpotensi dianggap mengganggu oleh toko-toko pengecer karena bersifat nominal sehingga dipersepsi sebagai diskon yang head-to-head dengan harga jual mereka. Waralaba dan e-commerce Selain konteks distribusi tidak langsung, franchisor sangat mungkin menekuni distribusi yang menggunakan strategi e-commerce. Terkait strategi ini, idealnya order yang diperoleh melalui internet diberikan kepada franchisee yang lokasinya paling dekat dengan alamat pembeli. Dalam praktek, kebijakan ideal ini memang tidak mudah dilaksanakan. Salah satu penyebabnya adalah ketersediaan stok di gerai terdekat. Oleh karena itu kadang franchisor membangun divisi khusus untuk menangani order melalui internet yang biasa dikenal sebagai e-commerce. Divisi ini memiliki stok yang terpisah dan dikhususkan untuk melayani e-commerce. Waralaba dan Lisensi Khusus di Indonesia, penggabungan strategi Waralaba dan Lisensi bisa terjadi ketika franchisor melakukan kerjasama joint venture (JV). Hal ini karena Pasal 7 Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) nomor 53 tahun 2012 menyebutkan bahwa “Franchisor tidak dapat menunjuk franchisee yang memiliki hubungan pengendalian dengan franchisor, baik secara langsung maupun tidak langsung.” Isi pasal peraturan di atas mengakibatkan hubungan antara franchisor dengan “kemitraan JV antara pemilik merek dengan pihak lain” tidak diakui sebagai hubungan waralaba, meskipun hubungan yang dikehendaki dan disepakati para pihak adalah hubungan waralaba. Akibatnya, hubungan seperti ini terpaksa menggunakan landasan hubungan Pemberian Lisensi. Patut dipahami bahwa dalam kejadian tersebut, meski memiliki suatu kerjasama yang menggunakan Perjanjian Lisensi, mungkin saja pada saat yang sama pemilik merek memiliki kerjasama yang menggunakan Perjanjian Waralaba dengan pihak-pihak lainnya. Tentu saja ia harus mendaftarkan prospektus penawaran waralaba dan memperoleh bukti pendaftaran STPW, bila menggunakan Perjanjian Waralaba dengan pihak lain. Waralaba dan MLM Waralaba yang menerapkan konsep gabungan dengan multi-level-marketing dalam arti mencari downline, atau mencari investor lagi, bukan hal yang wajar dalam praktek waralaba. Bahkan di laman FBI diungkapkan sebagai berikut: “Pyramid schemes—also referred to as “franchise fraud” or “chain referral schemes”—are marketing and investment frauds in which an individual is offered a distributorship or franchise to market a particular product. The real profit is earned, not by the sale of the product, but by the sale of new distributorships. Emphasis on selling franchises rather than the product eventually leads to a point where the supply of potential investors is exhausted and the pyramid collapses.” Skema piramida yang dikenal pula sebagai franchise fraud (kecurangan dalam waralaba) atau skema referal berantai adalah kecurangan dalam pemasaran dan investasi dalam hal seseorang ditawari hak menjadi distributor atau waralaba untuk memasarkan suatu produk tertentu. (Kecurangan ini terjadi) ketika laba-yang-sebenarnya diperoleh bukan dari jual produk, tapi dari (komisi) ketika berhasil menjual distributorship. Penekanan pada menjual waralaba dan bukan menjual produk akan mengakibatkan suatu ketika sulit menemukan investor baru dan akhirnya (bangunan) piramida rekrutmen ini ambruk. Dalam waralaba kita melihat bahwa ada franchisor yang terus-menerus bergantung pada rekrutmen franchisee baru (menjual waralaba terus) dan tidak memperhatikan kelayakan bisnis para franchiseenya. Ketika franchisor seperti ini mengalami kesulitan menjual waralabanya, maka franchisor biasanya menghilang dan para franchiseenya tentu menjadi pihak yang dirugikan.
Read More (573 views)
Gerai Flagship Boleh Rugi?
Gerai Flagship adalah gerai yang lokasinya sangat strategis, banyak dilihat orang. Lokasi seperti apa yang biasanya menjadi gerai flagship? Di lokasi non-tradisional: bandara, stasiun kereta api, lokasi wisata Ruko di jalan raya utama, atau jalan protokol Di dalam mall, di titik lokasi yang strategis Selain high traffic, gerai flagship seyogyanya juga memiliki kriteria high visibility alias mudah terlihat oleh orang-orang yang lalu-lalang di sekitarnya. Gerai flagship harus mempertimbangkan pula profil target pasarnya. Traffic tinggi sebaiknya mayoritas merupakan target pasarnya. Gerai flagship, karena faktor lokasi dan ukuran yang sengaja dibikin lebih luas dari biasanya, kadang terlalu mahal harga sewanya, sehingga sulit mencapai skala ekonomis yang dibutuhkan, bahkan tak jarang franchisor merugi. Namun karena lokasinya yang strategis, franchisor menganggap keterlambatan pengembalian modal (bahkan kerugian) ini sebagai biaya promosi. Bila sudah mempertimbangkan profil traffic dan profil target pasar alias profil pelanggan, meski labanya tidak terlalu tinggi, seyogyanya gerai flagship ini tidak sampai terlihat sangat sepi. Omset Lumayan Tinggi, Laba Rendah? Salah satu ujian mental terkait gerai flagship ini adalah omset sudah lumayan tinggi tapi labanya tergolong rendah. Misal untuk omset yang sama di gerai biasa labanya bisa 20%, di gerai flagship hanya 10%. Hal ini dikarenakan selisih biaya sewa (sekali lagi, ini faktor lokasi dan ukuran luas gerai) dan service charge atau iuran lingkungan, mungkin juga faktor biaya utilities-nya. Faktor lain mungkin biaya pajak reklame, karena signage Anda relatif lebih besar dari biasanya di gerai flagship ini. “Capeknya sama, hasilnya dikit,” mungkin pernyataan seperti ini yang jadi keluhan di dalam hati Anda. Bila hal ini Anda alami, ingat bahwa ada unsur “promosi gratis” yang Anda nikmati dalam hal gerai flagship Anda. Bahkan bila Anda mengalami kerugian (tipis) di situ, anggap saja sebagai biaya promosi. Lokasi, Ukuran, Penampilan Selain unsur lokasi dan ukuran luas, kadang gerai flagship juga memiliki penampilan yang lebih wah. Maklum, tujuannya adalah pencitraan alias membangun image yang positif. Bila Anda belum punya gerai flagship, dan bila arus kas bisnis Anda memungkinkan, silakan dipertimbangkan untuk membangun gerai flagship ini. tambahan, gerai flagship sebaiknya merupakan gerai milik franchisor, bukan franchisee.
Read More (506 views)
Lebih Untung dengan Retrofran…
Retrofranchising adalah satu istilah yang digunakan oleh Michael Seid untuk proses penjualan gerai milik franchisor (franchisor owned outlet) yang belum pernah menjadi milik franchisee. Bila suatu gerai sudah pernah menjadi milik franchisee, kemudian dibeli oleh franchisor, lalu dijual kembali kepada franchisee yang lain, maka prosesnya disebut refranchising. Keduanya biasa kita kenal dengan sebutan “take over”, artinya Anda mengambil alih dari franchisor, atau dari franchisee dengan restu dari franchisor. Pengambilalihan kepemilikan bisnis franchisee biasanya memang harus mendapat restu dari franchisor. Hampir semua perjanjian waralaba memberi hak kepada franchisor untuk mengambilalih lebih dulu bila franchisee hendak menawarkan kepada pihak lain. Salah satu alasannya antara lain untuk mengevaluasi dan memperbaiki kinerjanya sebelum dijual kembali kepada pihak lain. Dalam hal kinerjanya sudah baik, biasanya franchisor akan merestui calon investor baru apabila kandidat tersebut memiliki kriteria yang sesuai dengan profil franchisee yang dikehendaki franchisor, seperti: taat atau tunduk pada sistem, tidak merongrong kebijakan franchisor, kompeten untuk menjalankan bisnis tersebut (bila franchisor mengharuskan franchisee owner operator), memiliki kecukupan dana, dan beberapa kriteria lainnya. Kinerja Bagus Kok Dijual? Kalau kinerjanya sudah baik, mengapa dijual oleh franchisee? Mungkin pertanyaan ini langsung muncul di benak Anda. Kebutuhan keuangan yang mendesak adalah alasan yang paling sering terjadi. Beberapa di antaranya: kebutuhan membayar biaya operasi orangtua atau anggota keluarga lainnya di Rumah Sakit, kebutuhan biaya pendidikan anak yang hendak masuk perguruan tinggi atau kuliah di luar negeri, kebutuhan untuk melunasi hutang yang jatuh tempo di bisnis lain milik franchisee, dan sebagainya. Fenomena retrofranchising biasa dijumpai di jaringan waralaba yang sudah memiliki gerai sangat banyak dan franchisor dengan agresif melakukan pembukaan gerai milik sendiri seperti Indomaret dan Alfamart. Meski demikian, hal ini bisa saja terjadi pada waralaba yang jaringannya belum cukup besar, terutama apabila franchisor menggunakan strategi buka dulu sendiri, lalu dijual untuk kemudian membuka kembali di lokasi lain (open-sell-open). Keuntungan Retrofranchising dan Refranchising Keuntungan retrofranchising dan refranchising antara lain franchisee bisa langsung mulai berbisnis, tak perlu menunggu proses persiapan pembukaan gerai yang bisa memakan waktu berbulan-bulan. Bila Anda melalui prosedur biasa untuk menjadi franchisee, Anda harus melalui proses survei lokasi, renovasi, rekrutmen SDM, pelatihan, dan lain lain. Dengan retrofranchising maupun refranchising total nilai penjualan dan margin keuntungan lebih mudah diperkirakan (more predictable) dibandingkan dengan membangun gerai baru. Arus kas juga sudah terlihat. Hal ini membuat proses kredit di bank lebih cepat dan mudah didapat. Keuntungan lainnya adalah anda memperoleh SDM yang sudah berpengalaman. Nilai penjualan dan margin keuntungan yang baik biasanya mencerminkan kompetensi SDM yang mengoperasikan gerai tersebut. Yang Perlu Diperhatikan Pastikan anda memperoleh SDM yang trampil dan kompeten. Jangan segan untuk bertanya siapa saja SDM yang akan ditransfer kepada Anda, tim yang sekarang menjalankan operasional sehari-hari, atau tim SDM yang baru, atau kombinasi dari kedua pilihan itu. Bila Anda melakukan take over langsung dari franchisee, pastikan Anda memiliki keyakinan bahwa Anda mampu memperbaiki kinerjanya. Gerai yang dilepas oleh franchisee tak jarang dikarenakan kinerjanya buruk alias di bawah target. Bila faktor lokasi merupakan penyebab kurang berhasilnya para franchisee yang pernah mencoba menjalankan bisnis waralaba tersebut, maka nasib Anda mungkin tidak jauh berbeda dari mereka. Pengertian faktor lokasi di sini bisa beragam. Mulai dari kurang strategisnya lokasi tersebut untuk mendatangkan pelanggan, hingga terlalu mahalnya biaya sewa dan operasional. Bukankah sewa dan biaya operasional di mal lebih tinggi daripada di ruko, dan sewa di beberapa mal tertentu lebih tinggi daripada mal yang lain? Dalam beberapa kasus, bisnis waralaba di mal hanya menguntungkan jika dijalankan oleh franchisor. Karena tidak ada biaya-biaya waralaba seperti biaya awal waralaba dan royalti, kinerja keuangan beberapa bisnis waralaba di mal terlihat baik di tangan franchisor namun tidak cukup baik ketika dikelola oleh franchisee. Selain lokasi, kualitas SDM merupakan faktor yang sering menjadi penyebab kurang berhasilnya suatu gerai waralaba. Bila Anda yakin mampu memperbaiki, namun kualitas SDM tidak mumpuni, maka keyakinan Anda tidak akan terwujud sesuai rencana. Anda tertarik menjadi franchisee melalui skema retrofranchising? Refranchising? Hubungi franchisor dan tanyakan apakah ada gerai yang sudah beroperasi yang ditawarkan. Jangan lupa untuk melakukan validasi segala informasi yang Anda peroleh, dan menghitung dengan cermat kelayakan harga yang ditawarkan. Semoga informasi di atas bermanfaat bagi Anda …
Read More (484 views)
Gerai Acuan, Apa Saja yang Pe…
Gerai acuan atau model outlet adalah showcase franchisor mengenai seperti apa bentuk gerai, sekaligus standar operasional yang akan dijalankan. Dalam hal ini gerai acuan bukan sekedar gambar yang indah dipandang, melainkan harus sudah ada dan terbukti mendukung asumsi dan target-target keuangan yang disajikan dalam proposal penawaran waralaba dari franchisor. Gerai acuan tidak selalu sama dengan gerai pertama. Pilot Outlet = Gerai Pertama Bebek Pak Ndut adalah contoh yang sangat baik untuk menjelaskan keistimewaan gerai pertama ini. Pak Agus Ahmadi mengungkapkan bahwa ia ingin mengimplementasikan layanan profesional, seperti greetings dan SOP (pedoman operasional) lainnya. Tapi kalau diterapkan di gerai pertamanya, maka pelanggan lama yang sudah loyal bisa mengernyitkan alis dan merasa canggung disapa dengan formal. Demikian kegundahan pendiri restoran yang sudah berekspansi hingga ke negara Singapura itu. Waktu itu saya menyarankan untuk membuka gerai baru di kota Solo untuk dijadikan Model Outlet, atau Gerai Acuan. Dengan demikian, nuansa non-formal (bukan berarti tidak profesional) dapat ditemukan di gerai pertamanya. Model Outlet = Gerai Acuan Kata waralaba membangun suatu persepsi keseragaman gerai, dan gerai acuan adalah model outlet untuk keseragaman tersebut. Meski demikian, keseragaman ini bukan sesuatu yang kaku. Kasus per kasus, bila dianggap perlu, bisa saja dipertimbangkan untuk mengecualikan satu dua outlet. Gerai Acuan & Fleksibilitas McDonald’s misalnya, adalah bisnis waralaba yang sangat kental dengan citra sebagai identitas yang “seragam”. Tak banyak yang tahu bahwa ada gerai McDonald's di Amerika Serikat bernuansa bunga, dan gerai ini mendapat penghargaan dari Walikota setempat. Menyiapkan Gerai Acuan Gerai acuan tidak harus dibangun dari nol. Pewaralaba bisa merombak salah satu gerai yang sudah ia miliki untuk dijadikan sebagai gerai acuan. Bagaimana dengan gerai lainnya? Biasanya renovasi terhadap gerai-gerai yang sudah ada dilakukan secara bertahap. Hal ini dikarenakan (calon) pewaralaba harus menjaga arus kas keuangannya. Laundry Zone misalnya, ketika diwaralabakan, sekitar sembilan gerai mula-mula Laundry Zone di Yogyakarta terlihat belum seragam, meski nuansa hijaunya sudah “ditularkan” sebagai warna identitas di semua gerai bisnis laundry kiloan ini. Gerai acuan Laundry Zone adalah gerai yang dibuka menjelang pewaralabaannya. Standarisasi di gerai-gerai yang sudah ada direncanakan menyusul bertahap, mengingat pewaralaba Laundry Zone bukan pebisnis bermodal besar (meski jumlah gerainya sudah lebih dari 10 unit, Laundry Zone adalah bisnis keroyokan beberapa pengusaha kelas UKM). Gerai Acuan & Standar Operasional Sebagian besar pebisnis yang telah memiliki gerai lebih dari satu, biasanya memiliki administrasi pembukuan yang terpusat. Hal ini dapat menyebabkan dalam proses penyusunan Buku Pedoman Operasional kadang terlihat ada jurang (gap) antara sistem yang sedang berjalan dengan yang akan berlaku pada level gerai untuk terwaralaba. Sangat disarankan kepada para pebisnis yang hendak mewaralabakan bisnisnya untuk mengubah salah satu gerainya menjadi gerai yang menggunakan Standar Operasional gerai terwaralaba, terutama apabila sistem administrasi dan pembukuannya yang akan diberlakukan dalam jaringan waralabanya berbeda dengan sistem yang sedang berjalan di gerai-gerai miliknya yang sudah beroperasi, misal dikerjakan sendiri di level outlet alias bukan terpusat. Hal ini sangat penting agar pewaralaba memiliki pengalaman operasional yang sesuai dengan Buku Pedoman Operasional yang ia berlakukan kepada para terwaralaba nantinya. Gerai Acuan & System Improvement Gerai acuan dapat dijadikan laboratorium untuk pengembangan lebih lanjut dari sistem bisnis dan sistem waralaba. Sebelum memutuskan implementasi untuk suatu ide, sebaiknya gagasan tersebut diujicobakan di gerai acuan. Bila ada kekuatiran atas dampak dari ujicoba ini terhadap gerai acuan, bisa juga ujicoba dilakukan di gerai yang memang secara khusus dijadikan sebagai “gerai percobaan”. Tujuan gerai percobaan ini adalah untuk mendapatkan feedback atau tanggapan sebelum hal baru diluncurkan ke seluruh jaringan outletnya. Beberapa aspek lain terkait gerai acuan misalnya mengenai kemampuan mencapai tingkat profitabilitas yang baik dari gerai acuan tersebut. Pengalaman operasional di luar kota asal pewaralaba juga penting, sehingga sangat disarankan pula membangun cabang di luar kota untuk kemudian dijadikan sebagai salah satu gerai acuan.
