Our Blogs
with tag "hki"

Perlindungan Non-Kompetisi Ba…
Klausul-klausul perjanjian waralaba biasanya memberikan perlindungan bagi franchisor. Salah satunya adalah klausul mengenai pernyataan komitmen franchisee untuk tidak berkompetisi dengan franchisor, atau lebih spesifiknya dengan bisnis waralaba milik franchisor. Bukan Sekedar HKI Franchisor berhak mendapat perlindungan non-kompetisi karena franchisee telah mendapatkan informasi strategi pemasaran, promosi, branding, pengelolaan SDM, hingga sistem administrasi dan pengelolaan biaya untuk menjalankan bisnis tersebut. Selain itu, franchisee memiliki informasi rahasia seperti angka penjualan, produk paling laku dan produk yang kurang laku, daftar pemasok, harga beli yang diberikan oleh pemasok, dan sebagainya. Jadi bukan sekedar HKI. Oleh karena itu, komitmen non-kompetisi biasanya melibatkan unsur kerahasiaan informasi, sehingga komitmen ini tidak hanya mengenai larangan kepemilikan langsung maupun tidak langsung suatu bisnis yang berkompetisi dengan bisnis franchise, tapi mencakup pula larangan memberikan informasi, dan memberikan konsultasi kepada bisnis yang berpotensi berkompetisi dengan bisnis franchisor. Non-kompetisi Harus Spesifik Harus diakui, klausul atau pasal perjanjian mengenai non-kompetisi kadang memang merugikan franchisee ketika dibuat terlalu luas. Misal, seseorang membeli waralaba restoran pizza, tidak selayaknya dilarang masuk bisnis restoran ayam goreng. Brian Loffredo menuliskan opininya di LinkedIn sebagai berikut: …, franchisees need to consider their exit strategies when entering into a franchise relationship and need to make sure any restrictions are clearly defined and as narrowly drawn as possible. For example, a pizza franchisee with dreams to stay in the food industry will want to make sure his restrictions are not so broad as to preclude the sale of chicken wings or participation in full-service restaurants. A window cleaning franchise will want to make sure his restrictions will not preclude handyman services or general contracting. Given the potentially crippling effect of many restrictions, it makes sense for franchisees to clarify their obligations early, and before entering into a franchise relationship. https://www.linkedin.com/pulse/franchise-non-compete-agreements-enforceable-brian-loffredo/ Selain bidang usahanya, di beberapa negara atau daerah ada ketentuan bahwa wilayah non-kompetisi dan batasan waktu pasca-pengakhiran perjanjian waralaba-nya juga perlu spesifik. Berikut ini satu contoh lagi yang berlaku di Amerika, dikutip dari Greensfelder : The court found that a two-year restriction was enough time for the franchisor to protect its legitimate business interest. The court further found that ten miles was a reasonable geographic limit because ten miles was the approximate distance a customer is willing to travel for the franchisor’s products. The court held that the franchisee was violating the non-compete clause by operating a business similar to franchisor’s business in the same location where the franchisee previously operated his franchise business. Ketentuan mengenai lingkup bidang usaha, wilayah, dan batasan waktu pasca-pengkahiran ini bersifat relatif dan berbeda dari negara atau daerah yang satu dengan yang lainnya. Negosiasi Klausul ini memang dapat dinegosiasikan berdasarkan kondisi tertentu. Apotek K-24 misalnya, meski pada prinsipnya tidak menyediakan ruang negosiasi terhadap klausul ini, memberikan kebijakan khusus ketika ada Rumah Sakit yang hendak mengubah layanan pembelian obat yang semula untuk keperluan pasien internal menjadi layanan apotek untuk umum. Tentu saja kebijakan ini diberikan dengan batasan yang cukup ketat. Larangan non-kompetisi sebagai apotek yang melayani umum tetap berlaku. Kelonggaran diberikan dalam bentuk kembali menjadi layanan penyediaan obat untuk pasien internal Rumah Sakit. Perluasan Lini Produk Hal pelik dari definisi bisnis yang spesifik ini adalah ketika terjadi perluasan lini produk. Bila semula franchisor adalah restoran pizza kemudian mengembangkan produk ayam goreng sebagai salah satu menunya, maka akan ada potensi benturan kepentingan ketika franchisee pizza ini kemudian sudah menjadi franchisee ayam goreng merek lain. Dalam praktek, hal ini memang sulit dihindarkan, namun penting sekali bagi franchisor dan franchisee untuk membuat jelas dari awal mengenai kemungkinan perluasan lini produk ini, bagaimana kedua pihak akan bersikap nanti.
