Peraturan Baru Waralaba 2024
Awal bulan September 2024, perubahan peraturan waralaba yang telah lama ditunggu akhirnya muncul juga: Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 35 Tahun 2024 tentang Waralaba. (Dokumen ini bisa diunduh di https://klikfranchise.com/unduh-regulasi.)
Berbagai media menurunkan judul dan sudut pandang pemberitaan yang mereka anggap penting. Kumparan menggunakan “wajib kerja sama dengan UMKM” sebagai judul beritanya. Okezone menganggap “harus sudah untung”. Beberapa media menuliskan pula kewajiban menyampaikan laporan keuangan dan laporan kegiatan tahunan.
Hal-hal tersebut di atas sebenarnya bukan hal yang baru, alias sudah ada dalam peraturan yang lama, PP Nomor 42 Tahun 2007: wajib sudah untung, wajib kerja sama dengan UMKM, laporan kegiatan tahunan.
Jadi sebenarnya apa saja hal baru dari PP tentang waralaba ini?
Selain perubahan batas waktu pengalaman menjalankan bisnis agar bisa diwaralabakan yang semula 5 tahun menjadi 3 tahun, berikut ini beberapa perubahan dan ulasannya.
Sistem Bisnis
Tampaknya tim penyusun PP ini merasa perlu membedakan waralaba dengan lisensi. Biasanya waralaba dikenal sebagai lisensi + sistem bisnis, dan ini yang diadopsi ke dalam PP waralaba terbaru tersebut.
Istilah “sistem bisnis” dimasukkan ke dalam daftar isi yang wajib ada di dalam prospektus penawaran waralaba dan Perjanjian waralaba. Tentu saja dalam praktek waralaba, dengan atau tanpa PP baru, sistem bisnis sudah menjadi bagian yang dimasukkan ke dalam Perjanjian Waralaba.
Hanya saja di dalam pasal 4 ayat (3) PP tersebut dicantumkan aspek sistem bisnis ini paling sedikit harus mencakup hal-hal berikut:
a. pengelolaan sumber daya manusia;
b. pengadministrasian;
c. pengelolaan operasional;
d. metode standar pengoperasian;
e. pemilihan lokasi usaha;
f. desain tempat usaha;
g. persyaratan karyawan; dan
h. strategi pemasaran.
Rincian mengenai sistem bisnis ini mencakup hal-hal yang perlu didelegasikan kepada Penerima Waralaba Utama selaku Pemberi Waralaba Lanjutan, namun tidak disampaikan seutuhnya kepada Penerima Waralaba Lanjutan dan Penerima Waralaba di level outlet. Pemilihan lokasi usaha misalnya, bila dimaknai kriteria dalam melakukan seleksi lokasi, maka kriteria ini biasanya merupakan kerahasiaan Pemberi Waralaba. Jadi, dalam relasi Pemberi dan Penerima Waralaba item ini (idealnya) lebih diekankan pada mekanisme atau prosedur persetujuan lokasi oleh Pemberi Waralaba.
Kriteria Waralaba
PP terbaru ini juga menyederhanakan kriteria waralaba yang semula ada 6 dalam PP yang digantikan menjadi hanya 4 saja, yaitu:
a. memiliki sistem bisnis;
b. bisnis sudah memberikan keuntungan;
c. memiliki kekayaan intelektual yang tercatat atau terdaftar; dan
d. dukungan yang berkesinambungan dari Pemberi Waralaba dan/atau Pemberi Waralaba Lanjutan kepada Penerima Waralaba dan/atau Penerima Waralaba Lanjutan.
Unsur dalam PP tahun 2007 yang hilang dari kriteria dalam PP tahun 2024 ini adalah
a. “ciri khas usaha” yang sering disebut sebagai keunikan;
b. “memiliki standar atas pelayanan dan barang dan/atau jasa yang ditawarkan yang dibuat secara tertulis” yang dimaknai sebagai SOP; dan
c. “mudah diajarkan dan diaplikasikan”.
Dua item terakhir dari 3 unsur tersebut dicantumkan sebagai penjelasan mengenai sistem bisnis di dalam pasal 4 ayat (4): “tertulis”, serta “mudah diajarkan dan diaplikasikan”.
