Home

/

Blog

/

Superior Business

Superior Business

image Superior Business

Bisnis yang diwaralabakan seyogyanya merupakan suatu bisnis yang masuk kategori Superior Business. Faktanya, tidak semua yang hendak menjadi pemberi waralaba masuk kriteria ini.

Mengapa harus superior bisnisnya?

 

Beban Biaya Awal Waralaba

Investasi yang dibutuhkan untuk bisnis waralaba relatif lebih tinggi daripada bisnis dengan merek sendiri. Total investasi yang dikenai biaya awal waralaba seringkali cukup signifikan nilainya. Biaya awal waralaba ini bukan hal yang tidak wajar. Investor mendapat bantuan yang memperlancar persiapan gerai barunya. Selain itu biaya awal waralaba menjadi semacam royalti yang dibayar di muka, selain nantinya ada royalti yang harus dibayarkan bulanan.

 

Beban Biaya Royalti Bulanan

Selain biaya awal waralaba, biasanya ada biaya royalti bulanan. Biaya royalti bulanan ini merupakan imbalan atas peran merek yang diangggap memberikan peluang pencapaian nilai penjualan yang lebih tinggi dibandingkan dengan kalau menggunakan merek lain, atau merek milik investor sendiri.

Biaya royalti bulanan ini menjadi komponen tambahan pada beban biaya operasional, sehingga berdampak pada berkurangnya laba usaha. Selain biaya royalti kadang ada biaya jasa supervise dan konsultasi, yaitu sistem support dari pemberi waralaba kepada penerima waralaba.

 

Mundurnya Jangka Waktu Balik Modal

Bayangkan, biaya investasi lebih tinggi, laba usaha lebih rendah. Akibatnya, jangka waktu balik modal akan mundur bila dibandingkan dengan bisnis milik Pemberi Waralaba sendiri.

Tentu saja asumsi total penjualan harus bisa tinggi karena memanfaatkan merek dari Pemberi Waralaba. Dengan demikian diharapkan laba yang lebih rendah ini tetap lebih tinggi nilainya dibandingkan dengan membuka usaha dengan merek sendiri.

Untuk memberikan gambaran mengenai kinerja yang kurang bagus, perhatikan ilustrasi di bawah ini:

Ada kalanya pemilik merek hanya mampu mencapai angka penjualan Rp20 juta, yang berarti jangka waktu balik modalnya 25 bulan (bila milik sendiri). Namun karena hendak mewaralabakan bisnisnya, maka ia menghitung target yang dibutuhkan agar penawarannya menarik, lalu menemukan target itu adalah Rp32 juta, agar balik modal Penerima Waralaba bisa 26 bulanan, seperti gambar berikut ini:

Agar penawarannya menarik, maka ia membuat proyeksi keuangan dengan target penjualan Rp32 juta. Itu sebabnya tampilan angka “proyeksi” kinerja keuangan dalam brosur beberapa penawaran waralaba, BO, dan kemitraan seringkali merupakan “target” yang sulit dicapai ,  bahkan ada beberapa pemilik merek yang tidak pernah mencapai target tersebut, atau kalaupun pernah mencapai angka tersebut ,  hanya satu dua gerai saja dari puluhan gerai yang ada.

Ketika pengalaman Pemberi Waralaba hanya di level penjualan Rp20 juta dan bila Penerima Waralaba tidak cukup beruntung untuk memiliki kinerja di atas Pemberi Waralaba, maka jangka waktu balik modal Penerima Waralaba ini adalah 43 bulan, bukan 27 bulanan sebagaimana proyeksi keuangan yang disajikan Pemberi Waralaba.

Pemberi Waralaba seyogyanya menjalankan bisnis dan menawarkan waralaba dengan jujur dan transparan. Calon investor harus jeli dan selalu menanyakan apakah angka target penjualan itu merupakan angka yang relatif moderat dan tidak sulit dicapai, dan gerai mana saja yang mencapai angka tersebut, atau ada berapa gerai yang benar-benar mencapai angka penjualan itu.

 

Tags:

Share:

image writer

Utomo Njoto

Senior Franchise Consultant

FT Consulting

Email: utomo.ft@gmail.com

Popular Post

Loading...Loading...Loading...Loading...
kalkulator