Read More (300 views)
Perjanjian Waralaba
Mengenai Perjanjian Waralaba, kita perlu mengacu pada cakupan minimum yang diwajibkan dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 42 Tahun 2007 tentang Waralaba. Pasal 4 mengatur bahwa Perjanjian Waralaba harus dalam Bahasa Indonesia dan tunduk pada system hukum di Indonesia. Pasal 5 mengatur cakupan minimum yang harus tertulis dalam Perjanjian Waralaba. Pasal 6 mengatur harus ada kejelasan apakah Penerima Waralaba (terwaralaba, atau franchisee) memiliki hak untuk mewaralabakan lebih lanjut kepada pihak lain. Berikut kutipan Peraturan Pemerintah tersebut: BAB IIIPERJANJIAN WARALABA Pasal 4 (1) Waralaba diselenggarakan berdasarkan perjanjian tertulis antara Pemberi Waralaba dengan Penerima Waralaba dengan memperhatikan hukum Indonesia. (2) Dalam hal perjanjian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditulis dalam bahasa asing, perjanjian tersebut harus diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Pasal 5 Perjanjian Waralaba memuat klausula paling sedikit : nama dan alamat para pihak; jenis Hak Kekayaan Intelektual; kegiatan usaha; hak dan kewajiban para pihak; bantuan, fasilitas, bimbingan operasional, pelatihan, dan pemasaran yang diberikan Pemberi Waralaba kepada Penerima Waralaba; wilayah usaha; jangka waktu perjanjian; tata cara pembayaran imbalan; kepemilikan, perubahan kepemilikan, dan hak ahli waris; penyelesaian sengketa; dan tata cara perpanjangan, pengakhiran, dan pemutusan perjanjian. Pasal 6 (1) Perjanjian Waralaba dapat memuat klausula pemberian hak bagi Penerima Waralaba untuk menunjuk Penerima Waralaba lain. (2) Penerima Waralaba yang diberi hak untuk menunjuk Penerima Waralaba lain, harus memiliki dan melaksanakan sendiri paling sedikit 1 (satu) tempat usaha Waralaba. *Draft lengkap PDF dari Peraturan Pemerintah ini dapat diunduh langsung dari https://peraturan.go.id/common/dokumen/ln/2007/pp42-2007.pdf
Read More (516 views)
Merek Atas Nama Perorangan vs…
Bila anda sedang menimbang-nimbang, mau daftar merek atas nama Perseroan Terbatas (PT) atau Perorangan, berikut ini ulasan yang bisa dijadikan pertimbangan: Masalah Waris Bila kepemilikan merek dipegang oleh perorangan, harus dipahami bahwa apabila pemilik merek meninggal dunia, maka hukum waris berlaku. Kepemilikan merek menjadi “milik bersama” para ahli waris, atau menurut isi surat wasiat terkait pewarisan kepemilikan atas merek tersebut. Jadi akan ada prosedur yang harus dilalui oleh para ahli waris, seperti mengurus surat keterangan waris, dan sebagainya, untuk kemudian mengurus pengalihan kepemilikan atas merek tersebut ke Direktorat Jendral Hak Kekayaan Intelektual (HKI) Republik Indonesia. Masalah waris ini juga harus clear, ketika hendak melakukan perpanjangan Sertifikat Merek. Merek Atas Nama PT Setelah memahami aspek masalah waris, maka kita bisa menyimpulkan bahwa merek yang dimiliki oleh PT tidak memiliki kerumitan masalah waris – meski mungkin kepemilikan saham dalam PT akan memiliki kerumitan prosedur waris bila ada pemegang saham yang meninggal dunia. Perpanjangan