Klikfranchise

Klikfranchise.com - Tempat


Our Blogs

with tag "franchise-fee"
Blog post
21 Okt'21

Menghitung Franchise Fee

Biaya-biaya waralaba (franchise fees) pada umumnya terdiri dari: Biaya waralaba di muka (upfront franchise fee) dan/atau biaya jada persiapan bisnis Biaya royalti bulanan Biaya bulanan lainnya berupa biaya support franchise, atau management fee, atau biaya supervisi & konsultasi Pada franchise ritel modern, muncul “biaya distribusi” yang sebenarnya dapat dianggap sebagai biaya ongkos kirim dan supply chain management. Tulisan ini merupakan rule of thumb (pedoman umum, atau garis besarnya saja) dalam menghitung biaya-biaya waralaba. Biasanya saya menggunakan pedoman ini untuk saringan awal bagi yang hendak mewaralabakan atau berkonsultasi mempersiapkan waralaba bisnisnya. Saya menamakan medote ini “Rule of Two”. Mengapa saya namakan demikian?, karena biasanya saya mengatur simulasi untuk menemukan keseimbangan berupa: profit franchisee minimal dua kali (2x) dari biaya franchise bulanan (biasanya royalty dan/atau management fee) yang dibayarkan ke franchisor.   Rule of Two Pertanyaan utama saya untuk menggali prinsip rule of two adalah, “Berapa profit bisnis Anda dalam setahun, atau rata-ratanya dalam sebulan?” – misal jawabannya adalah Rp30 juta sebulan. Angka Rp30 juta ini harus diperjelas dulu, bahwa angka ini sudah dipotong biaya-biaya operasional pada umumnya. Selain itu angka HPP (Harga Pokok Penjualan) seharusnya sesuai dengan produk barang/jasa yang terjual. Juga sudah dipotong unsur penyimpangan nilai HPP dalam batas wajar (kalau ada kasus barang rusak dan barang hilang, harus ada batasannya sesuai kemampuan kontrol manajemennya). Nah, apabila angka Rp30 juta ini sudah “bersih” maka: Angka ini akan kita bebani biaya royalti, maksimum sepertiga, yaitu Rp10 juta. Selanjutnya kita cek angka Rp10 juta ini berapa persen dari nilai penjualan bersih. Misal penjualan bersihnya adalah Rp250 juta, maka Rp10 juta ini adalah 4% dari Nilai Penjualan Bersih. Kalau dipotong Rp10 juta sebagai biaya royalti (biaya ini bisa kita split menjadi biaya royati dan management fee), maka sisa yang tersedia bagi franchisee sebagai laba usahanya tinggal Rp20 juta per bulan. Nah, dari angka Rp20 juta ini, bila kita targetkan balik modal 18 bulan, maka biaya maksimum untuk belanja modal alias capex (dan biaya perizinan + pelatihan awal + biaya awal waralaba) adalah 18 x Rp20 juta = Rp360 juta. Kalau total belanja modal (dan biaya perijinan + pelatihan awal) nya mencapai Rp300 juta, maka biaya awal waralaba yang wajar maksimal hanya Rp60 juta saja. Kalau total belanja modal hanya Rp150 juta, maka biaya awal waralaba yang wajar maksimal bisa saja menjadi Rp110 juta. Bagaimana kalau belanja modal (dan biaya perizinan + pelatihan awal) nya mencapai angka Rp420 juta? Bila kita asumsikan biaya awal waralabanya Rp60 juta, maka total capex (dan biaya perizinan + pelatihan awal + biaya awal waralaba) menjadi Rp480 juta. Ini berarti payback period-nya bukan 18 bulan, melainkan menjadi 24 bulan (Rp480 juta dibagi Rp20 juta). Tentu saja kita bisa mengembalikan payback period-nya menjadi 18 bulan dengan melakukan adjustment terhadap besaran royalti-nya. Atau mungkin juga dengan menekan biaya capex dan biaya awal waralabanya. Bermain-main dengan angka ini sebenarnya hal yang menarik, apalagi bila untuk tujuan yang mulia: agar penawaran waralaba Anda menjunjung tinggi nilai fairness dan win-win bagi para franchisee Anda. Perlu saya tambahkan pula bahwa struktur biaya operasional dan capex Anda biasanya tidak sama dengan kompetitor maupun bisnis sejenis lainnya. Anda harus memahami angka-angka riil bisnis anda sendiri. Setelah pebisnis tersebut merasa yakin bahwa kinerja bisnisnya mampu memenuhi kriteria “Rule of Two” tadi, maka konsultasi persiapan waralaba dapat dilanjutkan dengan agenda pertamanya adalah melakukan verifikasi terhadap “keyakinan” terkait kriteria “Rule of Two” tersebut, selain kesiapan waralaba dari beberapa aspek operasional lainnya. Bila belum memenuhi kriteria “Rule of Two”, bahkan setelah melakukan adjustment terhadap royalti masih sulit memenuhi kriteria tersebut, maka sebaiknya dilakukan upaya-upaya untuk memperbaiki kinerja bisnisnya lebih dahulu (baca artikel Superior Business). Bila ada pertanyaan atau hal yang kurang jelas, anda bisa berkirim email ke admin@klikfranchise.com   Related ArticlesJangka Waktu Balik Modal ("BEP")