Read More (511 views)
Perlu Tahu, Ragam Cloud Kitch…
Cloud Kitchen adalah konsep bisnis kuliner yang tidak menyediakan tempat untuk dine in. Hal ini berarti pelanggan hanya bisa membeli melalui online delivery, atau take away. Cloud Kitchen biasanya melibatkan 2 pihak, penyelenggara yang menyewakan cloud kitchen (selanjutnya kita sebut “penyelenggara cloud kitchen”) dan tenant atau mitra atau pemilik resep masakan (selanjutnya kita sebut “mitra”) yang menggunakan fasilitas atau menyewa cloud kitchen tersebut. Ide cloud kitchen ini berawal dari upaya menekan biaya operasional, semacam urunan sewa di satu lokasi, dengan pengelolaan administrasi dan pemasaran pula dari pihak penyelenggara cloud kitchen. Konsep yang sedang ramai dibicarakan belakangan ini memiliki beberapa bentuk kerja sama. Salah satu bentuknya bahkan memungkinkan mitra cloud kitchen melakukan ekspansi usaha kulinernya “nyaris tanpa modal”. Murah Cloud kitchen yang “murah” alias nyaris tanpa modal adalah apabila mitra hanya mengirim bahan masakan, atau bahkan sudah dalam bentuk frozen yang tinggal dipanaskan kembali oleh crew yang menjadi karyawan dari cloud kitchen tersebut. Artinya seluruh biaya operasional ditanggung oleh cloud kitchen, mulai dari biaya SDM hingga biaya operasional hariannya. Yang perlu dicermati tentu saja kualitas crew dalam mengolah bahan masakan yang anda supply. Crew atau SDM dapur ini tentu akan merangkap untuk memasak masakan dari beberapa merek. Untuk versi ini, biasanya pihak mitra yang menerima persentase (%( bagi hasil. Laba operasional menjadi milik cloud kitchen. Artinya risiko kerugian juga di pundak penyelenggara cloud kitchen tersebut. Mahal Format kerja sama yang disebut “mahal” adalah apabila cloud kitchen tersebut menganut konsep pujasera alias food court. Pihak cloud kitchen hanya menyediakan tempat yang sudah siap instalasi dapurnya. Peralatan standar mungkin sudah disiapkan, tapi perlengkapan khusus tetap dari mitra alias pemilik merek yang bergabung dengan cloud kitchen tersebut. Dengan demikian area dan peralatannya dedicated untuk mitra atau tenant tertentu, bukan untuk digunakan bersama-sama (shared). Di sini mitra membayar semacam sewa imbal hasil, berupa % dari penjualannya kepada cloud kitchen. Tentu saja mekanismenya adalah penjualan masuk ke kas cloud kitchen, lalu setelah dipotong % tersebut akan dibayarkan selisihnya kepada mitra/tenant. Karena mitra harus menyediakan sendiri peracik dan/atau koki masakannya, maka apabila omset tidak mencapai target, maka risiko kerugian ada di pundak mitra. Berkaitan dengan cloud kitchen, patut dicermati pula program-program promosi yang berpotensi menggerus laba, entah program promosi oleh cloud kitchen atau oleh ojolfood. Group Sendiri Ada pula cloud kitchen yang pada dasarnya merupakan kumpulan beberapa merek group mereka sendiri. Group ini bisa berarti memang sejak semula sudah bernaung di bawah satu manajemen (misal BOGA group), atau group yang terbentuk dari beberapa pihak yang semula merupakan pihak-pihak yang berjalan sendiri tapi kemudian bergabung di bawah satu payung merek cloud kitchen tertentu (tanpa harus meleburkan manajemen bisnis mereka semula). Dengan demikian, cloud kitchen group sendiri berarti memiliki dedicated mitra/tenants yang sama di setiap titik lokasinya. Single Cloud Kitchen Selain cloud kitchen group sendiri, ada juga kemungkinan suatu merek restoran menyewa lokasi lain untuk ekspansi bisnisnya tapi hanya melayani delivery dan take away. Kemudian, untuk meringankan biaya operasional, ia bisa mengajak pihak-pihak lain untuk bergabung di lokasi tersebut dengan pola kerja sama yang disepakati bersama. Biasanya model seperti ini tidak mengibarkan bendera cloud kitchen, tapi di lokasi tersebut bisa dipesan produk-produk kuliner merek lain yang turut bergabung.
Read More (500 views)
Risiko Franchisee: Opportunit…
Konon ada franchisee kursus komputer yang mengalami pengakhiran (termination) perjanjian kerja sama waralaba karena melayani permintaan in-house training suatu perusahaan yang produknya tidak disediakan oleh franchisor. Kejadian ini sudah cukup lama, dan untuk penjelasan di sini saya ambil contoh yang lebih relevan. Misal franchisor menyediakan kursus yang terbatas pada modul-modul Microsoft Office (Word, Excel, Powerpoint, Visio, dsb). Suatu ketika ada permintaan untuk in-house training mengenai UI/UX dari suatu perusahaan start up. Meski franchisee punya kenalan dosen yang memahami topik UI/UX, apabila franchisor tidak memiliki modul tersebut, biasanya franchisee tidak diperkenankan melayani permintaan khusus seperti ini. Di sini franchisee berpotensi mengalami opportunity loss. Bila dilanggar, risikonya bisa berupa termination (pengakhiran) perjanjian kerja sama waralaba. Contoh lain di bidang retail, misalnya toko sepatu. Misal ada pelanggan yang mencari semir sepatu merek X. Bila franchisor menjual semir sepatu merek A, maka franchisee tidak diperkenankan mencari sendiri, membeli sendiri, lalu menjual semir sepatu merek X tersebut. Tidak banyak franchisee yang memahami risiko ini, kemudian mengalami ketegangan komunikasi dan konflik karena merasa dihalang-halangi oleh franchisor untuk merealisasikan peluang menciptakan penjualan. Mungkin tidak semua franchisor melarang munculnya produk-produk tambahan dari franchisee. Namun pada umumnya franchisor perlu memastikan keamanan citra dan positioning mereknya. Itu sebabnya penambahan item produk tetap perlu mendapat persetujuan dari franchisor. Karena franchisee menggunakan merek franchisor, maka franchisee harus ikut aturan main dari franchisor. Mengapa? Karena franchisor berkepentingan melindungi citra dan positioning mereknya melalui standarisasi produk dan layanannya. Konsekuensinya, muncul risiko opportunity loss ini. Bila Anda membeli franchise retail produk fashion, salah satu bentuk opportunity loss ini bisa berupa out of stock (kehabisan stock) produk yang laris dicari orang. Kehabisan stock seperti ini biasanya terjadi setelah stock anda terjual habis. Franchisor yang produsen/manufaktur, atau vendornya, tidak dapat melakukan produksi ulang bila tidak mencapai jumlah minimum order untuk satu batch production. Akibatnya, Anda tidak dapat melakukan repeat order, dan Anda mengalami opportunity loss. Semoga risiko ini dapat dipahami dan dimaklumi oleh para franchisee. Bila tidak rela dengan risiko ini, jangan beli franchise. Rintislah bisnis dengan merek Anda sendiri.
Read More (503 views)
Wajib Tahu: Tahapan Menjadi F…
Tahapan menjadi franchisor adalah perjalanan atau langkah-langkah suatu bisnis untuk menjadi franchise alias mulai ditawarkan sebagai waralaba. Bila Anda hendak mewaralabakan bisnis Anda, tahapan-tahapan ini harus Anda perhatikan dengan baik. Pilot Outlet Yang pertama tentu saja Anda harus membuka outlet, menjalankan bisnisnya dengan baik. Outlet pertama ini biasa disebut sebagai pilot outlet alias outlet yang pertama. Sebelum masuk ke tahapan berikutnya (evaluasi kesiapan waralaba), bisa saja Anda membuka cabang di lokasi lain. Evaluasi Kesiapan Waralaba Sebelum ditawarkan sebagai waralaba, Anda perlu melakukan evaluasi kesiapan dan kelayakannya. Ada 5 parameter utama, yaitu: profitability, replicability, controllability, sustainability, dan marketability. Cukupkah laba usaha franchisee untuk membayar biaya-biaya waralabanya, cukup mudahkah model bisnisnya di-copas (diajarkan dan dijalankan di lokasi lain), cukup mudahkah mengawasi kualitas operasional dan kualitas data laporan-laporannya, apakah bisnis Anda mampu bertahan lama (akan lebih baik lagi apabila Anda pernah mengalami masa sulit dan punya resep alias berhasil keluar dari masa sulit tersebut), dan yang terakhir, apakah bisnis Anda menarik bagi pemilik modal. Penting: Laba usaha yang cukup ini sangat erat kaitannya dengan kinerja penjualan. Outlet milik Anda sendiri harus mampu meraih dan mempertahankan kinerja penjualan yang dibutuhkan untuk mencetak laba usaha yang cukup itu. Jangan menjual mimpi berdasarkan perhitungan simulasi proyeksi keuangan, sementara Anda sendiri tidak atau belum pernah meraih target kinerja penjualan tersebut. Mengenai pentingnya kinerja ini, Anda dapat membaca tulisan mengenai superior business di Klikfranchise. Standarisasi Setelah cukup yakin dengan kesiapan bisnis Anda untuk diwaralabakan, langkah berikutnya adalah menyusun sistem atau standarisasi. Dokumen Pedoman Operasional (SOP) sangat berguna untuk menjaga kualitas dalam proses replikasi atau pembukaan cabang di lokasi lain. Catatan: Bila Anda memulai usaha dengan melibatkan konsultan start up business, mungkin SOP sudah tersedia di awal bisnis Anda. SOP ini perlu Anda tinjau atau review, apakah sesuai dengan operasional di lapangan. Penting: SOP harus menjadi 1 paket dengan aspek SDM (Sumber Daya Manusia) dan Operasional, artinya proses seleksi harus benar, agar proses training dapat menghasilkan SDM yang handal, yang kemudian harus ditindaklanjuti dengan supervisi harian yang ketat oleh leader di lokasi tersebut. Modul-Modul Waralaba Bila Anda ingin mengetahui modul apa saya yang harus dimiliki franchisor, maka daftar berikut ini bisa menjadi checklist anda. Financial Simulation Template. Franchise Sales & Selection Tools (Brief Info, Form Minat, brosur, video, dsb). Franchise Legal Documents (LOI, Perjanjian Waralaba, STPW, dsb). Franchise Operations Manuals (SOP di level outlet atau franchisee, dan level franchisor). Sistem pembukuan dan akuntansi, termasuk software pendukungnya. Related Articles5 Checklists Siap Waralaba-kah Bisnis Anda?Strategi Jual-Buka-Jual3 Skenario PentingMenghitung Franchise FeeProsedur Mendaftarkan Waralaba ke Kemendag
Read More (537 views)
Hoax Success Rate Franchise
Pernah mendengar franchisor menawarkan waralaba dengan klaim success rate sebagai berikut? “Tingkat sukses bisnis waralaba itu lebih dari 90%.” “Lebih dari 95% bisnis waralaba masih menjalankan bisnisnya setelah lewat dari 5 tahun” Nyaris tidak pernah ada yang mempertanyakan sumber informasinya, sebaliknya franchisor beramai-ramai mengutipnya dari waktu ke waktu. Klaim tersebut muncul sekitar tahun 1991 ketika Small Business Administration (SBA) di Amerika melakukan penelitian terhadap bisnis waralaba. Kesimpulan mengenai success rate tersebut sudah dikoreksi, karena tampaknya ada kekeliruan dalam metode sampling-nya. Sumber lain menyebutkan bahwa sample penelitian ini bias karena memang sebagian besar adalah merek franchise yang sukses. Sample penelitian ini juga gagal mengidentifikasi franchisee yang masih mempertahankan bisnisnya meskipun merugi. Ada lagi yang menyebutkan bahwa penelitian ini gagal mengidentifikasi fenomena franchise gagal yang dibeli kembali oleh franchisor untuk dipertahankan tetap beroperasi. Sumber lain menyebutkan hasil penelitian itu tidak melibatkan data keuangan yang ter-audit. IFA (International Franchise Association) di Amerika pernah mengutip statistik ini, tapi kemudian bahkan mengirimkan memo kepada anggota IFA agar tidak lagi mengutip hasil penelitian tersebut. Informasi ini setidaknya dapat anda temukan di: https://www.msaworldwide.com/blog/top-ten-reasons-to-invest-in-a-franchise/ https://www.aafd.org/franchisee-success-rates-here-we-go-again/ Jadi sebenarnya seperti apa success rate bisnis franchise ini? Tampaknya tidak ada publikasi resmi yang kredibel. Lagipula, success rate setiap merek franchise tentu berbeda, selain faktor kualitas produk dan layanan, kesuksesan suatu bisnis franchise tergantung pengalaman dan kompetensi tim manajemen franchisor dan franchisee. Di Indonesia lebih sulit lagi untuk mengukurnya, karena ada yang tidak memenuhi syarat sebagai franchise tapi menawarkan kerja sama waralaba (franchise) atau sejenis waralaba sehingga dipersepsi sebagai waralaba. Sebaliknya ada yang memenuhi persyaratan sebagai waralaba, tapi memilih untuk secara legal formal menyebutkan kerja sama bisnisnya bukan-waralaba alias kemitraan, lisensi, dsb. Related ArticlesFranchise dan KemitraanWaralaba dan Kemitraan, Kenali Bedanya!
Read More (612 views)
Franchising Agar Pegawai Heba…
Saya menyebut ini sebagai “Program Internal Franchising”. Beberapa perusahaan belum banyak yang sudah mulai mempertimbangkan langkah ini. Para pegawai internal yang akan pensiun dibekali pengetahuan tentang operasional gerai bisnis yang akan diwaralabakan kepada mereka. Karena untuk pegawai internal, maka biasanya diberi pula program pembiayaan (financing) dalam arti modalnya bisa dicicil oleh pegawai tersebut. Tentu saja program seperti di atas diberikan kepada pegawai yang baik dan berpotensi sukses sebagai franchisee. Selain bagi pegawai yang pensiun, program ini tak jarang diberikan kepada pegawai yang sudah tidak bisa mendapatkan promosi karir lebih lanjut di dalam perusahaan tersebut. Dengan menjadi franchisee alias entrepreneur, seyogyanya ini merupakan promosi terbaik yang bisa ia peroleh. Bagi perusahaan, program ini bermanfaat pula untuk mencegah pegawai tersebut masuk atau pindah ke perusahaan kompetitor ketika karirnya mentok. Bila alasannya hanya untuk keperluan internal franchising, maka waralabanya akan terbatas dan tidak ditawarkan kepada umum. Hanya sistemnya berdasarkan waralaba, tapi waralabanya tidak ditawarkan kepada khalayak ramai. Bagaimana, apakah Program Internal Franchising ini menarik untuk dipertimbangkan di perusahaan Anda?
