75% Franchisor Hilang Setelah 10 Tahun
Beberapa fakta yang mengejutkan pernah mengguncang dunia waralaba di tahun 2010-an, yaitu:
- Dalam waktu 10 tahun terdapat 75% franchisor yang menghilang dari waralaba.
- Dua merek waralaba cukup terkenal mencatat tingkat gagal bayar SBA Loan (semacam Kredit Usaha Kecil) lebih dari 35%.
- Beberapa merek waralaba yang kurang terkenal (di Amerika) bahkan mencatat tingkat gagal bayar SBA Loan sekitar 60% hingga 80%.
75% menghilang?, sebenarnya ada apa dengan waralaba dibalik fakta ini?. Mari kita simak penjelasan berikut ini.
Scott Shane, seorang dosen dan peneliti di Amerika, pernah mengingatkan, “Riset akademis menunjukkan bahwa sejumlah tiga per empat dari franchisor yang baru (new franchisors) berhenti menawarkan waralaba setelah sepuluh tahun diwaralabakan.”
Meski demikian, euforia waralaba dan entrepreneurship telah menutup rapat informasi penting ini. Informasi ini mulai terkuak lebar karena terjadi kehebohan berupa tingginya tingkat gagal bayar SBA Loan berbasis waralaba.
Informasi yang dipublikasikan mengenai SBA Loan menunjukkan bahwa gagal bayar Subway hanya 4% sementara Blimpie mencapai 37%. Angka ini segera dipertanyakan oleh para pengamat, apakah ini murni faktor merek atau ada faktor lain.
Meski persentase itu dibandingkan dengan jumlah gerai dari merek yang bersangkutan yang mengambil kredit SBA Loan (bukan terhadap gabungan seluruh merek waralaba yang mengambil kredit SBA Loan, artinya bukan terhadap jumlah seluruh gerai merek tersebut), persentase yang tinggi menunjukkan anggapan bahwa waralaba memiliki tingkat risiko kegagalan yang lebih rendah daripada non-waralaba patut dipertanyakan.
Ini fakta yang mengerikan, meski datanya terbatas pada SBA Loan di Amerika Serikat. Tingkat gagal bayar kredit waralaba di tahun 2004-2006 ternyata 10% lebih tinggi daripada bisnis independen (non-waralaba).
Bagaimana dengan Indonesia?, untuk Indonesia dulu sampai sekarang, masih belum ada publikasi serta data resminya.
Kelompok Berisiko Tinggi
Beberapa pengamat menduga tingginya gagal bayar SBA Loan di bisnis waralaba dikarenakan pihak-pihak yang mengajukan kredit ke SBA Loan adalah pihak yang berisiko tinggi dan tidak berhasil mendapat pinjaman konvensional dari bank umum. Bila benar mereka yang gagal bayar ini merupakan kelompok berisiko tinggi, maka hal ini mencerminkan bahwa ada yang kurang pas pada proses seleksi calon franchisee oleh para franchisor. Apalagi ketika dibandingkan dengan yang non-waralaba ternyata tingkat kegagalannya lebih tinggi yang waralaba.
Di Indonesia, belum ada publikasi resmi mengenai tingkat gagal bayar kredit waralaba. Tahun 2011 pemerintah meluncurkan program pembiayaan untuk waralaba dengan bunga rendah melalui LPDB (Lembaga Pengelolaan Dana Bergulir) di bawah Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil Menengah. Mudah-mudahan program yang ditujukan untuk mengurangi jumlah pengangguran ini tepat sasaran, tidak mengalir ke merek franchise yang tidak kompeten, dan seleksi calon penerima dananya dilakukan dengan ketat sehingga tidak jatuh pada kelompok berisiko tinggi.
Secara kasat mata kita melihat cukup banyak bisnis gerobakan yang ditawarkan sebagai BO akhirnya tidak beroperasi, bahkan yang mereknya terkenal sekalipun. Kita juga menyaksikan pula beberapa bisnis non-gerobak dengan merek waralaba akhirnya tutup, entah karena salah lokasi atau salah kelola.
Franchisee Salah Kelola
Satu hal yang bisa menjadi faktor penyebab kegagalan franchisee adalah salah kelola. Akhir-akhir ini saya menjumpai cukup banyak franchisor yang kerepotan menghadapi franchisee yang kurang disiplin dalam mengelola keuangan bisnisnya.
Ada franchisee bisnis retail mengambil kredit mobil dengan cicilan Rp5 jutaan ketika bisnisnya mulai membukukan arus kas bersih bulanan sekitar Rp5 jutaan. Akibatnya, ketika arus kas bersihnya tidak berhasil menembus angka Rp5 juta, kelengkapan stok barangnya terganggu sehingga omset dan arus kas bersihnya terus mengalami penurunan.
Adalagi beberapa franchisee retail yang lupa diri melihat besarnya uang tunai penjualan retailnya. Ia menggunakan sebagian besar hasil penjualan itu untuk keperluan pribadi, padahal seharusnya ia menyisihkan uang modal untuk membeli barang kembali alias melengkapi stock barangnya.