Read More (1592 views)
Blog post
06 Okt'21

Superior Business

Bisnis yang diwaralabakan seyogyanya merupakan suatu bisnis yang masuk kategori Superior Business. Faktanya, tidak semua yang hendak menjadi pemberi waralaba masuk kriteria ini. Mengapa harus superior bisnisnya?   Beban Biaya Awal Waralaba Investasi yang dibutuhkan untuk bisnis waralaba relatif lebih tinggi daripada bisnis dengan merek sendiri. Total investasi yang dikenai biaya awal waralaba seringkali cukup signifikan nilainya. Biaya awal waralaba ini bukan hal yang tidak wajar. Investor mendapat bantuan yang memperlancar persiapan gerai barunya. Selain itu biaya awal waralaba menjadi semacam royalti yang dibayar di muka, selain nantinya ada royalti yang harus dibayarkan bulanan.   Beban Biaya Royalti Bulanan Selain biaya awal waralaba, biasanya ada biaya royalti bulanan. Biaya royalti bulanan ini merupakan imbalan atas peran merek yang diangggap memberikan peluang pencapaian nilai penjualan yang lebih tinggi dibandingkan dengan kalau menggunakan merek lain, atau merek milik investor sendiri. Biaya royalti bulanan ini menjadi komponen tambahan pada beban biaya operasional, sehingga berdampak pada berkurangnya laba usaha. Selain biaya royalti kadang ada biaya jasa supervise dan konsultasi, yaitu sistem support dari pemberi waralaba kepada penerima waralaba.   Mundurnya Jangka Waktu Balik Modal Bayangkan, biaya investasi lebih tinggi, laba usaha lebih rendah. Akibatnya, jangka waktu balik modal akan mundur bila dibandingkan dengan bisnis milik Pemberi Waralaba sendiri. Tentu saja asumsi total penjualan harus bisa tinggi karena memanfaatkan merek dari Pemberi Waralaba. Dengan demikian diharapkan laba yang lebih rendah ini tetap lebih tinggi nilainya dibandingkan dengan membuka usaha dengan merek sendiri. Untuk memberikan gambaran mengenai kinerja yang kurang bagus, perhatikan ilustrasi di bawah ini: Ada kalanya pemilik merek hanya mampu mencapai angka penjualan Rp20 juta, yang berarti jangka waktu balik modalnya 25 bulan (bila milik sendiri). Namun karena hendak mewaralabakan bisnisnya, maka ia menghitung target yang dibutuhkan agar penawarannya menarik, lalu menemukan target itu adalah Rp32 juta, agar balik modal Penerima Waralaba bisa 26 bulanan, seperti gambar berikut ini: Agar penawarannya menarik, maka ia membuat proyeksi keuangan dengan target penjualan Rp32 juta. Itu sebabnya tampilan angka “proyeksi” kinerja keuangan dalam brosur beberapa penawaran waralaba, BO, dan kemitraan seringkali merupakan “target” yang sulit dicapai ,  bahkan ada beberapa pemilik merek yang tidak pernah mencapai target tersebut, atau kalaupun pernah mencapai angka tersebut ,  hanya satu dua gerai saja dari puluhan gerai yang ada. Ketika pengalaman Pemberi Waralaba hanya di level penjualan Rp20 juta dan bila Penerima Waralaba tidak cukup beruntung untuk memiliki kinerja di atas Pemberi Waralaba, maka jangka waktu balik modal Penerima Waralaba ini adalah 43 bulan, bukan 27 bulanan sebagaimana proyeksi keuangan yang disajikan Pemberi Waralaba. Pemberi Waralaba seyogyanya menjalankan bisnis dan menawarkan waralaba dengan jujur dan transparan. Calon investor harus jeli dan selalu menanyakan apakah angka target penjualan itu merupakan angka yang relatif moderat dan tidak sulit dicapai, dan gerai mana saja yang mencapai angka tersebut, atau ada berapa gerai yang benar-benar mencapai angka penjualan itu.  

Read More (731 views)