Read More (544 views)
Franchisee Juga Wajib Daftar …
Selain minimnya “franchisor” (layak disebut franchisor) yang mendaftarkan penawaran kerja sama untuk memperoleh Surat Tanda Pendaftaran Waralaba (STPW), tampaknya franchisee (benar-benar franchisee dari franchisor yang sudah punya STPW) juga banyak yang belum mendaftarkan perjanjian waralaba-nya sebagai Penerima Waralaba. Sebenarnya siapa yang harus mendaftar, dan mengapa harus daftar STPW? Mengapa Harus Daftar STPW? Pendaftaran STPW sejatinya untuk melindungi kepentingan franchisee. Perlindungan ini terkait hal-hal seperti eksklusivitas gerai di dalam suatu wilayah waralaba, serta identitas Pemberi Waralaba. Kejelasan identitas franchisor menjadi lebih pasti ketika franchisor tersebut memiliki STPW. Patut dicatat bahwa kepemilikan STPW tidak menjamin kebenaran informasi selain identitas franchisor. STPW hanya persyaratan administratif untuk menjalankan usaha berbasis waralaba. Hal lain tentu saja pemerintah ingin memiliki data untuk memahami kontribusi waralaba terhadap perekonomian nasional (penyerapan tenaga kerja, perputaran bisnisnya, pemanfaatan bahan baku lokal dan impor) sehingga pemerintah dapat mengambil kebijakan yang terarah dalam hal “industri” waralaba. Sayang sekali, sampai saat ini tampaknya usaha ini masih jauh dari sempurna. Angka kontribusi bisnis waralaba masih rekaan belaka. Siapa harus daftar STPW? Pemberi Waralaba dan Pemberi Waralaba Lanjutan (subfranshisor) atau wajib mendaftarkan Prospektus Penawaran Waralaba untuk memperoleh STPW sebagai Pemberi Waralaba, atau Pemberi Waralaba Lanjutan. Yang dimaksud dengan Pemberi Waralaba Lanjutan adalah Penerima Waralaba yang diberi hak untuk mewaralabakan lagi (subfranchise) kepada pihak lain. Penerima Waralaba dan Penerima Waralaba Lanjutan wajib mendaftarkan Perjanjian Waralaba-nya untuk memperoleh STPW sebagai Penerima Waralaba, atau Penerima Waralaba Lanjutan. Yang dimaksud dengan Penerima Waralaba Lanjutan adalah subfranchisee dari Pemberi Waralaba Lanjutan. Jadi pada prinsipnya ada 4 jenis STPW, yaitu: STPW sebagai Pemberi Waralaba STPW sebagai Penerima Waralaba STPW sebagai Pemberi Waralaba Lanjutan STPW sebagai Penerima Waralaba Lanjutan Bila ditambah dengan pembeda dari sisi asal merek waralabanya, dalam negeri dan luar negeri, maka tentu saja 4 jenis STPW ini akan menjadi 8 jenis. Patut dicatat bahwa seseorang tidak mungkin menjadi Pemberi Waralaba Lanjutan tanpa menjadi Penerima Waralaba (Master Franchisee atau Area Franchisee) yang memiliki hak untuk melakukan subfranchising. Setelah memenuhi persyaratan, seperti minimal sudah beroperasi 2 tahun (karena ada kewajiban lampiran laporan keuangan 2 tahun terakhir), maka Master Franchisee (atau Area Franchisee) yang memiliki hak untuk subfranchising wajib mendaftarkan prospektus untuk mendapatkan STPW sebagai Pemberi Waralaba Lanjutan sebelum menawarkan subfranchise bisnis waralabanya. Setelah terdaftar alias memiliki STPW, franchisor maupun franchisee memiliki kewajiban menyampaikan Laporan Kegiatan Tahunan kepada lembaga terkait. Laporan ini cukup sederhana dan bertujuan memonitor aspek-aspek ketenagakerjaan dan bahan baku, khususnya terkait tenaga kerja asing dan bahan baku impor. Apakah bisnis waralaba anda sudah punya STPW? Kalau sudah punya, jangan lupa menyampaikan laporan kegiatan tahunannya. Related ArticlesSTPWProsedur Mendaftarkan Waralaba ke Kemendag
Read More (567 views)
Make the Brand Better, Not Ju…
Larry Light, konsultan dan mantan Chief Marketing Officer McDonald’s, menyingkap fakta bahwa ketika ia bergabung dengan McDonald’s di bulan September 2002, harga saham perusahaan ini anjlok dari nilai tertinggi USD 45.31 di bulan Maret 1999 menjadi USD 17.66. Harga saham ini terus merosot hingga sekitar USD 13 pada bulan Maret 2003. McDonald’s saat itu (terutama sekitar tahun 2001 hingga 2002) seperti burung unta yang menyembunyikan wajahnya ke lubang dalam tanah. Evaluasi berkala menunjukkan adanya penurunan kinerja dan kualitas brand experience yang tak kunjung berhasil diperbaiki. Bukannya terus berupaya memperbaiki kinerja dan terus mengukurnya, yang mereka lakukan justru meniadakan evaluasi tersebut. Konon alasannya adalah agar keseluruhan sistem tidak mengalami demoralisasi. Penurunan penjualan di masing-masing gerai disiasati dengan memperbanyak dan melakukan percepatan pembukaan gerai. Bahkan dalam satu periode disebutkan bahwa proyeksi pertumbuhan McDonald’s nyaris ekuivalen dengan pembukaan satu gerai setiap 4 jam! Larry Light dengan gamblang menyebutkan bahwa saat itu tidak ada upaya serius untuk memperbaiki buruknya pengelolaan merek yang sudah besar ini, dan strategi waralaba yang digunakan sangat mengabaikan strategi branding yang baik. Fokus mereka pada promosi, iklan, dan menciptakan traffic atau kerumunan pelanggan melalui harga murah namun mengorbankan faktor kualitas produk. Akibatnya, kinerja setiap gerai mengalami penurunan dari waktu ke waktu. Branding bukan sekedar kegiatan periklanan maupun pemasaran. Branding merupakan strategi bisnis secara keseluruhan. Gejala McDonald’s ini merupakan “perangkap” yang senantiasa mengintai setiap bisnis waralaba. Banyak merek waralaba yang dibangun menjadi besar melalui pertumbuhan jumlah gerai namun gagal menjaga kinerja masing-masing gerai, kualitas produk dan pelayanannya. Larry Light menyebut perangkap ini, “making the brand bigger, but not making the brand better”. *Artikel pendek ini terinspirasi oleh buku “Six Rules for Brand Revitalization” dari Larry Light. Related ArticlesMcDonald's: Bisnis Burger atau Properti?Bagaimana McD Menjadi Bisnis Properti
Read More (560 views)
Hindari 3 Kesalahan Proyeksi …
Proyeksi Keuangan - Proyeksi dan simulasi keuangan dengan skenario “pesimis, moderat, dan pesimis” sangat lumrah kita jumpai dalam suatu penawaran kerjasama waralaba dan kemitraan. Dalam hal ini, sangat lumrah pula kita menjumpai beberapa kesalahan berikut ini: Jumlah SDM Simulasi yang oversimplified biasanya tidak melakukan penyesuaian jumlah SDM, dan hal ini berarti tidak ada penyesuaian “biaya” SDM. Perlu diperhatikan bahwa kebutuhan jumlah SDM untuk skenario optimis biasanya lebih banyak daripada skenario pesimis. Memang ada beberapa bisnis yang tidak membutuhkan penyesuaian jumlah dan biaya SDM untuk skenario optimis dan pesimis, tapi jarang sekali. Jadi diperlukan pemahaman mengenai kapan saatnya, atau pada omset berapa harus menambah pegawai, atau sebaliknya mengurangi pegawai pada skenario pesimis. Misal omset pesimis suatu restoran adalah Rp150 juta sebulan, sedangkan omset optimis adalah Rp450 juta sebulan. Jumlah pegawai untuk omset Rp150 juta ini mungkin 5 orang, sedangkan untuk omset Rp450 juta mungkin dibutuhkan 7 orang agar para pelanggan bisa terlayani dengan baik. Jadi perlu diingat, harus ada penyesuaian jumlah dan biaya SDM sesuai omsetnya. Biaya dan Persentase Terhadap Omset Tidak semua biaya bisa secara proporsional dianggarkan sebagai persentase dari omset. Ada biaya-biaya tetap yang memiliki angka minimum, misal: sewa tempat, iuran lingkungan, biaya listrik, dan biaya SDM minimum sampai dengan omset tertentu. Misal kinerja historis menunjukkan pencapaian omset rata-rata suatu bisnis gerobakan adalah Rp30 juta sebulan dengan biaya sewa Rp1 juta sebulan di depan mini market. Ini berarti persentase nilai sewa ini adalah 3,33% dari omset. Bila kemudian asumsi omset pesimisnya adalah Rp15 juta, tentu biaya sewanya tetap Rp1 juta alias 6,67% dari omset. Sebaliknya, bila omset optimisnya adalah Rp45 juta, maka biaya sewanya menjadi 2,22% dari omset. Karena kemungkinan bervariasinya persentase ini, maka klaim “net profit sekian persen dari omset” adalah sesuatu yang kurang tepat. Mengapa? Karena persentase ini ternyata sangat tergantung pada nilai nominal sales yang dicapai. Optimisme Semu Saya menyebutnya sebagai optimisme semu, karena skenario omset yang optimis ini bisa jadi ternyata sangat mustahil dicapai. Apa artinya? Skenario omset yang optimis harus memperhitungkan kapasitas gerai outlet Anda. Bila bisnis Anda adalah bisnis kuliner, jumlah kursi akan menentukan batas maksimal omset Anda. Bila Anda memanfaatkan sales channel takeaway/delivery, Anda dapat menambahkannya ke dalam target sales, namun tetap harus dalam batasan angka yang wajar. Angka yang wajar ini terkait dengan kinerja historis. Biasanya saya menggunakan data kinerja historis untuk mendukung asumsi target suatu penawaran kerja sama waralaba/kemitraan. Namun demikian, data kinerja historis ini harus memperhitungkan pula faktor penting yang mungkin mempengaruhi kinerja penjualan, misal: usia outlet. Kinerja historis suatu outlet yang sudah belasan tahun beroperasi dan sudah dikenal luas biasanya tidak bisa digunakan sebagai asumsi target penjualan gerai baru. Jadi perlu dilakukan penyesuaian, misalnya 50% atau 70% dari kinerja outlet yang sudah belasan tahun beroperasi itu. Akan lebih baik lagi bila kinerja historis diambil dari kinerja outlet yang baru berusia 1-2 tahun, di lokasi yang umum - bukan lokasi khusus seperti tempat tujuan wisata.
Read More (971 views)
Strategi "Lower Hanging Fruit…
Lower hanging fruits berarti buah yang letaknya rendah, mudah dijangkau. Dalam konteks menjual waralaba, istilah ini ditujukan untuk mengingatkan para pewaralaba, terutama yang masih baru, dengabn konsep yang bisnisnya sensitif dengan kualitas layanan alias kinerja pegawainya, agar mengarahkan sasaran atau target pengembangan ke investor dan wilayah yang “lebih mudah”. “Lebih mudah” di sini memiliki beragam makna. Lebih Mudah Dalam Menjual Waralabanya Menjual waralaba relatif lebih mudah kepada para pelanggan, sanak keluarga, dan sahabat karib. Bila Anda yakin konsep bisnis dan model waralaba Anda saling menguntungkan, saya yakin para pelanggan Anda adalah calon investor yang paling potensial. Selain itu tentu saja sanak keluarga dan sahabat karib Anda. Lebih Mudah Memaafkan Bagaimanapun juga menjadi pewaralaba yang masih baru berarti Anda akan melewati learning curve alias kurva belajar. Ini berarti Anda harus menghindari kehadiran terwaralaba yang super kritis, super menuntut, dan super pemarah. Dalam menyeleksi calon terwaralaba, Anda harus cukup bijak untuk tidak terlalu agresif mengejar jumlah gerai dan jumlah terwaralaba yang banyak sebelum anda mulai menguasai seluk beluk bisnis Anda dan pengelolaan jaringan waralaba Anda. Para calon investor yang sangat demanding (menuntut) sebaiknya dihindari, terutama di tahun-tahun awal pewaralabaan bisnis Anda. Lebih Mudah Dalam Pengawasan Kualitas Meski hal ini tergantung jenis bisnis Anda, pengawasan dan standarisasi kualitas sangat penting karena Anda meminjamkan merek Anda kepada pihak lain. Gerai retail mungkin relatif tidak terlalu sensitif dibandingkan dengan restoran. Pada umumnya lokasi geografis berperan penting di sini. Lokasi yang jauh akan lebih menyulitkan Anda untuk melakukan pengawasan. Lebih Mudah Sukses Meski saya letakkan di bagian akhir, aspek ini sangat penting. Keberhasilan gerai pertama atau beberapa gerai di awal pewaralabaan Anda sangat menentukan kepercayaan calon investor lainnya. Bila Anda terburu-buru dan dengan mudah menyetujui lokasi yang tidak potensial, kemudian gagal alias tutup, maka kepercayaan calon investor yang lain akan relatif sulit Anda peroleh. Pilih lokasi yang memiliki kriteria sangat mirip dengan lokasi-lokasi Anda yang telah terbukti sukses. Bila biasanya yang sukses itu di sekitar sekolah, maka prioritaskan yang dekat sekolah dulu. Jangan buru-buru buka di tengah pemukiman. First impressions count … Kesan pertama sangat menentukan … Related ArticlesChecklist Pertimbangan LokasiJenis Lokasi UsahaSeleksi Lokasi Resto
Read More (3777 views)
5 Checklists: Siap Waralaba-k…
Bila Anda ingin mewaralabakan atau menawarkan kerja sama kemitraan dalam arti luas, Anda harus memenuhi kriteria sebagai berikut: Outlet Anda memiliki laba bersih yang cukup untuk franchisee dan franchisor. Bisnis Anda mudah diduplikasi. Bisnis Anda relatif mudah diawasi atau disupervisi. Bisnis Anda mampu bersaing dalam jangka panjang, alias sustainable. Bisnis Anda diminati banyak orang atau pemilik modal. Laba Bersih Dalam artikel Superior Business, dijelaskan bahwa bisnis yang diwaralabakan harus memiliki omset dan profit yang di atas rata-rata. Mengapa? Pertama, karena investasinya dibebani biaya waralaba di muka (upfront franchise fee). Kedua, laba usahanya dipotong oleh biaya bulanan (royalti, management fee, dan/atau biaya supervisi dan konsultasi). Jadi modal lebih besar, laba lebih kecil, bila dibandingkan dengan buka usaha sendiri. Merek dan sistem manajemen adalah nilai lebih alias manfaat yang harus dinikmati oleh franchisee. Dampak dari merek adalah omset yang lebih tinggi di atas rata-rata. Dampak dari sistem manajemen adalah pengendalian biaya yang berujung pada laba yang lebih baik, sehingga laba ini cukup untuk dibagi untuk franchisee dan franchisor. Duplikasi Bisnis yang mudah diduplikasi itu tidak bergantung pada skill khusus seseorang. Segala sesuatunya mudah dipelajari dan dipraktekkan. Istilah yang sering digunakan adalah “system-dependent, not person-dependent”. Yang dimaksud dengan sistem di sini adalah Pedoman Operasional (dokumen SOP) berikut sistem implementasinya (rekrutmen SDM, pelatihan dan supervisi pelaksanaannya). Mudah Diawasi Bisnis yang tidak mudah diawasi adalah bisnis yang tidak bisa “ditinggal” oleh pemilik bisnisnya. Jadi bisnis yang relatif mudah diawasi itu biasanya memiliki sistem yang dibakukan, termasuk sistem pengawasannya. Sustainable Bisnis yang sering dianggap sebagai contoh bisnis yang tidak sustainable untuk jangka panjang adalah “es kepal milo”. Ada juga yang sempat terlihat tidak sustainable tapi ternyata ada yang mampu bertahan lama, yaitu bubble tea yang saat ini terlihat pasarnya dikuasai oleh Chatime. Untuk mampu bersaing dalam jangka panjang ada banyak faktor tentunya, mulai dari kecukupan modal, pengembangan organisasi dan kompetensi timnya. Selain itu ada pengaruh faktor eksternal seperti persaingan dan krisis ekonomi yang turut menentukan keberhasilan dalam upaya menjadi sustainable tersebut. Selain konteks keberlangsungan bisnisnya, aspek sustainable ini menyangkut perlindungan merek dan unsur HKI lainnya. Tanpa adanya perlindungan HKI, suatu bisnis akan lebih sulit untuk exist dalam jangka panjang, apalagi bila merek itu ternyata dimiliki pihak lain. Diminati Banyak Pemilik Modal Aspek ini memang tergantung profil target marketnya. Kalau target marketnya niche (sempit, spesifik, terbatas), tentu jumlah outlet yang bisa dibuka tidak bisa banyak, sehingga jumlah pemilik modal yang perlu digaet juga relatif lebih sedikit dibandingkan dengan bisnis yang target marketnya sangat luas/besar.