Mengingat besarnya risiko salah kelola ini, sangat disarankan kepada para franchisor, yang franchiseenya memperoleh kucuran bantuan permodalan LPDB, untuk mengawasi dengan ketat keuangan franchisee selama 3 tahun pertama agar pengembalian pinjaman ini lebih terjamin.
Kompetensi Manajemen Franchisor
Beberapa pihak yang lain berargumentasi bahwa tingginya tingkat gagal bayar di Amerika tersebut dikarenakan Resesi Ekonomi yang melanda Amerika Serikat. Meski demikian, ternyata SBA Loan memiliki 2 versi laporan terkait pengembalian kredit yang diberikan: “Top 100 Merek Waralaba Terbaik” dan “Top 100 Merek Waralaba Terburuk”. Artinya, gagal bayar ini bukan sekedar faktor resesi ekonomi, melainkan kompetensi manajemen franchisor dan franchisee yang bersangkutan.
Masa-masa sulit hampir pasti pernah dialami oleh bisnis mana pun juga. McD misalnya pernah mengalami masalah serius dan kritis sekitar tahun 2002. Larry Light, konsultan dan mantan Chief Marketing Officer McDonald’s, menyingkap fakta bahwa ketika ia bergabung dengan McDonald’s di bulan September 2002, harga saham perusahaan ini anjlok dari nilai tertinggi USD 45.31 di bulan Maret 1999 menjadi USD 17.66. Harga saham ini terus merosot hingga sekitar USD 13 pada bulan Maret 2003.
McD berhasil melewati masa-masa kritis tersebut. Harga saham McDonald’s melejit dari sekitar USD 13 di tahun 2003 menjadi sekitar USD 32 di akhir tahun 2005. Selama periode Januari-Mei 2011 saham McD bergerak di atas USD 70. Bahkan sejak pertengahan Mei hingga awal Juni nilainya bertengger di atas USD 80.
Owner Operator
Secara umum, menurut Scott Shane, franchisor baru yang mewajibkan owner operator dengan keterlibatan 100% memiliki tingkat kegagalan yang jauh lebih rendah dibandingkan dengan investor pasif.
Tingkat keberhasilan owner operator ini memang membutuhkan seleksi franchisee yang ketat, karena bila yang lolos seleksi ternyata tidak becus mengelola maka yang terjadi adalah sebaliknya: malapetaka bagi gerai franchisee tersebut (dan bagi seluruh jaringan waralaba bila kesalahannya menyangkut kepuasan pelanggan dan mengganggu citra merek waralaba tersebut).
Bayangkan suatu rumah makan “Bakso XYZ”. Seorang pelanggan baru pertama kali masuk ke sana. Ia mengeluh kepada manager yang ternyata franchisee yang owner operator, “Kuahnya mengandung terlalu banyak lada.” Owner operator menjawab dengan santai, ”Memang standarnya begitu.” Pelanggan tersebut langsung memiliki persepsi bahwa “Bakso XYZ” bukan bakso yang sesuai dengan selera dia. Kemungkinan besar ia tidak akan mau masuk ke gerai “Bakso XYZ” di lokasi lainnya.
Ujian 5 dan 10 Tahun
Tampaknya usia 5 dan 10 tahun akan menjadi batu ujian bagi para franchisor. Beberapa sumber menyatakan, dalam waktu 10 tahun terdapat 75% franchisor yang gagal, dan separuh dari mereka sebenarnya sudah gagal dalam waktu kurang dari 5 tahun.
Bagaimana dengan di Indonesia?
Pada tahun 2011 saya pernah mempelajari Direktori Waralaba SWA tahun 2005. Dari “42 Merek Waralaba Lokal yang tercatat dalam 1 tahun terakhir”, saya menengarai sekitar 22 merek tidak terlihat lagi di tahun 2011 tersebut. Selain itu terdapat sekitar 6 merek yang masih ada, tapi tidak lagi menawarkan waralabanya.
Di bidang makanan dan restoran, beberapa merek tidak terlihat lagi karena gagal menjaga standar kualitas dan persepsi rasa untuk mereknya. Yang lainnya ada yang menghilang karena tidak mampu mengembangkan model bisnisnya untuk berkembang lebih jauh, adapula yang tidak berhasil tinggal landas waralabanya (kurang peminat).
Di tahun 2022 majalah Infobrand Indonesia me-release daftar merek waralaba dan kemitraan yang sudah dikonfirmasi masih menawarkan kerja sama waralaba/kemitraan. Jumlahnya hanya sekitar 500 merek. Padahal di tahun 2011 majalah Franchise Indonesia pernah menerbitkan data sekitar 2000 merek untuk direktori waralaba/kemitraan mereka.
Semoga informasi tersebut di atas membuka wawasan kita semua. Waralaba (dan BO alias “Business Opportunity” yang mirip waralaba) bukan resep atau jalan pintas sukses yang mudah. Tidak ada jaminan keberhasilan. Jadi, telitilah sebelum membeli atau menginvestasikan dana anda ke dalam bisnis waralaba.