Selanjutnya dalam pasal 4 ayat (4) ini disebutkan bahwa sistem bisnis harus “memiliki kerangka kerja yang jelas dan sama antara Pemberi Waralaba atau Pemberi Waralaba Lanjutan kepada Penerima Waralaba atau Penerima Waralaba Lanjutan.” Redaksional ini memunculkan pertanyaan apakah pemerintah melarang sistem bisnis yang “berbeda” dalam jaringan gerainya ketika mengadopsi waralaba sebagai strategi pengembangan bisnisnya. Bagaimana dengan konsep kafe dine-in yang bisa “grab & go”? Apakah konsep “grab & go” harus didaftarkan dengan STPW (Surat Tanda Pendaftaran Waralaba) yang terpisah?
Kekayaan Intelektual
Dalam PP yang baru ini, kekayaan intelektual wajib berbentuk sertifikat pendaftaran atau pencatatan. Persyaratan berupa sertifikat ini dijelaskan pada pasal yang mengatur daftar isi atau muatan dari Prospektus Penawaran Waralaba, yaitu pada pasal 5 ayat (2) butir.
Dalam PP 2007, persyaratan sertifikat ini tidak ada. Merek yang dalam proses dapat didaftarkan STPW-nya. Hal ini berkaitan dengan kemajuan yang dicapai Dirjen HKI terkait jangka waktu proses pendaftaran merek. Pada saat penyusunan PP 2007 proses pendaftaran merek mencapai 2 tahun lebih, bahkan beberapa merek terkendala (karena alasan tertentu) hingga 5 tahun lebih. Konon, sekarang dengan digitalisasi proses pendaftaran merek bahkan ada yang bisa selesai sekitar 12 bulan.
Sertifikat pencatatan merujuk pada kekayaan intelektual berupa “hak cipta”, sedangkan sertifikat terdaftar untuk kekayaan intelektual berupa “merek”.
STPW adalah Perizinan Berusaha
Salah satu hal yang menarik dari PP 2024 ini adalah isi pasal 1 ayat (8) berikut ini: “Surat Tanda Pendaftaran Waralaba yang selanjutnya disingkat STPW adalah Perizinan Berusaha untuk menunjang kegiatan usaha yang merupakan tanda bukti orang perseorangan atau badan usaha telah terdaftar sebagai penyelenggara Waralaba.”
Isi pasal yang dimaknai sebagai “definisi” atau kedudukan STPW ini mungkin untuk “memaksa” para pelaku usaha waralaba untuk mengajukan permohonan STPW, karena tampaknya definisi yang lama tidak cukup kuat untuk memaksa.
Dalam PP 2007 pasal 10 ayat (1) hanya tertulis: “Pemberi Waralaba wajib mendaftarkan prospektus penawaran Waralaba sebelum membuat perjanjian Waralaba dengan Penerima Waralaba.” Jadi saat itu STPW hanya menjadi syarat untuk mengikat kerja sama dan membuat Perjanjian Waralaba. Pebisnis yang tidak memiliki STPW dilarang membuat Perjanjian Waralaba.
Apa dampak penetapan STPW sebagai “Perizinan Berusaha”?
Pasal 1 ayat (10) PP ini mencantumkan “Perizinan Berusaha adalah legalitas yang diberikan kepada pelaku usaha untuk memulai dan menjalankan usaha dan/atau kegiatannya.”
Apakah ini berarti para pebisnis dilarang memulai usahanya sebelum memiliki STPW? Tampaknya demikian, bagi Penerima Waralaba. Setidaknya demikian menurut isi pasal 14 ayat (1) dari PP baru ini: “STPW wajib dimiliki oleh Penerima Waralaba atau Penerima Waralaba Lanjutan sebelum memulai usahanya.”
Mudah-mudahan tambahan perizinan berupa STPW “sebelum memulai usaha” dalam praktek waralaba ini tidak menjadi preseden makin sulitnya perizinan bisnis di negara kita. Para pelaku usaha yang menggunakan merek pihak lain berdasarkan Lisensi atau perjanjian lainnya harus menyiapkan dokumen pendukung yang menegaskan bahwa hubungan bisnisnya bukan waralaba dengan pemilik merek tersebut.
Perubahan Prospektus
Hal menarik yang lainnya adalah pasal 18 yang mencantumkan kewajiban melakukan “perubahan STPW” apabila ada perubahan prospektus. Belum jelas apakah ini bermakna perubahan atau pengkinian prospektus atau akan mengakibatkan perubahan nomor STPW.
Perubahan yang dimaksud dalam pasal 18 ini cukup luas karena perubahan susunan pengurus termasuk di dalamnya. Perubahan yang tidak termasuk adalah perubahan yang sudah tercakup dalam Laporan Kegiatan Tahunan.