Read More (526 views)
Ada 3 Skenario Penting Busine…
Dalam mengevaluasi kinerja bisnis untuk keperluan rencana ekspansi (outlet)-nya, saya menerapkan simulasi keuangan dengan tujuan menemukan 3 skenario penting yang juga penting dalam menyusun business plan: Omset berapa agar gross margin di outlet baru tersebut mampu menutup biaya operasionalnya? Omset berapa agar gross margin di outlet baru tersebut mampu menghasilkan laba yang sehat? Bila gross margin tidak mampu menutup biaya operasionalnya, berapa lama kita akan bertahan dan apa solusi alias exit strategy-nya. Gross Margin = Biaya Operasional Ini adalah makna BEP atau break even point yang sebenarnya, karena penggunaan BEP dalam konteks balik modal adalah istilah awam yang sebenarnya bukan istilah baku. “Gross margin sama dengan biaya operasional” bisa memiliki pengertian yang berbeda, karena ada yang melihat dari sudut Laporan Laba/Rugi dan ada yang melihat dari sudut arus kas. Laporan Laba/Rugi ini merupakan kondisi fundamental bisnis yang sebenarnya, tapi bisa berbeda dalam konteks arus kas. Dalam Laporan Laba/Rugi ada biaya-biaya yang tidak mempengaruhi arus kas, seperti (i) sewa dibayar di muka, (ii) pembelian bahan baku penjualan dan penjualan dengan metode pembayaran mundur (termin pembayaran tertentu, kredit/cicilan), (iii) biaya depresiasi/amortisasi. Berikut ini tabel sebagai ilustrasi untuk menjelaskan perbedaan mengenai sudut pandang Laporan Laba/Rugi dengan Arus Kas, saya highlight 2 hal saja: yaitu depresiasi dan sewa bayar di muka. Tabel Laporan Laba/Rugi dengan Arus Kas Dapat dilihat dalam ilustrasi tersebut bahwa target sales bisa berbeda cukup signifikan. Tentu saja target sales dari sudut pandang Laporan Laba/Rugi lebih riil dibandingkan dengan berdasarkan Arus Kas. Tapi untuk rasa aman tahun pertama mungkin target menurut Arus Kas masih bisa diterima, dengan alasan “tidak tekor” alias tidak bleeding secara arus kas. Di sini perlu dipahami pula bahwa bila ada pembelian aset tambahan yang didepresiasikan (bukan langsung jadi biaya) akan memengaruhi arus kas, maka yang dicatat dalam Laporan Laba/Rugi adalah nilai depresiasi tahun pertamanya. Selain itu, bila ruang usaha atau bangunan adalah milik sendiri, maka perlu dianggarkan biaya sewa menurut harga pasar agar perhitungan biaya operasional tersebut lebih riil ditinjau dari sisi fundamental bisnisnya. Tentu saja pengeluaran tersebut tidak benar-benar terjadi dari sisi arus kas. Jangan lupa juga membiayakan gaji kita, bila kita terlibat dalam keseharian bisnisnya. Bila administrasi dilakukan terpusat, harus ada pos biaya jasa administrasi kantor pusat, dan/atau biaya SDM tenaga administrasi di outlet nantinya, meski saat ini semua admnistrasi dikelola oleh pusat. Laba yang “Sehat” Laba yang “sehat” tentu berbeda antara satu orang dengan orang yang lain. Ekspektasi jangka waktu balik modal akan memengaruhi angka ini. Biasanya saya melakukan simulasi untuk menemukan 2 skenario jangka waktu balik modal, yaitu 30 bulan dan 20 bulan. Mengapa 30 dan 20 bulan? Mungkin ini subyektif saja, Anda bisa ubah sendiri kalau memiliki file simulasinya. Aspek lain mungkin jadi pertimbangan adalah jumlah laba yang cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup kita yang jadi pemilik bisnis. Bisnis gerobakan misalnya. Kalau modalnya hanya Rp10 juta dan disebutkan balik modal dalam 5 bulan, itu berarti laba usahanya sebulan hanya Rp2 juta. Bila angka Rp2 juta tidak cukup atau tidak memuaskan karena kebutuhan hidup anda Rp6 juta sebulan, berarti Anda harus buka 3 gerobak yang ketiganya minimal harus mencapai jumlah penjualan yang dibutuhkan untuk memberikan laba usaha Rp2 juta sebulan. Kondisi “Saat Ini” Yang tak kalah penting tentu saja kita harus memahami kondisi atau kinerja saat ini. Berapa omsetnya, berapa laba kotornya, berapa laba operasionalnya, berapa EBITDA nya. Dari sini kita dapat memperkirakan seberapa masuk akal target-target penjualan untuk skenario-skenario tersebut #1 dan #2 tersebut. Exit Strategy Dalam bisnis, kita tidak harus mengadopsi konsep membakar jembatan yang sudah kita lewati. Apalagi kalau sumber daya keuangan kita sangat terbatas. Kita perlu plan B, dan beberapa rencana lain (pivot) bila memungkinkan, sebelum memutuskan untuk menutup dan melakukan likuidasi (menjual peralatan dan perlengkapan, jika bukan bisnisnya) kepada pihak lain. Related ArticlesBiaya Operasional, Apa Saja?Jangka Waktu Balik Modal ("BEP")
Read More (655 views)
Strategi “Buka - Jual - Buka”
Salah satu strategi waralaba yang menarik untuk diterapkan adalah strategi “Buka - Jual - Buka”. Bayangkan Anda memulai bisnis yang butuh belanja modal sebesar Rp300 juta, Setelah 8 bulan beroperasi, bisnis ini menghasilkan laba bersih Rp50 juta per bulan, dan stabil. Bisnis seperti ini dapat Anda tawarkan sebagai waralaba atau kemitraan kepada pihak lain dengan harga Rp800 juta. Mengapa? Asumsi saya dari Rp50 juta tersebut, kita anggap kita bisa ambil Rp10 juta sebagai biaya bulanan (biaya royalti dan/atau biaya supervise & konsultasi). Dengan demikian pihak pembeli masih dapat memperoleh Rp40 juta sebulan. Ini berarti Rp800 juta tersebut masih bisa balik modal dalam waktu 20 bulan. Penghasilan ini ekivalen 5% sebulan, atau 60% setahun bila dibandingkan dengan investasi yang Rp800 juta tersebut. Kalau kemitraan atau waralabanya menggunakan skema pasif, alias pembeli cukup duduk manis dan semuanya dikelola oleh Anda, maka bisa saja Anda mengambil Rp20 juta sehingga potentially pembeli dapat menerima Rp30 juta sebulan. Dengan demikian, Rp800 juta ini bisa balik modal dalam waktu 27 bulan. Ini ekivalen sekitar 3,4% sebulan alias 40,8% setahun! Bagi Anda sendiri, bisnis dengan modal Rp300 juta, dalam waktu 8-12 bulan Anda bisa menjualnya dengan nilai Rp800 juta. Ini hasil yang luar biasa. Dari Rp800 juta tersebut, kalau digunakan untuk buka lagi, maka Anda dapat membuka 2 outlet lagi, dan masih ada sisa Rp200 juta. Catatan: Uraian di atas menggunakan perhitungan payback period dan EBITDA. Untuk arus kas akan ada perbedaan, tergantung faktor-faktor yang menyertainya. Sebagai contoh, sewa di mall tentu memiliki konsekuensi arus kas yang berbeda dengan sewa di ruko.
Read More (627 views)
Menjadi Multi Brand Franchisee
Salah satu saran yang sangat terkenal terkait pengelolaan keuangan, atau tepatnya investasi, adalah: “Jangan taruh semua telurmu dalam satu keranjang.” Dalam waralaba, bila dana Anda cukup, saran ini berarti, “Jangan hanya punya satu bisnis di satu lokasi saja.” Selain satu merek waralaba di beberapa lokasi, saran tersebut bisa juga berarti memiliki beberapa merek waralaba. Tujuannya sama: berjaga-jaga dan antisipasi kebutuhan subsidi silang, apabila ada lokasi atau merek yang kurang berhasil, tentu saja bila dana Anda mencukupi. Non-kompetisi Untuk menjalani peran sebagai multi-brand franchisee, Anda perlu berhati-hati dengan komitmen non-kompetisi yang biasanya tercantum dalam perjanjian waralaba yang Anda tandatangani. Pemberi waralaba di bidang pizza akan melarang Anda memiliki bisnis pizza yang berbeda merek. Pemberi waralaba di bidang bimbel akan melarang Anda memiliki bisnis bimbel dengan merek lain. “Profil Pasar” dan “Musim” Dua hal yang penting diperhatikan oleh multi-brand franchisee dalam memilih merek-merek waralaba adalah “profil pasar” dan “musim”. “Profil pasar”, selain untuk strategi komunikasi pemasaran, sangat penting dalam menentukan lokasi gerai. “Musim” di sini adalah periode ramai dan sepinya bisnis. Misal bisnis di kota Yogyakarta yang didominasi pelajar dari luar kota, akan ada bulan-bulan sepi ketika para pelajar luar kota ini kembali ke kota mereka masing-masing. Kota Jogja memang dibanjiri wisatawan di musim liburan, namun pelajar-pelajarnya “menghilang”. Bisnis yang bersandar pada para mahasiswa, misal laundry kiloan di Jogja, kemungkinan besar akan mengalami penurunan transaksi penjualan yang signifikan di musim liburan. Memiliki bisnis (waralaba maupun bukan waralaba) di bidang kuliner khas daerah dekat hotel atau penginapan mungkin dapat membantu arus kas penerima waralaba. Sebaliknya, bila investor membeli waralaba laundry kiloan dan bimbel, bisa jadi pada bulan-bulan liburan tidak diperoleh “pertolongan” yang signifikan karena profil pasar dan musim dari kedua bisnis tersebut cenderung sepi. Keuangan Disiplin pengelolaan keuangan sangat penting untuk diperhatikan oleh multi-brand franchisee. Meski salah satu tujuan memiliki beberapa merek waralaba adalah untuk subsidi silang, pemisahan pencatatan keuangan wajib dilakukan dengan ketat. Perpindahan dana dari bisnis yang satu ke bisnis yang lain harus dicatat dan diperlakukan seperti utang piutang. SDM (Sumber Daya Manusia) Hal lain yang harus diperhatikan adalah pengelolaan SDM. Biasanya setiap pemberi waralaba tidak menginginkan pengalihan pegawai dari bisnis yang satu ke bisnis yang lain, terutama di level kepemimpinan. Dalam operasional hariannya, perbedaan standar penggajian di dua atau beberapa merek waralaba yang dimiliki kadang menjadi permasalahan ketika sesama pegawai berbagi cerita mengenai sistem pengupahan mereka, apalagi ketika terjadi perbedaan yang signifikan pada gaji yang diperoleh tiap bulannya. Best Practice Multi-brand franchisee bisa saja tergoda untuk membandingkan dua sistem yang berbeda. Kadang hal ini bisa menimbulkan perdebatan yang cukup tajam antara pemberi waralaba dengan penerima waralaba. Bagaimanapun juga pemberi waralaba tidak akan dengan mudah menerima suatu usulan karena sistem yang mereka bangun merupakan best practice yang telah mereka lewati dan teruji. Kesimpulannya, multi-brand franchisee merupakan ide yang menarik tapi memiliki beberapa tantangan dan hal-hal penting yang harus diperhatikan.
Read More (437 views)
Hitam-Putih, Logo Jadi Jelek?…
Tulisan saya kali ini mengenai graphic standard, dan hanya akan membahas 1 hal yang saya anggap sangat penting tapi sering terabaikan, yaitu “reproduksi dari logo full color ke hitam-putih”. Sebagai studi kasus, saya gunakan logo Apotek K-24, jaringan Apotek yang “jumlah gerai beroperasi”-nya (bukan sekedar jumlah gerai yang dibuka!) sudah mencapai 500 outlet lebih di akhir tahun 2020 lalu. Bagaimana tampilan logo Anda ketika direproduksi menjadi hitam-putih (greyscale)?