Sertifikat Merek juga mengandalkan nama Direktur saja. Manfaat kepemilikan atas nama PT juga menyangkut batasan tanggungjawab apabila menghadapi sengketa. Secara umum manfaat dari badan hukum PT adalah batasan pertanggungjawaban yang sebatas harta dari PT tersebut, artinya tidak melebar hingga harta milik perorangan pemegang saham PT tersebut. Pengalihan Kepemilikan Merek Perlu ditambahkan di sini bahwa kepemilikan atas merek (sertifikat merek) dapat dialihkan dari Perorangan ke PT. Jadi bila setelah membaca artikel ini anda bermaksud mengalihkan kepemilikan merek anda dari Perorangan ke PT, Anda dapat mengajukan permohonan pengalihan ini ke Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual, Kementerian Hukum & HAM Republik Indonesia. Semoga ulasan ini membantu Anda untuk memahami hal terkait kepemilikan merek dan pewralabaan merek tersebut, khususnya apabila terjadi perbedaan entitas antara pemilik merek dan Pemberi Waralaba. Related Articles Mereknya Milik Siapa?
Read More (462 views)
Mereknya Milik Siapa?
Judul ini dipilih karena praktek waralaba, termasuk BO dan Kemitraan, saat ini tampaknya masih mengabaikan masalah siapa pemilik merek yang diwaralabakan atau dilisensikan. Idealnya tentu saja pemilik merek adalah entitas atau pihak yang sama persis dengan pemberi waralaba. Oleh karena itu, KlikFranchise berupaya menyajikan kejelasan kepemilikan merek dalam direktori yang dipublikasikan. Merek Milik Perorangan, Pemberi Waralaba PT Beberapa merek yang diwaralabakan mula-mula didaftarkan sebagai milik dari perorangan. Merek “K-24” misalnya, semula didaftarkan atas nama pendirinya, dokter Gideon Hartono. Sementara itu pemberi waralabanya adalah PT K-24 Indonesia. Sekarang kepemilikan merek tersebut sudah dialihkan ke PT K-24 Indonesia. Sebelum pengalihan terdaftar secara resmi (legal formal), Perjanjian waralabanya dilengkapi dengan surat pernyataan dari dokter Gideon bahwa beliau memberikan hak kepada PT tersebut untuk mengembangkan jaringan apotek dengan menggunakan merek tersebut. Merek Milik PT. ABC, Pemberi Waralaba PT. XYZ Kejadian perbedaan antara pemilik merek dan pemberi waralaba bisa terjadi dalam bentuk beda PT. Artinya pemilik mereknya memang sudah PT, tapi ketika diwaralabakan ternyata PT yang menjadi pemberi waralabanya berbeda dengan PT pemilik merek. Bagaimana hal ini bisa terjadi? Biasanya ini terjadi pada merek yang sudah cukup lama dan sudah mapan. Pendiri perusahaan sudah mantap untuk menjadikan perusahaan sebagai pemilik merek. Dalam perkembangannya, ketika pemilik perusahaan kemudian hendak mewaralabakan bisnisnya, ia tidak ingin kedudukan perusahaan yang mengoperasikan gerai tercampur baur dengan perusahaan yang menjadi pemberi waralaba. Ia akan mendirikan perusahaan (biasanya disebut sebagai perusahaan terafiliasi) untuk menjadi pemberi waralaba. Tentu ada bermacam alasan, salah satunya adalah pertimbangan legal. Sekali lagi, hal ini bisa disiasati dengan Surat Pernyataan, atau pengalihan kepemilikan merek di kemudian hari. Related Articles Merek Atas Nama Perorangan vs PT
Read More (508 views)