Bila mengacu pada Franchise Disclosure Document (FDD) di Amerika Serikat, setiap tahun Pemberi Waralaba memang harus dilakukan pengkinian data, sehingga FDD setiap merek ini memiliki versi tahunan. Kebijakan di negara Amerika memang bukan STPW sebagai perizinan berusaha, melainkan menekankan pada pendaftaran FDD alias transparansi prospektus penawaran waralabanya. Jadi kemungkinan fokusnya bukan pada nomor STPW tapi nomor tanda terima FDD nya.
Laporan Keuangan
Aspek Laporan Keuangan, yang belum terlihat ada hal baru. Sudah cukup lama para praktisi menganggap ada ketidakjelasan terkait Laporan Keuangan ini, yaitu apakah Laporan Keuangan ini merupakan:
a. Laporan Keuangan level korporasi, atau
b. Laporan Keuangan level korporai tapi hanya Unit bisnis yang diwaralabakan, bila Pemberi Waralaba memiliki banyak lini dan/atau merek bisnis, atau
c. Kinerja historis laba/rugi dari model outlet yang hendak diwaralabakan
Idealnya, ketiga hal itu diberlakukan. Laporan Keuangan level korporasi berupa Laporan Neraca dan Laporan Laba/Rugi dibutuhkan untuk mengetahui kesehatan keuangan korporasi Pemberi Waralaba. Jangan sampai pewaralabaan ini hanya untuk melunasi utang bisnisnya yang sesungguhnya tidak sehat.
Laporan Keuangan level unit/lini bisnis, mungkin cukup dengan Laporan Laba/Rugi dengan mengabaikan depresiasi dan tidak perlu Laporan Neraca agar memudahkan bagi Pemberi Waralaba. Laporan Laba/Rugi level unit/lini bisnis yang mengabaikan depresiasi ini diperlukan untuk mengetahui sehat tidaknya unit/lini bisnis yang diwaralabakan. Ini bisa menjadi counter bila ternyata lini bisnis ini tidak sehat meski ternyata keuangan level korporasinya terlihat sehat.
Selanjutnya laporan berupa “kinerja historis laba/rugi dari model outlet yang hendak diwaralabakan” tentu dibutuhkan untuk menangkal proyeksi keuangan yang menyesatkan. Bila laporan kinerja historis ini ternyata ada unsur penipuan maka Pemberi Waralaba layak mendapat teguran dan sanksi yang setimpal.
Teguran dan Sanksi
Aspek teguran dan sanksi dalam pasal 10 dan 11 pada prinsipnya masih sama dengan PP 2007, kecuali pasal 11 ayat (6) yang tertulis: “Pemberi Waralaba atau Pemberi Waralaba Lanjutan yang dikenai sanksi pencabutan STPW sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dapat mengajukan kembali permohonan STPW setelah jangka waktu 5 (lima) tahun sejak penetapan pencabutan STPW.”
Hal ini berarti bila terjadi pencabutan STPW maka menurut PP 2024 ini Pemberi Waralaba atau Pemberi Waralaba Lanjutan harus menunggu jangka waktu 5 tahun sebelum bisa mengajukan STPW yang baru.
Hal yang perlu mendapat perhatian tentu saja nasib para Penerima Waralabanya apabila terjadi pencabutan STPW Pemberi Waralaba, karena akan muncul ketidakpastian dan hal ini perlu dijembatani melalui Permendag nantinya.
Sebelum sanksi pencabutan dan masa tenggang 5 tahun ini, Pasal 10 ayat (2) disebutkan ada sanksi teguran tertulis, yang apabila tidak ada perbaikan maka dapat ditindaklanjuti dengan sanksi “penghentian sementara kegiatan usaha” yang dijelaskan lebih lanjut dalam Pasal 11 ayat (2) bahwa jangka waktunya adalah maksimal 14 (empat belas hari kerja).
Tidak akan ada Permendag?
Dalam diskusi bersama Asosiasi Franchise Indonesia (AFI) ada perepi bahwa kemungkinan PP ini tidak akan diatur lebih lanjut dengan Permendag. Memang PP ini nuansanya terasa sangat rinci ini seperti Permendag. Dalam pasal-pasalnya juga tidak tercantum pasal yang menyebutkan bahwa PP ini akan diatur lebih lanjut melalui Permendag, sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 13 PP sebelumnya (PP tahun 2007).