Read More (446 views)
Menghitung Franchise Fee
Biaya-biaya waralaba (franchise fees) pada umumnya terdiri dari: Biaya waralaba di muka (upfront franchise fee) dan/atau biaya jada persiapan bisnis Biaya royalti bulanan Biaya bulanan lainnya berupa biaya support franchise, atau management fee, atau biaya supervisi & konsultasi Pada franchise ritel modern, muncul “biaya distribusi” yang sebenarnya dapat dianggap sebagai biaya ongkos kirim dan supply chain management. Tulisan ini merupakan rule of thumb (pedoman umum, atau garis besarnya saja) dalam menghitung biaya-biaya waralaba. Biasanya saya menggunakan pedoman ini untuk saringan awal bagi yang hendak mewaralabakan atau berkonsultasi mempersiapkan waralaba bisnisnya. Saya menamakan medote ini “Rule of Two”. Mengapa saya namakan demikian?, karena biasanya saya mengatur simulasi untuk menemukan keseimbangan berupa: profit franchisee minimal dua kali (2x) dari biaya franchise bulanan (biasanya royalty dan/atau management fee) yang dibayarkan ke franchisor. Rule of Two Pertanyaan utama saya untuk menggali prinsip rule of two adalah, “Berapa profit bisnis Anda dalam setahun, atau rata-ratanya dalam sebulan?” – misal jawabannya adalah Rp30 juta sebulan. Angka Rp30 juta ini harus diperjelas dulu, bahwa angka ini sudah dipotong biaya-biaya operasional pada umumnya. Selain itu angka HPP (Harga Pokok Penjualan) seharusnya sesuai dengan produk barang/jasa yang terjual. Juga sudah dipotong unsur penyimpangan nilai HPP dalam batas wajar (kalau ada kasus barang rusak dan barang hilang, harus ada batasannya sesuai kemampuan kontrol manajemennya). Nah, apabila angka Rp30 juta ini sudah “bersih” maka: Angka ini akan kita bebani biaya royalti, maksimum sepertiga, yaitu Rp10 juta. Selanjutnya kita cek angka Rp10 juta ini berapa persen dari nilai penjualan bersih. Misal penjualan bersihnya adalah Rp250 juta, maka Rp10 juta ini adalah 4% dari Nilai Penjualan Bersih. Kalau dipotong Rp10 juta sebagai biaya royalti (biaya ini bisa kita split menjadi biaya royati dan management fee), maka sisa yang tersedia bagi franchisee sebagai laba usahanya tinggal Rp20 juta per bulan. Nah, dari angka Rp20 juta ini, bila kita targetkan balik modal 18 bulan, maka biaya maksimum untuk belanja modal alias capex (dan biaya perizinan + pelatihan awal + biaya awal waralaba) adalah 18 x Rp20 juta = Rp360 juta. Kalau total belanja modal (dan biaya perijinan + pelatihan awal) nya mencapai Rp300 juta, maka biaya awal waralaba yang wajar maksimal hanya Rp60 juta saja. Kalau total belanja modal hanya Rp150 juta, maka biaya awal waralaba yang wajar maksimal bisa saja menjadi Rp110 juta. Bagaimana kalau belanja modal (dan biaya perizinan + pelatihan awal) nya mencapai angka Rp420 juta? Bila kita asumsikan biaya awal waralabanya Rp60 juta, maka total capex (dan biaya perizinan + pelatihan awal + biaya awal waralaba) menjadi Rp480 juta. Ini berarti payback period-nya bukan 18 bulan, melainkan menjadi 24 bulan (Rp480 juta dibagi Rp20 juta). Tentu saja kita bisa mengembalikan payback period-nya menjadi 18 bulan dengan melakukan adjustment terhadap besaran royalti-nya. Atau mungkin juga dengan menekan biaya capex dan biaya awal waralabanya. Bermain-main dengan angka ini sebenarnya hal yang menarik, apalagi bila untuk tujuan yang mulia: agar penawaran waralaba Anda menjunjung tinggi nilai fairness dan win-win bagi para franchisee Anda. Perlu saya tambahkan pula bahwa struktur biaya operasional dan capex Anda biasanya tidak sama dengan kompetitor maupun bisnis sejenis lainnya. Anda harus memahami angka-angka riil bisnis anda sendiri. Setelah pebisnis tersebut merasa yakin bahwa kinerja bisnisnya mampu memenuhi kriteria “Rule of Two” tadi, maka konsultasi persiapan waralaba dapat dilanjutkan dengan agenda pertamanya adalah melakukan verifikasi terhadap “keyakinan” terkait kriteria “Rule of Two” tersebut, selain kesiapan waralaba dari beberapa aspek operasional lainnya. Bila belum memenuhi kriteria “Rule of Two”, bahkan setelah melakukan adjustment terhadap royalti masih sulit memenuhi kriteria tersebut, maka sebaiknya dilakukan upaya-upaya untuk memperbaiki kinerja bisnisnya lebih dahulu (baca artikel Superior Business). Bila ada pertanyaan atau hal yang kurang jelas, anda bisa berkirim email ke admin@klikfranchise.com Related ArticlesJangka Waktu Balik Modal ("BEP")
Read More (926 views)
Perjanjian Waralaba
Mengenai Perjanjian Waralaba, kita perlu mengacu pada cakupan minimum yang diwajibkan dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 42 Tahun 2007 tentang Waralaba. Pasal 4 mengatur bahwa Perjanjian Waralaba harus dalam Bahasa Indonesia dan tunduk pada system hukum di Indonesia. Pasal 5 mengatur cakupan minimum yang harus tertulis dalam Perjanjian Waralaba. Pasal 6 mengatur harus ada kejelasan apakah Penerima Waralaba (terwaralaba, atau franchisee) memiliki hak untuk mewaralabakan lebih lanjut kepada pihak lain. Berikut kutipan Peraturan Pemerintah tersebut: BAB IIIPERJANJIAN WARALABA Pasal 4 (1) Waralaba diselenggarakan berdasarkan perjanjian tertulis antara Pemberi Waralaba dengan Penerima Waralaba dengan memperhatikan hukum Indonesia. (2) Dalam hal perjanjian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditulis dalam bahasa asing, perjanjian tersebut harus diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Pasal 5 Perjanjian Waralaba memuat klausula paling sedikit : nama dan alamat para pihak; jenis Hak Kekayaan Intelektual; kegiatan usaha; hak dan kewajiban para pihak; bantuan, fasilitas, bimbingan operasional, pelatihan, dan pemasaran yang diberikan Pemberi Waralaba kepada Penerima Waralaba; wilayah usaha; jangka waktu perjanjian; tata cara pembayaran imbalan; kepemilikan, perubahan kepemilikan, dan hak ahli waris; penyelesaian sengketa; dan tata cara perpanjangan, pengakhiran, dan pemutusan perjanjian. Pasal 6 (1) Perjanjian Waralaba dapat memuat klausula pemberian hak bagi Penerima Waralaba untuk menunjuk Penerima Waralaba lain. (2) Penerima Waralaba yang diberi hak untuk menunjuk Penerima Waralaba lain, harus memiliki dan melaksanakan sendiri paling sedikit 1 (satu) tempat usaha Waralaba. *Draft lengkap PDF dari Peraturan Pemerintah ini dapat diunduh langsung dari https://peraturan.go.id/common/dokumen/ln/2007/pp42-2007.pdf
Read More (516 views)
BO Gerobak, Bukan Waralaba ?
Suatu kerjasama disebut waralaba apabila memenuhi beberapa persyaratan, yang mungkin berbeda antara satu negara dengan negara lain, juga antara satu konsultan dengan konsultan lain. Salah satu pedoman kriteria kerjasama yang positif dalam meredam kecurangan waralaba, dikenal mengakibatkan efek samping yang disebut sebagai “accidental franchise” (mendadak waralaba). Mengapa disebut “mendadak waralaba”? Begini kisahnya. Setelah kriteria kerjasama yang dianggap waralaba ini dipublikasikan oleh FTC (Federal Trade Commission), beberapa pebisnis yang tidak merasa hendak mewaralabakan bisnisnya ternyata terjaring oleh kriteria tersebut, sehingga wajib mendaftarkan atau menyerahkan dokumen yang dikenal sebagai UFOC (Uniformed Franchise Offering Circular) yang kemudian diganti menjadi FDD (Franchise Disclosure Document) kepada pemerintah setempat. Adapun kriteria ini adalah: (1) menggunakan merek milik salah satu pihak yang bekerjasama, (2) ada standar operasional atau pengendalian yang signifikan dari pemilik merek, (3) ada kegiatan pemasaran yang terpusat atau dikoordinir oleh pemilik merek, dan (4) ada biaya yang dibayar di muka atau sebelum 6 bulan pasca opening sebesar minimum USD 500 kepada pemilik merek. Bila suatu kerjasama yang mengandung 3 dari 4 hal tersebut, maka pemilik merek wajib untuk menyerahkan dan mendaftarkan dokumen UFOC atau FDD nya ke pemerintah setempat. Mari kita kupas BO gerobak yang masih banyak peminatnya ... BO Gerobak BO gerobak memiliki kecenderungan hanya memberikan penggunaan merek dan biaya yang dibayar di muka dalam kemasan paket dengan gerobaknya, yang kemudian dilanjutkan dengan penjualan produk. Dalam hal gerobak ini merupakan gerobak makanan, produk bisa berarti bahan makanan. Jadi BO gerobak seringkali hanya memenuhi 2 dari 4 kriteria tersebut. Dua kriteria yang sering tidak dipenuhi adalah tidak adanya pengendalian atau pengawasan yang signifikan (meski mungkin saja ada standar operasional yang sudah disusun dan baku), serta tidak ada kegiatan pemasaran yang dikoordinir oleh pemilik merek. Tidak adanya pengawasan ini membuat merek yang digunakan para mitra/investor mereka tidak terjamin standarnya, dan berpeluang merugikan mitranya karena bisa saja pengalaman buruk di satu lokasi membuat pelanggan potensial menghindari merek tersebut. Sebenarnya BO gerobak seperti ini lebih baik membiarkan mitranya menggunakan merek sendiri, alias menggunakan skema Paket Usaha saja tanpa embel-embel merek tertentu. Waralaba, Tapi ... Setelah memahami ciri-ciri kerjasama yang memiliki kriteria sebagai waralaba, dan melihat kenyataan bahwa BO gerobak tampaknya memang bukan waralaba, maka kita coba menilai kemungkinan adanya “waralaba” yang tidak memenuhi kriteria ini. Penggunaan merek merupakan hal yang justru menjadi ciri utama setiap kerjasama yang mengaku waralaba, maupun yang dianggap sebagai waralaba. Pengendalian atau pengawasan adalah hal yang tidak selalu dipraktekkan. Bahkan kerjasama dengan format bisnis rumah makan pun kadang tidak melakukan pengendalian ini. Seolah kasih pinjam merek, jual resep, selanjutnya terserah Anda (terwaralaba) tanpa pengendalian, standarisasi menjadi sia-sia. Tanpa pengendalian, terwaralaba menghadapi ancaman terbentuknya citra yang buruk terhadap merek dan produk yang diwaralabakan. Strategi dan kegiatan pemasaran terpusat juga jarang dilakukan. Pewaralaba seringkali lebih fokus pada promosi untuk menjual waralaba (atau gerobak) mereka. Hal ini sangat disayangkan, karena seyogyanya pewaralaba memikirkan strategi meningkatkan penjualan gerai para terwaralabanya. Jadi, yang masih perlu diselidiki adalah komitmen terkait pengendalian kualitas, termasuk sistem support, dan komitmen terkait strategi dan kegiatan promosi pemasaran yang terpusat. Bila dua poin ini tidak ada dalam praktek kerjasama, maka kerjasama BO gerobakan itu memang bukan waralaba. Lisensi-kah? Meski tidak terikat komitmen menyelenggarakan kegiatan promosi pemasaran yang terpusat, lisensi biasanya menerapkan konsep pengawasan. Hal ini bertujuan untuk menjaga brand image. Semoga tulisan ini memberikan pencerahan bagi kita semua. Related ArticlesFranchise dan KemitraanPaket UsahaWaralaba dan Kemitraan, Kenali Bedanya!
Read More (746 views)
Superior Business
Bisnis yang diwaralabakan seyogyanya merupakan suatu bisnis yang masuk kategori Superior Business. Faktanya, tidak semua yang hendak menjadi pemberi waralaba masuk kriteria ini. Mengapa harus superior bisnisnya? Beban Biaya Awal Waralaba Investasi yang dibutuhkan untuk bisnis waralaba relatif lebih tinggi daripada bisnis dengan merek sendiri. Total investasi yang dikenai biaya awal waralaba seringkali cukup signifikan nilainya. Biaya awal waralaba ini bukan hal yang tidak wajar. Investor mendapat bantuan yang memperlancar persiapan gerai barunya. Selain itu biaya awal waralaba menjadi semacam royalti yang dibayar di muka, selain nantinya ada royalti yang harus dibayarkan bulanan. Beban Biaya Royalti Bulanan Selain biaya awal waralaba, biasanya ada biaya royalti bulanan. Biaya royalti bulanan ini merupakan imbalan atas peran merek yang diangggap memberikan peluang pencapaian nilai penjualan yang lebih tinggi dibandingkan dengan kalau menggunakan merek lain, atau merek milik investor sendiri. Biaya royalti bulanan ini menjadi komponen tambahan pada beban biaya operasional, sehingga berdampak pada berkurangnya laba usaha. Selain biaya royalti kadang ada biaya jasa supervise dan konsultasi, yaitu sistem support dari pemberi waralaba kepada penerima waralaba. Mundurnya Jangka Waktu Balik Modal Bayangkan, biaya investasi lebih tinggi, laba usaha lebih rendah. Akibatnya, jangka waktu balik modal akan mundur bila dibandingkan dengan bisnis milik Pemberi Waralaba sendiri. Tentu saja asumsi total penjualan harus bisa tinggi karena memanfaatkan merek dari Pemberi Waralaba. Dengan demikian diharapkan laba yang lebih rendah ini tetap lebih tinggi nilainya dibandingkan dengan membuka usaha dengan merek sendiri. Untuk memberikan gambaran mengenai kinerja yang kurang bagus, perhatikan ilustrasi di bawah ini: Ada kalanya pemilik merek hanya mampu mencapai angka penjualan Rp20 juta, yang berarti jangka waktu balik modalnya 25 bulan (bila milik sendiri). Namun karena hendak mewaralabakan bisnisnya, maka ia menghitung target yang dibutuhkan agar penawarannya menarik, lalu menemukan target itu adalah Rp32 juta, agar balik modal Penerima Waralaba bisa 26 bulanan, seperti gambar berikut ini: Agar penawarannya menarik, maka ia membuat proyeksi keuangan dengan target penjualan Rp32 juta. Itu sebabnya tampilan angka “proyeksi” kinerja keuangan dalam brosur beberapa penawaran waralaba, BO, dan kemitraan seringkali merupakan “target” yang sulit dicapai , bahkan ada beberapa pemilik merek yang tidak pernah mencapai target tersebut, atau kalaupun pernah mencapai angka tersebut , hanya satu dua gerai saja dari puluhan gerai yang ada. Ketika pengalaman Pemberi Waralaba hanya di level penjualan Rp20 juta dan bila Penerima Waralaba tidak cukup beruntung untuk memiliki kinerja di atas Pemberi Waralaba, maka jangka waktu balik modal Penerima Waralaba ini adalah 43 bulan, bukan 27 bulanan sebagaimana proyeksi keuangan yang disajikan Pemberi Waralaba. Pemberi Waralaba seyogyanya menjalankan bisnis dan menawarkan waralaba dengan jujur dan transparan. Calon investor harus jeli dan selalu menanyakan apakah angka target penjualan itu merupakan angka yang relatif moderat dan tidak sulit dicapai, dan gerai mana saja yang mencapai angka tersebut, atau ada berapa gerai yang benar-benar mencapai angka penjualan itu.
Read More (532 views)
Merek Atas Nama Perorangan vs…
Bila anda sedang menimbang-nimbang, mau daftar merek atas nama Perseroan Terbatas (PT) atau Perorangan, berikut ini ulasan yang bisa dijadikan pertimbangan: Masalah Waris Bila kepemilikan merek dipegang oleh perorangan, harus dipahami bahwa apabila pemilik merek meninggal dunia, maka hukum waris berlaku. Kepemilikan merek menjadi “milik bersama” para ahli waris, atau menurut isi surat wasiat terkait pewarisan kepemilikan atas merek tersebut. Jadi akan ada prosedur yang harus dilalui oleh para ahli waris, seperti mengurus surat keterangan waris, dan sebagainya, untuk kemudian mengurus pengalihan kepemilikan atas merek tersebut ke Direktorat Jendral Hak Kekayaan Intelektual (HKI) Republik Indonesia. Masalah waris ini juga harus clear, ketika hendak melakukan perpanjangan Sertifikat Merek. Merek Atas Nama PT Setelah memahami aspek masalah waris, maka kita bisa menyimpulkan bahwa merek yang dimiliki oleh PT tidak memiliki kerumitan masalah waris – meski mungkin kepemilikan saham dalam PT akan memiliki kerumitan prosedur waris bila ada pemegang saham yang meninggal dunia. Perpanjangan Sertifikat Merek juga mengandalkan nama Direktur saja. Manfaat kepemilikan atas nama PT juga menyangkut batasan tanggungjawab apabila menghadapi sengketa. Secara umum manfaat dari badan hukum PT adalah batasan pertanggungjawaban yang sebatas harta dari PT tersebut, artinya tidak melebar hingga harta milik perorangan pemegang saham PT tersebut. Pengalihan Kepemilikan Merek Perlu ditambahkan di sini bahwa kepemilikan atas merek (sertifikat merek) dapat dialihkan dari Perorangan ke PT. Jadi bila setelah membaca artikel ini anda bermaksud mengalihkan kepemilikan merek anda dari Perorangan ke PT, Anda dapat mengajukan permohonan pengalihan ini ke Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual, Kementerian Hukum & HAM Republik Indonesia. Semoga ulasan ini membantu Anda untuk memahami hal terkait kepemilikan merek dan pewralabaan merek tersebut, khususnya apabila terjadi perbedaan entitas antara pemilik merek dan Pemberi Waralaba. Related Articles Mereknya Milik Siapa?
