Menjual Pengalaman & Peluang Laba Usaha
Ada dua lelucon yang menginspirasi tulisan ini:
Penglamaan
Yup, bukan typo. “Penglamaan” itu berbeda dengan pengalaman.
Menduduki suatu jabatan dalam waktu belasan tahun, tapi setiap hari hanya menjalani rutinitas tanpa ada permasalahan yang berarti, merupakan suatu “penglamaan”.
Menduduki suatu jabatan dalam waktu kurang dari 3 tahun, tapi melewati beragam permasalahan dan menjadi bagian yang menyelesaikan permasalahan, itu adalah “pengalaman”.
Ketukan seharga $1,000
Kisah berikut ini belum saya temukan sumber asli kejadiannya, tapi menarik untuk direnungkan.
Suatu kapal yang sangat besar mendadak mogok di tengah lautan. Beruntung tidak ada ombak besar dan cuaca masih bersahabat. Perusahaan pemilik kapal menghubungi jasa perawatan mesin yang kemudian mengirim teknisi ke posisi kapal tersebut.
Teknisi memeriksa dengan teliti, kemudian mengetukkan palu di beberapa titik tertentu. Tak lama kemudian mesin kapal tersebut berfungsi kembali dengan baik.
Tagihan dilayangkan ke Perusahaan pemilik kapal ini: $1,000, tidak termasuk transportasi menuju lokasi kapal. Bagian Keuangan Perusahaan bertanya kepada pimpinan dan awak kapal, apa yang dilakukan oleh teknisi tersebut. “Hanya mengetukkan palu di beberapa titik, mungkin sekitar lima titik”.
Bagian Keuangan menghubungi Perusahaan Jasa yang mengirimkan teknisi, dan menanyakan rincian biaya $1,000 tersebut terdiri dari apa saja, dengan rencana hendak melakukan negosiasi, “Mengapa hanya beberapa ketukan saja biayanya $1,000?”
Perusahaan Jasa menjawab,”Biaya mengetuk di titik permasalahan $20. Biaya mencari dan menemukan titik permasalahan $980”.
Franchise & Pengalaman
Franchisor atau Pemberi Waralaba itu menjual pengalaman (dan pengetahuan) yang sudah terakumulasi sekian tahun sehingga franchisee (penerima waralaba) tidak perlu melewati kesalahan yang sama, dan dapat menyelesaikan permasalahan yang dihadapi dengan cepat dan efektif.
Tentu pengalaman setiap franchisor berbeda-beda, itu sebabnya ada franchisor yang biaya-biaya waralabanya terlihat rendah, ada pula yang terlihat tinggi. Ujung-ujungnya kita harus melihat bigger picture, yaitu peluang laba usahanya bagaimana, dengan memperhatikan asumsi-asumsi bisnisnya. Pastikan asumsi-asumsi bisnisnya sesuai dengan pengalaman franchisor, bukan temuan simulasi di atas kertas belaka.
Ada franchisor yang bertahan cukup lama, sudah buka ratusan outlet tapi ternyata yang tutup mencapai 30% hingga lebih dari 50%. Kalau jualan mereka memamerkan jumlah outlet yang sudah dibuka, tapi mereka enggan membahas jumlah outlet yang masih atau sedang beroperasi. Ini ironis. Jangan-jangan franchisor seperti ini tidak memiliki pengalaman tapi “penglamaan”.
Akhir-akhir ini, muncul pihak-pihak yang memiliki banyak merek, belasan bahkan puluhan merek. Tapi merek-merek ini banyak yang terbengkalai. Mereka tidak serius membangun merek dan bisnis yang ditawarkan kepada pemilik modal, melainkan hanya menjual “paket usaha” dan cenderung hit & run. Beberapa orang bahkan memberi label pada fenomena ini sebagai “franchise scam”.
Kesimpulannya:
- Bedakan pengalaman dengan “penglamaan”.
- Membeli franchise itu membeli pengalaman dan peluang laba usaha.
- Bedakan peluang usaha dengan “paket usaha”.
- Bedakan antara jumlah outlet yang pernah dibuka dengan jumlah outlet yang beroperasi.
- Hati-hati dengan fenomena “franchise scam”.
- Asumsi-asumsi bisnis harus sesuai pengalaman atau kinerja historis existing outlets.
- Biaya-biaya waralaba antara beberapa merek itu “tidak apple-to-apple”.