Read More (462 views)
Mereknya Milik Siapa?
Judul ini dipilih karena praktek waralaba, termasuk BO dan Kemitraan, saat ini tampaknya masih mengabaikan masalah siapa pemilik merek yang diwaralabakan atau dilisensikan. Idealnya tentu saja pemilik merek adalah entitas atau pihak yang sama persis dengan pemberi waralaba. Oleh karena itu, KlikFranchise berupaya menyajikan kejelasan kepemilikan merek dalam direktori yang dipublikasikan. Merek Milik Perorangan, Pemberi Waralaba PT Beberapa merek yang diwaralabakan mula-mula didaftarkan sebagai milik dari perorangan. Merek “K-24” misalnya, semula didaftarkan atas nama pendirinya, dokter Gideon Hartono. Sementara itu pemberi waralabanya adalah PT K-24 Indonesia. Sekarang kepemilikan merek tersebut sudah dialihkan ke PT K-24 Indonesia. Sebelum pengalihan terdaftar secara resmi (legal formal), Perjanjian waralabanya dilengkapi dengan surat pernyataan dari dokter Gideon bahwa beliau memberikan hak kepada PT tersebut untuk mengembangkan jaringan apotek dengan menggunakan merek tersebut. Merek Milik PT. ABC, Pemberi Waralaba PT. XYZ Kejadian perbedaan antara pemilik merek dan pemberi waralaba bisa terjadi dalam bentuk beda PT. Artinya pemilik mereknya memang sudah PT, tapi ketika diwaralabakan ternyata PT yang menjadi pemberi waralabanya berbeda dengan PT pemilik merek. Bagaimana hal ini bisa terjadi? Biasanya ini terjadi pada merek yang sudah cukup lama dan sudah mapan. Pendiri perusahaan sudah mantap untuk menjadikan perusahaan sebagai pemilik merek. Dalam perkembangannya, ketika pemilik perusahaan kemudian hendak mewaralabakan bisnisnya, ia tidak ingin kedudukan perusahaan yang mengoperasikan gerai tercampur baur dengan perusahaan yang menjadi pemberi waralaba. Ia akan mendirikan perusahaan (biasanya disebut sebagai perusahaan terafiliasi) untuk menjadi pemberi waralaba. Tentu ada bermacam alasan, salah satunya adalah pertimbangan legal. Sekali lagi, hal ini bisa disiasati dengan Surat Pernyataan, atau pengalihan kepemilikan merek di kemudian hari. Related Articles Merek Atas Nama Perorangan vs PT
Read More (508 views)
Jangka Waktu Balik Modal (“BE…
Jangka waktu balik modal memiliki banyak istilah yang berpotensi menimbulkan kebingungan. Ada yang menggunakan istilah ROI, tapi akhir-akhir ini lebih sering terdengar istilah BEP (Break Even Point) ketika seseorang membicarakan “jangka waktu balik modal”. “BEP nya berapa lama?” begitulah pertanyaan yang sering dilontarkan kepada franchisor atau pihak yang menawarkan kerja sama kemitraan. Saya pribadi lebih suka menggunakan istilah “payback period”, yang sebenarnya mengacu pada berapa lama akumulasi laba usaha mencapai jumlah yang sama dengan seluruh modal yang dikeluarkan di awal usaha. Jadi kalau dengan ilustrasi sederhana, misal gambarannya adalah sebagai berikut: Mengapa ada koreksi sewa di muka?, Karena biasanya biaya sewa dimunculkan di biaya operasional, sehingga bila tidak dilakukan koreksi, maka terjadi duplikasi pembebanan biaya sewa, yaitu di tahun 0 (ketika memulai usaha) dan di biaya operasionalnya. Dalam contoh ilustrasi tersebut, biaya sewa diasumsikan naik menjadi Rp60 juta per tahun, sehingga yang harus dikeluarkan di tahun ke-3 untuk membayar sewa tahun ke-4 hingga ke-6 adalah Rp180 juta. Menyimak ilustrasi tersebut, tampak bahwa payback period ada di tahun ke-3. Untuk menyederhanakan perhitungan, biasanya yang diperhitungkan adalah pencatatan Laba Rugi Tahunan (atau Bulanan) dari kinerja rata-rata outlet bisnis tersebut. Kalkulator Franchise yang tersedia di KlikFranchise menggunakan perhitungan yang disederhanakan. Ilustrasi yang disederhanakan ini akan menjadi sebagai berikut: Meski hasil perhitungan payback nya adalah 2,35 tahun alias di tahun ketiga, hasil perhitungan ini tentu berbeda dengan perhitungan sebelum disederhanakan. Catatan: Perhitungan payback period disarankan untuk memasukkan seluruh kebutuhan belanja modal (aset) dan biaya-biaya awal seperti perizinan, rekrut dan latih SDM, hingga biaya promosi launching. Bila ada pengeluaran belanja modal lagi di tengah perjalanan usaha, maka perhitungan “Payback Period by EBITDA” ini menjadi kurang relevan. Sebaiknya semua aset yang akan dibutuhkan sudah dimasukkan ke dalam belanja modal sejak awal. Related ArticlesTotal Kebutuhan Modal UsahaBiaya Modal KerjaBiaya Operasional, Apa Saja?Menghitung HPP atau COGS
Read More (1484 views)
Biaya Operasional, Apa Saja?
Ada banyak versi mengenai rincian biaya operasional. Berikut ini salah satu cara melakukan pengelompokan untuk memudahkan analisis terhadap laporan yang dihasilkan. Biaya Penjualan, yaitu biaya yang timbul untuk menghasilkan penjualan. Biaya payment channels: EDC (kartu kredit dan debit), QRIS (termasuk fintech), dsb. Biaya sales channels: gofood, grabfood, shopeefood, Tokopedia, Traveloka, dsb. Biaya supplies: kemasan, kantong belanja, kantong plastik, dsb. Dalam bisnis kuliner bisa saja ini termasuk tissue, tusuk gigi, condiments, seperti acar, sambal, dsb. Biaya-biaya terkait waralaba atau lisensi. Biaya SDM, yaitu biaya terkait kepegawaian. Biaya gaji. Biaya tunjangan: tunjangan makan, transport, dsb; termasuk BPJS dan alokasi prorata bulanan untuk THR. Biaya seragam. Biaya rekrutmen dan pelatihan. Bonus, komisi, atau insentif. Biaya Gedung/Ruang Usaha, yaitu biaya sewa dan utilitas; dalam hal ini biaya utilitas bisa dipisah. Biaya sewa. Biaya service charge, atau Iuran Pemeliharaan Lingkungan bila bukan di mall. Biaya sumbangan* Biaya utilitas, yaitu biaya listrik, air, telepon, internet, dan LPG. Biaya Umum, yaitu biaya terkait keseharian. Biaya ATK (alat tulis kantor dan komputer). Biaya transportasi dan perjalanan dinas. Biaya pemeliharaan aset (Gedung, AC, dsb); biaya ini sebaiknya dialokasikan seandainya tidak ada pengeluaran sekalipun, karena mungkin saja dibutuhkan di kemudian hari. Biaya Cleaning Supplies (sabun cuci, cairan pel, dsb). Biaya pest control (bila perlu). Biaya Lain-Lain. Biaya depresiasi aset tangible (berwujud). Biaya amortisasi aset intangible (tidak berwujud): biaya waralaba di muka, biaya sewa dibayar di muka. Biaya Pajak Dll. Apakah ada biaya atau metode lain yang anda ketahui? Anda bisa berbagi info dengan mengirim tulisan ke email KlikFranchise: admin@klikfranchise.com Related ArticlesTotal Kebutuhan Modal UsahaBiaya Modal KerjaMenghitung HPP atau COGSJangka Waktu Balik Modal ("BEP")
Read More (1002 views)
Menghitung HPP atau COGS
Harga Pokok Penjualan (HPP) adalah harga modal dari produk-produk yang terjual, oleh karena itu disebut juga Cost of Goods Sold (COGS). Untuk bisnis jasa biasanya istilah COGS berubah menjadi Cost of Sales (COS). Bagi pengusaha yang sudah memahami cara melakukan stok opname dengan rutin dan benar, maka rumusnya adalah sebagai berikut: Stok Awal + Tambahan Stok - Stok Akhir. Kadang ada beberapa faktor lain yang turut mempengaruhi, misal retur penjualan dan retur pembelian. Tentu saja retur penjualan dapat dianggap sebagai tambahan stok, dan retur pembelian adalah pengurangan stok. Bagaimana bila belum punya jadwal rutin stok opname? Meski tidak sempurna, bisa saja digunakan metode alternatif, yaitu menghitung langsung harga modal produk terjual ditambah dengan persentase tertentu sebagai alokasi kejadian barang rusak, dan barang hilang. Menghitung langsung harga modal produk terjual pada bisnis kuliner dapat dilakukan dengan melihat resepnya, dengan memperhatikan faktor LIP (Loss In Process). Contoh kejadian LIP misalnya masakan ayam yang boneless (tanpa tulang), tapi belinya ayam utuh. Dalam prosesnya tentu berat tulang akan menjadi komponen LIP. Barang Hilang dan Barang Rusak Sering terjadi penjualan tercatat 10 item tapi stok berkurang 12 item. Selain kemungkinan berpindah tempat atau posisi di gudang, faktor penyebab lainnya adalah hilang atau rusak. Dalam hal ini sangat penting untuk memiliki Pedoman Operasional yang mengingatkan bahwa barang rusak tidak boleh disingkirkan tanpa catatan Berita Acara yang dilengkapi dengan kehadiran dan tandatangan saksi. Dalam bisnis kuliner, bila Nilai HPP berdasarkan perhitungan stok ternyata lebih besar dari nilai HPP berdasarkan resep, maka patut diduga ada barang rusak, atau barang hilang. Related ArticlesTotal Kebutuhan Modal UsahaBiaya Modal KerjaBiaya Operasional, Apa Saja?Jangka Waktu Balik Modal ("BEP")
Read More (1115 views)
Modal Kerja
Modal Kerja atau Working Capital terdiri dari: Biaya Sewa dibayar di muka Biaya Operasional lainnya yang dibayar di muka, seperti biaya pajak reklame, biaya seragam pegawai, biaya stok awal inventaris perlengkapan kerja, Biaya Inventori Awal Perlengkapan Kerja: adalah perlengkapan yang digunakan dalam menjalankan bisnis, misal piring, sendok, garpu (untuk kuliner), Alat Tulis Kantor, dsb – Pencatatan kelompok item ini tidak didepresiasikan, tapi dimasukkan sebagai pengeluaran biaya operasional saat pembelian terjadi. Stok Awal bahan dan/atau produk yang menjadi HPP (Harga Pokok Penjualan) alias harga modal dari produk yang dijual. Cadangan Kas atau Saldo Awal Kas: adalah cadangan tunai atau saldo bank untuk mengantisipasi arus kas negatif selama beberapa bulan pertama. Secara umum, Total Kebutuhan Modal Usaha yang telah dikurangi dengan Modal Kerja disebut CAPEX (Capital Expenditure). Pengelompokan biaya-biaya ini bisa saja berbeda antara satu orang dengan orang yang lainnya. Oleh karena itu di sini saya mencoba mengurai metode pengelompokan untuk perhitungan menggunakan Kalkulator Franchise di KlikFranchise. Related ArticlesTotal Kebutuhan Modal UsahaMenghitung HPP atau COGSBiaya Operasional, Apa Saja?Jangka Waktu Balik Modal ("BEP")
Read More (839 views)
Total Kebutuhan Modal Usaha
Total Kebutuhan Modal Usaha terdiri dari: Biaya Persiapan Legal Bisnis: akta pendirian (bila bukan perorangan) dan perizinan-perizinan (perizinan operasional: SIUP, TDP, NPWP, dan sebagainya). Biaya Survei Lokasi, bila dibutuhkan. Biaya-biaya awal terkait waralaba/kemitraan kepada pemilik merek (bila ada). Biaya Perijinan Renovasi: Izin Mendirikan Bangunan (IMB) bila ada rencana renovasi yang membutuhkan IMB. Biaya Pekerjaan Renovasi: Instalasi M&E, Interior (furniture dan fixture) Biaya Peralatan Kerja: Peralatan Dapur (untuk kuliner), Peralatan Racik Obat (untuk apotek), Peralatan Laser (untuk salon dan skin care), dsb. Biaya Rekrutmen: mencari, menyeleksi dan melatih Tim Pegawai mula-mula. Biaya Launching, bila dibutuhkan. Biaya Modal Kerja: adalah biaya operasional rutin yang harus dibayarkan di muka, sebelum bisnis beroperasi atau di awal tahun pertama. Di sini termasuk biaya sewa yang harus dibayar di muka, dan biaya inventori awal perlengkapan kerja. Stok Awal bahan dan/atau produk yang menjadi HPP (Harga Pokok Penjualan) alias harga modal dari produk yang dijual. Biaya Inventori Awal Perlengkapan Kerja: adalah perlengkapan yang digunakan dalam menjalankan bisnis, misal piring, sendok, garpu (untuk kuliner), Alat Tulis Kantor, dsb – Pencatatan kelompok item ini tidak didepresiasikan, tapi dimasukkan sebagai pengeluaran biaya operasional saat pembelian terjadi. Cadangan Kas atau Saldo Awal Kas: adalah cadangan tunai atau saldo bank untuk mengantisipasi arus kas negatif selama beberapa bulan pertama. Banyak ya? Memang banyak! Memulai bisnis dengan benar membutuhkan ketersediaan dana yang tidak sedikit. Ketidaktersediaan total modal (kebutuhan yang sebenarnya) dapat mengakibatkan bisnis berakhir dalam jangka pendek. Informasi mengenai modal usaha yang terlihat murah meriah biasanya menyembunyikan beberapa unsur, seperti cadangan kas, atau beberapa peralatan kerja yang harus dibeli sendiri. Contoh peralatan kerja yang harus dibeli sendiri misalnya kulkas atau freezer pada tawaran bisnis gerobakan. Mungkin alasannya bisa menggunakan kulkas rumahan. Well, itu kalau memang ada ruang yang cukup pada kulkas di rumah. Bila tidak, maka harus nambah investasi untuk beli kulkas. Related ArticlesMenghitung HPP atau COGSBiaya Operasional, Apa Saja?Jangka Waktu Balik Modal ("BEP")
Read More (881 views)
Waralaba untuk Pensiunan
Waralaba untuk pensiunan - Karena faktor usia, orang-orang yang menjelang pensiun cenderung menghindari risiko tinggi. Bila berinvestasi, mereka memerlukan penghasilan yang relatif stabil. Hal ini sangat penting, terutama bagi pensiunan yang belum memiliki pundi-pundi pengaman untuk kebutuhan rutin harian mereka. Waralaba sangat berpotensi membantu mereka untuk mendapatkan penghasilan untuk kebutuhan rutin mereka. Waralaba Risiko Rendah Waralaba dengan risiko kegagalan yang rendah biasanya dapat ditelusuri dari sejarah dan perkembangan bisnis waralabanya. Jam terbang sangat menentukan di sini. Jadi yang perlu diperhatikan antara lain informasi mengenai kapan mulai berdiri, kapan mulai diwaralabakan, berapa jumlah gerai waralabanya, berapa yang berhasil dan berapa yang tutup, berapa yang beralih kepemilikan. Beralihnya kepemilikan perlu dicermati, meski tidak mutlak menunjukkan kurang baiknya manajemen dari waralaba tersebut. Namun dari sana kita bisa mencari jejak penyebab kegagalannya apa saja, apakah Anda dapat menghindarinya atau Anda melihatnya sulit dihindari?, Bertanya kepada pewaralaba mengenai kunci sukses dan faktor penyebab kegagalan juga sangat dianjurkan. Bertanya kepada pihak-pihak yang pernah menjadi terwaralaba juga patut dipertimbangkan, meski Anda harus hati-hati agar tidak termakan kekecewaan yang belum tentu karena kesalahan pewaralaba. Beberapa terwaralaba mengalami kegagalan karena salah kelola di pihak terwaralaba itu sendiri. Hobi Hobi seringkali disebut sebagai petunjuk untuk menemukan minat dan hasrat (passion) anda. Kalau Anda hobi masak, ambil waralaba restoran. Bila Anda hobi mengajar, ambil waralaba pendidikan. Pernyataan tersebut separuh benar. Faktanya, hobi tidak identik dengan minat dan hasrat. Ada banyak detail lain yang harus diperhatikan, yaitu keterampilan, dan kemampuan menikmati rutinitas keseharian bisnis tersebut. Hobi mengajar juga harus memperhatikan tambahan mengenai rentang usia anak didik. Beberapa orang lebih dapat menikmati mengajar usia SMP dan SMA dibandingkan mengajar anak-anak usia balita , TK dan SD. Keterampilan Bila Anda bukan membeli waralaba yang menjadikan Anda investor pasif (model waralaba dari Indomaret dan Alfamart adalah investor pasif), maka anda harus punya ketrampilan kepemimpinan dan komunikasi dengan bawahan. Anda juga harus siap mental dalam menghadapi perilaku para pegawai Anda nantinya. Kesiapan mental, keterampilan kepemimpinan dan keterampilan komunikasi merupakan modal dasar Anda menjalani kesibukan rutinitas keseharian bisnis waralaba Anda. Bila Anda membutuhkan pelatihan mengenai keterampilan tertentu, tanyakan kepada pewaralaba untuk mengatasi kebutuhan Anda terkait keterampilan tersebut. Kecukupan Modal Informasi jumlah modal dari pewaralaba yang biasa dicantumkan dalam brosur seringkali dikecil-kecilkan untuk menarik minat calon investor. Komponen cadangan tunai awal yang biasanya dibutuhkan untuk menjaga arus kas hingga 6 bulan pertama seringkali tidak dicantumkan, demikian juga dengan biaya sewa. Bahkan beberapa waralaba tidak mencantumkan biaya renovasi, bila dianggap menggunakan ruko milik sendiri atau di garasi rumah. Pastikan Anda memiliki informasi yang jelas dan dana yang anda miliki benar-benar cukup untuk keperluan operasional 6 bulan pertama seandainya omset penjualan dalam 6 bulan pertama itu kurang memuaskan. Jangan sampai di tengah jalan, misal bulan ketiga, anda kehabisan modal sehingga harus menggadaikan mobil anda untuk menutup arus kas negatif. Waralaba itu meminimalkan risiko tapi tidak menihilkan risiko. Harapan saya, tulisan ini membantu para pensiunan dan calon pensiunan dalam memilih waralaba, juga bagi para pewaralaba dalam menyeleksi dan mengarahkan pensiunan untuk menjadi terwaralaba yang berhasil. Kecukupan modal di sini berarti pula masih ada cadangan tunai untuk kebutuhan pribadi, termasuk untuk kebutuhan darurat yang mendadak, dalam bentuk tabungan dan deposito. Juga, jangan letakkan telur dalam satu keranjang. Artinya selain investasi di waralaba, miliki pula investasi lainnya seperti reksadana, logam mulia, dan sebagainya. *Artikel ini pernah dimuat di Majalah Franchise Indonesia tahun 2015
Read More (517 views)
Paket Usaha
Paket Usaha adalah bentuk kerja sama kemitraan yang tidak menyeragamkan merek bisnisnya. Pada umumnya yang menawarkan Paket Usaha memiliki tujuan memasok bahan baku atau produk yang akan dijual oleh yang membeli Paket Usaha (selanjutnya kita sebut Mitra). Mitra menjalankan bisnis tersebut dengan bebas, karena tidak ada keterikatan penggunaan merek bersama. Mitra membeli perlengkapan awal yang mungkin belum lengkap dari penjual Paket Usaha. Belum lengkap di sini misalnya terkait kebutuhan lemari es, rak/lemari penyimpan barang atau bahan baku, sistem administrasi, dan sebagainya. Selain menyediakan pasokan untuk kelanjutan bisnis Mitra, penjual Paket Usaha biasanya menyediakan pelatihan awal (bisa juga ada pelatihan lanjutan). Berbeda dengan waralaba, biasanya penjual Paket Usaha mengambil margin keuntungan dari pasokan produk adan bahan bakunya sehingga tidak ada biaya bulanan. Contoh: produsen/distributor bubuk minuman teh, bubble tea, dan kopi yang menawarkan Peluang Usaha atau Paket Usaha.
Read More (498 views)
Rental Revenue Sharing
Berbeda dengan franchise, Rental Revenue Sharing adalah bentuk kerja sama yang perizinan dan perpajakan dari bisnis di lokasi tetap menggunakan nama pemilik merek. Dalam hal ini pemilik merek dianggap menyewa lokasi milik pihak lain (selanjutnya kita sebut Mitra). Nah, lingkup objek yang disewakan ini bisa beragam. Yang paling sederhana adalah sekedar menyewakan properti (bangunan atau ruang usaha). Sedikit di atas sewa properti, bisa ditambahkan fasilitas lainnya seperti lemari, instalasi dapur, dan perlengkapan lain yang “melekat” pada bangunan. Pemilik merek akan melakukan investasi, alias membawa asset, berupa peralatan dan perlengkapan untuk menjalankan Bisnis yang tidak movable alias tidak melekat pada gedung/bangunan. Dalam hal ini kedua pihak hanya mengikat perjanjian kerja sama dan tidak membentuk badan usaha joint venture (JV) maupun join operation (KSO). Selain skema tersebut, bisa juga pemilik merek menawarkan skema seluruh investasi dilakukan oleh Mitra, sehingga pemilik merek menyewa fasilitas yang secara keseluruhan dimodali oleh Mitra tersebut. Skema ini disebut Revenue Sharing, karena dihitung dari revenue/omset, bukan profit. Contoh: Kemitraan FORE, Kemitraan KFC yang menggunakan skema Revenue Sharing.
Read More (707 views)
Franchise Resale (Take Over)
Indomaret dan Alfamart kadang memiliki penawaran Franchise Take Over, yaitu pengalihan kepemilikan suatu outlet yang biasanya sudah cukup stabil kinerja bulanannya, dan sudah diamankan biaya sewanya sesuai kebutuhan jangka waktu perjanjian waralaba. Selain pola buka sendiri lalu jual sebagai Franchise Takeover seperti Indomaret dan Alfamart, Franchise Resale atau Take Over bisa juga terjadi antara franchisee yang bermaksud mengakhiri kerja sama sebelum berakhirnya perjanjian kerja sama. Tidak semua Franchise Resale dikarenakan merugi, karena bisa saja ada kebutuhan keuangan yang cukup mendesak. Franchise Resale yang kondisinya merugi pun belum tentu tidak bisa diperbaiki, terutama kalau dikarenakan franchisee tersebut salah kelola. Kadang bisa terjadi Franchise Resale karena salah lokasi. Kesimpulan hasil survei ternyata berbeda dengan kenyataan di lapangan. Franchisee memiliki hak untuk relokasi, tapi tidak memiliki cukup dana untuk melakukan relokasi tersebut. Bila Resale dilakukan di tahun kedua atau ketiga, dan franchisor mengizinkan Resale ini dilakukan dengan relokasi, maka bisa saja di Lokasi baru nanti kinerjanya menjadi jauh lebih baik. Umumnya Franchise Resale harus sepengetahuan dan seijin franchisor. Jadi jangan melakukan transaksi dengan franchisee tanpa sepengetahuan franchisor. Ingat bahwa franchising itu memanfaatkan merek milik franchisor.
Read More (567 views)
Franchised & Managed (by Fran…
Disebut juga Licensed & Operated, skema Franchised & Managed ini biasa dijumpai dalam kerja sama waralaba atau lisensi manajemen operasional hotel. Skema ini digunakan pula oleh Indomaret dan Alfamart. Dalam skema ini franchisee menyediakan seluruh modal yang dibutuhkan. Perizinan dan perpajakan atas nama franchisee, namun operasional harian dikelola oleh tim franchisor, termasuk manajemen keuangannya. Karena perizinan operasional bisnis atas nama franchisee, maka pemberi kerja dari para pegawai adalah franchisee pula. Skema ini dipilih untuk memberikan tingkat pengendalian yang lebih tinggi daripada franchising yang operasional hariannya dikelola oleh franchisee. Untuk bisa menjalankan skema ini tentu saja franchisor harus mampu melakukan pencatatan pembukuan yang dapat dipertanggung jawabkan. Franchisee tentu punya hak untuk melakukan audit, namun biasanya hak ini hanya dapat dilakukan dengan menunjuk Kantor Akuntan Publik yang ada baiknya sudah disepakati bersama saat penandatanganan perjanjian kerja sama.
Read More (468 views)
Kelengkapan Dokumen Prospektu…
Prospektus Penawaran Waralaba diatur melalui Permendag No. 71 Tahun 2019, tepatnya pada Bab 1 Pasal 1 yang berisikan tentang ketentuan isi prospektus penawaran waralaba setidaknya memuat: Data identitas Pemberi Waralaba atau Pemberi Waralaba Lanjutan, yaitu fotokopi KTP atau paspor pemilik usaha apabila perseorangan, dan fotokopi KTP atau paspor para pemegang saham, komisaris, dan direksi apabila berupa badan usaha. Legalitas usaha Waralaba, yaitu izin teknis seperti Surat Izin Usaha Perdagangan (SIUP), Izin Tetap Usaha Pariwisata, Surat Izin Pendirian Satuan Pendidikan, atau izin usaha yang berlaku di negara Pemberi Waralaba. Sejarah kegiatan usaha, yaitu uraian yang mencakup antara lain mengenai pendirian usaha, kegiatan usaha, dan pengembangan usaha. Struktur organisasi Pemberi Waralaba atau Pemberi Waralaba Lanjutan, yaitu struktur organisasi usaha Pemberi Waralaba atau Pemberi Waralaba Lanjutan mulai dari Komisaris dan Direksi sampai dengan ke tingkat operasionalnya. Laporan keuangan 2 tahun terakhir, yaitu laporan keuangan atau neraca keuangan Pemberi Waralaba atau Pemberi Waralaba Lanjutan untuk periode tahun pajak 2 tahun terakhir yang telah diaudit oleh akuntan publik. Bagi Pemberi Waralaba atau Pemberi Waralaba Lanjutan yang termasuk dalam skala usaha mikro dan kecil, laporan keuangan dimaksud tidak perlu diaudit. Jumlah tempat usaha, yaitu gerai/tempat usaha Waralaba sesuai dengan kabupaten/kota domisili untuk Pemberi Waralaba atau Pemberi Waralaba Lanjutan berasal dari dalam negeri dan sesuai dengan negara domisili gerai/tempat usaha untuk Pemberi Waralaba atau Pemberi Waralaba Lanjutan berasal dari luar negeri. Daftar Penerima Waralaba atau Penerima Waralaba Lanjutan, yaitu daftar nama dan alamat Penerima Waralaba atau Penerima Waralaba Lanjutan, baik yang berdomisili di Indonesia maupun di luar negeri. Hak dan kewajiban Pemberi Waralaba atau Pemberi Waralaba Lanjutan dan Penerima Waralaba atau Penerima Waralaba Lanjutan, yaitu hak dan kewajiban yang meliputi: a. Pemberi Waralaba atau Pemberi Waralaba Lanjutan Hak untuk menerima fee atau royalty dari Penerima Waralaba atau Penerima Waralaba Lanjutan; dan Kewajiban untuk memberikan pembinaan secara berkesinambungan kepada Penerima Waralaba dan Penerima Waralaba Lanjutan. b. Penerima Waralaba atau Penerima Waralaba Lanjutan Hak untuk menggunakan Hak Kekayaan Intelektual atau Ciri Khas Usaha yang dimiliki Pemberi Waralaba; dan Kewajiban untuk menjaga kode etik/kerahasiaan Hak Kekayaan Intelektual (HKI) atau Ciri Khas Usaha yang diberikan Pemberi Waralaba. HKI yang memuat informasi mengenai HKI sebagai Ciri Khas Usaha yang diberikan Pemberi Waralaba, termasuk status pendaftaran HKI. Yang dimaksud dengan Pemberi Waralaba Lanjutan (subfranchisor), adalah Penerima Waralaba yang memiliki hak untuk mengikat Perjanjian Waralaba Lanjutan (Subfranchise Agreement). Yang dimaksud dengan HKI bisa berarti merek, hak cipta, paten, design industri, dan sebagainya.
Read More (560 views)
STPW, Surat Tanda Pendaftaran…
STPW atau Surat Tanda Pendaftaran Waralaba adalah izin khusus yang wajib dimiliki pebisnis agar secara legal berhak menjalankan bisnis waralaba di wilayah Republik Indonesia. STPW ini terdiri dari STPW Pemberi Waralaba dan STPW Penerima Waralaba. STPW Pemberi Waralaba terkait izin untuk menawarkan kerja sama waralaba. STPW Penerima Waralaba terkait izin untuk menjalankan bisnis yang menggunakan pemberian waralaba oleh Franchisor yang sudah memiliki STPW Pemberi Waralaba. Untuk dapat menjadi Pemberi Waralaba, ada persyaratan yang telah ditetapkan pemerintah, yaitu: Memiliki ciri khas usaha; Terbukti sudah memberikan keuntungan; Memiliki standar atas pelayanan dan barang dan/atau jasa yang ditawarkan yang dibuat secara tertulis; Mudah diajarkan dan diaplikasikan; Adanya dukungan yang berkesinambungan; dan Hak Kekayaan Intelektual (HKI) yang telah terdaftar. Selain 6 syarat tersebut, di bagian Penjelasan dari PP Nomor 42 Tahun 2007 yang menjadi landasan pengaturan waralaba disebutkan pula bahwa sebagai bukti sudah memberikan keuntungan, Pemberi Waralaba sudah memiliki pengalaman menjalankan bisnis yang hendak diwaralabakan minimal sekitar 5 tahun. Perlu dipahami pula bahwa setelah memperoleh STPW, ada kewajiban menyampaikan Laporan Kegiatan Tahunan dan kewajiban lain seperti memasang simbol “W” dari Kemendag. Prosedur mendaftarkan waralaba dapat dipelajari dilihat dalam artikel berjudul "Prosedur Mendaftarkan Waralaba ke Kemendag".
Read More (616 views)
Franchise dan Kemitraan
Franchise atau Waralaba adalah bentuk kerja sama bisnis dengan ciri-ciri sebagai berikut: Pengunaan merek milik Pemberi Waralaba (franchisor) oleh Penerima Waralaba (franchisee). Pengendalian standar prosedur operasional oleh franchisor. Dukungan teknis (pelatihan & konsultasi) operasional oleh franchisor agar standar kualitas layanan dan produk dapat dicapai. Kegiatan pemasaran dan promosi oleh franchisor. Pembayaran biaya-biaya terkait waralaba oleh franchisee kepada franchisor. Untuk teknis perizinan, pemerintah Republik Indonesia dalam hal ini Kementerian Perdagangan, mengatur persyaratan untuk bisa mendaftarkan diri ke Kemendag, agar secara legal boleh menawarkan kerja sama waralaba. Persyaratan itu dapat dilihat dalam artikel berjudul "STPW, Surat Tanda Pendaftaran Waralaba". Kemitraan adalah kerja sama dan memiliki makna yang lebih luas daripada waralaba. Kemitraan bisa berarti waralaba, namun bisa juga berarti kerja sama patungan (join venture), kerja sama sewa imbal hasil, kerja sama inti plasma, kerja sama lisensi, distributorship, keagenan, dan sebagainya. KlikFranchise menyediakan informasi mengenai Waralaba dan Kemitraan. Sesuai aturan hukum yang berlaku, yang belum memiliki STPW akan masuk kelompok Kemitraan. Selengkapnya mengenai perbedaan franchise dengan kemitraan dapat anda baca di Franchise dan Kemitraan, Kenali Bedanya!
Read More (1172 views)
Peluang & Risiko
Masih banyak orang yang sering bertanya kepada saya, “Franchise mana yang bagus sekarang?” 1. Bagus itu Relatif Saya sering mengatakan bahwa “Franchise yang bagus belum tentu bagus untuk Anda, terutama untuk lokasi Anda.” Mengapa demikian? Suatu bisnis yang bagus di satu lokasi belum tentu bagus di lokasi lain. Dalam ilmu marketing kita mengenal segmentasi, target dan positioning. Masyarakat di sekitar lokasi Anda, orang yang lalu lalang di lokasi Anda, bisa jadi berbeda 180 derajat dengan STP (segmentasi, target dan positioning) franchise yang bagus itu. Relatif juga bisa terkait dengan “time frame”. Ada bisnis yang dulu bagus tapi sekarang tidak lagi. Ada banyak faktor, bisa karena disrupsi teknologi, bisa juga karena tim manajemen franchisor yang berubah menjadi kurang kompeten dalam menghadapi persaingan, atau memang para pesaing menjadi lebih pintar dari franchise yang dulu terlihat bagus itu. 2. Transparansi Risiko Bagi saya franchise yang bagus itu adalah franchise yang bersedia transparan terkait risiko-risiko bisnisnya. Risiko ini bisa terkait komitmen mengenai hal-hal yang harus dikerjakan pihak investor dan tidak mungkin ditangani oleh franchisor, contoh: mencari pegawai. Jadi jangan hanya mengobral peluang profit saja. Ada pepatah yang mengatakan, “Di mana ada masalah, di sana ada peluang.” Dalam dunia investasi dan bisnis kita mengenal, “Di mana ada peluang, di sana ada risiko.” Bagaimana dengan bisnis musiman yang diwaralabakan (baca: dikerjasamakan seperti franchise). Bila investor mendapat informasi yang cukup terkait risikonya, bahwa bisnis ini mungkin musiman, jadi harus mengejar balik modal dengan cepat, sebaiknya di lokasi yang seperti apa ... bagi saya sah-sah saja menawarkan kerjasama seperti itu. 3. Motif Persoalan besar muncul ketika motif yang menawarkan kerjasama memang hendak meraup keuntungan dengan menjual franchise, dan menutup-nutupi informasi terkait risiko bisnisnya. Lebih parah lagi kalau niatnya sejak awal memang hendak menipu. Jual semurah-murahnya supaya banyak yang sanggup invest ... dan ketipu. 4. Legal vs Moral Mereka yang punya motif menipu kadang sudah membentengi diri dengan pagar-pagar hukum yang menurut saya tidak elok secara moral. Akhirnya semua kembali ke hati nurani para pelaku bisnis. Kita menjadi pelaku bisnis bertanggung jawab secara moral (selain legal formal).
Read More (516 views)
Jenis Lokasi Usaha
Berikut ini beberapa jenis lokasi usaha yang perlu Anda pahami karakteristiknya. 1. Non-Tradisional Lokasi yang masuk kelompok non-tradisional antara lain lokasi-lokasi khusus dengan keramaian yang khas seperti bandar udara (bandara), stasiun kereta api, pelabuhan, kampus, dan tempat-tempat wisata seperti Ancol, Taman Safari, dan sebagainya. Karakteristik lokasi ini adalah captive market dari lokasi tersebut. Biasanya biaya sewa tempat-tempat ini relatif tinggi, tapi harga jual produk kita di sana bisa lebih tinggi pula daripada lokasi lainnya. Karena pasarnya captive dan yang melewati area tersebut pasti banyak, maka biasanya tidak dibutuhkan biaya tinggi untuk beriklan di media massa. Kalaupun omset tidak cukup untuk menutupi biaya operasional, kadang “rugi tipis” di lokasi-lokasi “high traffic” ini dianggap sebagai biaya beriklan. Di tempat-tempat seperti ini akan diperoleh paparan untuk meningkatkan awareness terhadap produk dan merek yang dijual. Tentu saja perlu diperhatikan apakah profil orang yang lalu lalang cocok dengan profil target market Anda. 2. Pusat Kota Yang dimaksud dengan lokasi Pusat Kota adalah lokasi di pusat keramaian kota. Biasanya ada banyak ruko yang berderet di sepanjang jalan tersebut, dan ini bisa berarti kompleks ruko pula. Contohnya adalah deretan ruko (di Jakarta) di sepanjang jalan Gajah Mada, Hayam Wuruk, Sawah Besar, Mangga Besar, atau Kompleks Ruko ITC Roxy, Kompleks Ruko Puri Niaga, dan sebagainya. Lokasi Pusat Kota juga menjanjikan high visibility (tingkat keterlihatan yang sangat tinggi) dari orang-orang dan kendaraan yang melintas (bila ruko Anda menghadap jalan raya). Lokasi yang menghadap ke jalan raya ini tentu lebih mahal harga sewa atau harga beli propertinya. Kendala dari lokasi ini adalah area parkir yang terbatas. Pelanggan tak jarang mengalami kesulitan mencari tempat parkir untuk kendaraannya. Untuk lokasi di dalam Kompleks Ruko, bila lokasi Anda tidak menghadap ke jalan raya maka yang akan menjadi tantangan adalah visibility (keterlihatan) ruko gerai Anda. Anda harus mencantumkan peta atau denah lokasi bila Anda hendak mendistribusikan brosur promosi. 3. Strip Centre Sedikit berbeda dengan kompleks ruko yang dimaksud di atas, strip centre adalah deretan ruko yang berada dalam suatu kompleks (bukan di dalam mal) yang memiliki anchor tenant seperti Carrefour (contoh di sekitar ITC BSD dan Grand ITC Permata Hijau) di gedung utamanya. Gedung utama ini bisa berupa mal atau plaza, atau sekedar gedung anchor tenant tersebut. Memiliki bisnis di lokasi Strip Centre ini kadang tidak dapat bergantung sepenuhnya pada anchor tenant, terutama bila titik lokasinya tidak terlalu dekat dengan pintu masuk dan keluar dari anchor tenant. Jadi bila merasa membutuhkan traffic dari anchor tenant, maka carilah lokasi yang dekat atau dilalui oleh orang-orang yang menuju lokasi anchor tenant tersebut. 4. Mall & Trade Centre Yang dimaksud dengan mall adalah bangunan yang tidak dijual kepada penghuni atau tenant. Para tenant pada umumnya menyewa kepada pemilik atau manajemen gedung. Sebaliknya, trade centre biasanya dijual kepada penghuninya. Itu sebabnya, perawatan mall biasanya lebih berkelas dibandingkan dengan trade centre. Bangunan yang lebih kecil dari mal, tapi statusnya juga sewa, biasanya disebut plaza. Meski demikian adapula bangunan sekelas mal yang disebut plaza. Keuntungan dari berada di mall tentu saja parkir yang luas. Ketika cuaca hujan maka mal dengan fasilitas parkir di basement biasanya menjadi pilihan yang disukai karena akses dari parkir menuju mal yang nyaman di kala hujan. Berada di dalam mall biasanya memiliki konsekuensi tidak boleh tutup di hari Minggu maupun hari libur nasional. Renovasi di mal biasanya dilakukan di malam hari, sehingga biayanya lebih tinggi karena ongkos pekerjanya lebih mahal. Terkait biaya opeasional, ada mal yang relatif murah biaya service charge-nya, tapi kemudian mahal di biaya gas (LPG/LNG), atau di biaya listrik dan airnya. Jadi ketika survey harus mengumpulkan data selengkap-lengkapnnya. 5. Stand-Alone Suatu gerai disebut stand-alone bila berdiri sendiri, tidak berada di kompleks ruko atau deretan ruko yang memberi kesempatan “pelanggan tetangga” untuk tahu dan mampir ke tempat Anda, serta tidak berada di lokasi “tempat umum” yang memberikan captive market seperti bandara, stasiun dan kampus. Tentu saja gerai stand-alone ini memiliki tantangan besar, yaitu harus bisa mendatangkan pelanggan tanpa bergantung pada pihak-pihak lain. Contoh stand alone yang cukup sering kita jumpai adalah gerai McD, KFC, Pizza Hut, Dunkin Donuts, Boncafe, Bon Ami, dan ayam goreng Richeese Factory. Related ArticlesSeleksi Lokasi RestoChecklist Pertimbangan Lokasi
Read More (628 views)
Seleksi Lokasi Resto
Ada 5 (lima) faktor penting untuk dipertimbangkan dalam memilih lokasi untuk bisnis restoran. Namun sebelum itu, kita perlu memastikan lebih dulu konsep restoran seperti apa yang hendak kita jalankan. Dari konsep ini kita harus memahami profil market atau pelanggan yang kita sasar. 1. Kecukupan Pasar Salah satu hal yang selalu menjadi isu penting sebenarnya adalah kecukupan pasar, terkait dengan konsep restoran kita. Menjual makanan dengan harga tinggi, tapi masuk ke dalam mall kelas menengah, itu seperti melakukan tendangan gol bunuh diri. Menjual jenis makanan Eropa seperti pasta sebaiknya jangan di dalam wilayah masyarakat yang mayoritasnya lebih menyukai masakan tradisional Indonesia. 2. Kecukupan Parkir Sudah menjadi rahasia umum bahwa lokasi di dalam mall memiliki keuntungan berupa kecukupan parkir yang berlimpah, meski ada mall yang super-crowded pada hari-hari akhir minggu. Tentu saja kemewahan kecukupan parkir ini memiliki konsekuensi biaya sewa yang tinggi. Karena mall cenderung memiliki jumlah pengunjung atau traffic tinggi, maka biaya sewa yang tinggi ini terobati dengan tingginya angka penjualan. Kecukupan parkir ini tentu bisa juga dimiliki tanpa harus berada di mall. Beberapa restoran yang terlihat menyediakan lahan parkir yang luas tanpa harus berada di dalam mall antara lain RM Sederhana dan Boncafe. Sementara itu, di sekitar Jalan Senopati Jakarta Selatan, kekurangan lahan parkir disiasati dengan jasa valet gratis (bayar sukarela). Meski demikian tentu tidak semua orang merasa nyaman melepas kunci mobil kepada petugas valet. Catatan: belum ada data yang pasti mengenai dampak taksi online terhadap aspek kecukupan parkir ini. Hingga sekarang para pengusaha restoran masih mengakui bahwa kecukupan parkir merupakan aspek penting yang menjadi pertimbangan mereka. 3. Akses ke Lokasi Pengertian akses ke lokasi ini tentu saja kemudahan mencapai lokasi tersebut. Hal ini bisa berarti dilalui trayek kendaraan umum, letak putar balik (u-turn), kedekatan dengan lokasi tujuan wisata (misal: Ancol), juga kedekatan dengan sekolah bila profil pelanggannya adalah orang tua yang menjemput anak-anak mereka. 4. Keterlihatan Keterlihatan atau visibility berarti titik lokasinya. Misal bila di dalam kompleks ruko dan berada di bagian dalam kompleks, apabila traffic tidak tinggi di sebelah dalam ini, maka keterlihatannya akan menjadi sangat rendah dan peluang mendapat pelanggan banyak juga lebih rendah dibandingkan dengan ruko di dalam kompleks tersebut yang posisinya menghadap ke jalan raya. Fakta yang sering kita jumpai, keberadaan pohon besar dan rimbun di depan ruko kadang juga bisa mengganggu keterlihatan bisnis kita, dan mengganggu peluang mendatangkan banyak pelanggan. 5. Keamanan & Kenyamanan Satu hal lagi yang perlu diperhatikan dan diteliti adalah faktor keamanan dan kenyamanan. Lokasi yang banyak preman, gangguan parkir, dan rawan kejahatan tentu harus dihindari. Related ArticlesJenis Lokasi UsahaChecklist Pertimbangan Lokasi
Read More (558 views)
Checklist Pertimbangan Lokasi
Berikut ini 12 checklist dalam mempertimbangkan suatu lokasi: 1. Biaya Sewa dan Biaya Terkait (Iuran Lingkungan, dsb) – Pastikan sesuai anggaran. 2. Luas Lantai – Ketersediaan luas lantai yang dibutuhkan harus dipertimbangkan pula, karena mengurangi luas lantai akan mengurangi potensi omset penjualan Anda. 3. Daerah Tujuan – biasanya membuka usaha kuliner di lokasi yang sudah jadi pusat jajan merupakan pilihan yang lebih baik daripada berdiri sendiri; namun untuk bisnis laundry kiloan mungkin lebih baik menghindari lokasi yang sudah penuh sesak dan terjadi perang harga sehingga margin menjadi tidak sehat lagi. 4. Tempat Parkir – Bila target market Anda pengguna mobil, maka kecukupan tempat parkir perlu mendapat perhatian khusus, meski kekurangan lahan parkir ini dapat disiasati dengan layanan valet gratis seperti yang kita jumpai di Jalan Senopati Jakarta yang sudah jadi pusat kulineran. 5. Mudah Terlihat (High Visibility) – Apakah mudah terlihat saat berjalan kaki melintas, atau dari dalam mobil dan dari atas motor yang sedang melaju. 6. Kemudahan Akses – Apakah mudah dicapai dari segala arah; kadang ada lokasi yang kurang mudah dicapai hanya karena u-turn (putaran balik) terlalu jauh dan hal ini mempengaruhi potensi pencapaian omset. 7. Traffic Generator – Lokasi yang sudah punya “penarik traffic” seperti Bank BCA, McD, Indomaret, Alfamart bisa juga menjadi pertimbangan. Meski demikian traffic mereka harus sesuai dengan profil target market Anda. 8. Jumlah Traffic – Beberapa pelaku bisnis melakukan observasi satu minggu penuh untuk menghitung jumlah orang yang lewat dan yang masuk toko sekitar setiap harinya, sambil mencatat peak hours (jam-jam ramai). 9. Jumlah Pelanggan Potensial – Memahami profil pelanggan merupakan langkah awal yang harus ditindaklanjuti dengan memahami posisi pelanggan berada, apakah lokasi yang Anda survei berpotensi mendatangkan pelanggan dalam jumlah yang cukup. Bila target pelanggan Anda kelas menengah, hindari mall yang profil pengunjungnya kelas atas (kecuali Anda pernah membuktikan bahwa bisnis Anda tidak terpengaruh oleh klasifikasi mall seperti itu). 10. Kemudahan Mencari Pegawai – Konon ada beberapa lokasi yang sulit mencari pegawai, karena perkampungan di sekitarnya sudah habis digusur. Memang hal ini bisa disiasati dengan pegawai dari daerah dan “tinggal di dalam” (bila memungkinkan). 11. Keamanan – Nah yang satu ini perlu jadi pertimbangan juga. Ketidaknyamanan akibat banyak preman yang mengganggu pelanggan akan mengganggu omset Anda pula. 12. Zoning – Di beberapa lokasi Anda perlu memahami zoning. Kalaupun aparat tidak ketat terkait peruntukan bangunan, beberapa bisnis yang butuh menurunkan barang dari truk container harus memeriksa apakah lokasinya dapat dilewati truk container. Franchising itu “cloning sistem bisnis secara keseluruhan” dan “cloning lokasi dengan karakteristik yang sudah terbukti sukses”. Jadi, jam terbang dan pengalaman Anda turut menentukan dalam mengambil keputusan terkait lokasi ini. Kecuali franchisee nya paham dan siap dengan risiko kegagalan yang lebih tinggi, saya biasanya menyarankan klien saya untuk membuka sendiri lebih dahulu, kalau karakteristik lokasinya berbeda dengan pengalaman sukses mereka. Setelah terbukti karakteristik lokasi seperti itu juga bisa berhasil, karakteristik lokasi tersebut dapat ditawarkan kepada franchisee. Related ArticlesSeleksi Lokasi RestoJenis Lokasi Usaha
Read More (779 views)