Our Blogs
with tag "waralaba"

Menjual Pengalaman & Peluang …
Ada dua lelucon yang menginspirasi tulisan ini: Penglamaan Yup, bukan typo. “Penglamaan” itu berbeda dengan pengalaman. Menduduki suatu jabatan dalam waktu belasan tahun, tapi setiap hari hanya menjalani rutinitas tanpa ada permasalahan yang berarti, merupakan suatu “penglamaan”. Menduduki suatu jabatan dalam waktu kurang dari 3 tahun, tapi melewati beragam permasalahan dan menjadi bagian yang menyelesaikan permasalahan, itu adalah “pengalaman”. Ketukan seharga $1,000 Kisah berikut ini belum saya temukan sumber asli kejadiannya, tapi menarik untuk direnungkan. Suatu kapal yang sangat besar mendadak mogok di tengah lautan. Beruntung tidak ada ombak besar dan cuaca masih bersahabat. Perusahaan pemilik kapal menghubungi jasa perawatan mesin yang kemudian mengirim teknisi ke posisi kapal tersebut. Teknisi memeriksa dengan teliti, kemudian mengetukkan palu di beberapa titik tertentu. Tak lama kemudian mesin kapal tersebut berfungsi kembali dengan baik. Tagihan dilayangkan ke Perusahaan pemilik kapal ini: $1,000, tidak termasuk transportasi menuju lokasi kapal. Bagian Keuangan Perusahaan bertanya kepada pimpinan dan awak kapal, apa yang dilakukan oleh teknisi tersebut. “Hanya mengetukkan palu di beberapa titik, mungkin sekitar lima titik”. Bagian Keuangan menghubungi Perusahaan Jasa yang mengirimkan teknisi, dan menanyakan rincian biaya $1,000 tersebut terdiri dari apa saja, dengan rencana hendak melakukan negosiasi, “Mengapa hanya beberapa ketukan saja biayanya $1,000?” Perusahaan Jasa menjawab,”Biaya mengetuk di titik permasalahan $20. Biaya mencari dan menemukan titik permasalahan $980”. Franchise & Pengalaman Franchisor atau Pemberi Waralaba itu menjual pengalaman (dan pengetahuan) yang sudah terakumulasi sekian tahun sehingga franchisee (penerima waralaba) tidak perlu melewati kesalahan yang sama, dan dapat menyelesaikan permasalahan yang dihadapi dengan cepat dan efektif. Tentu pengalaman setiap franchisor berbeda-beda, itu sebabnya ada franchisor yang biaya-biaya waralabanya terlihat rendah, ada pula yang terlihat tinggi. Ujung-ujungnya kita harus melihat bigger picture, yaitu peluang laba usahanya bagaimana, dengan memperhatikan asumsi-asumsi bisnisnya. Pastikan asumsi-asumsi bisnisnya sesuai dengan pengalaman franchisor, bukan temuan simulasi di atas kertas belaka. Ada franchisor yang bertahan cukup lama, sudah buka ratusan outlet tapi ternyata yang tutup mencapai 30% hingga lebih dari 50%. Kalau jualan mereka memamerkan jumlah outlet yang sudah dibuka, tapi mereka enggan membahas jumlah outlet yang masih atau sedang beroperasi. Ini ironis. Jangan-jangan franchisor seperti ini tidak memiliki pengalaman tapi “penglamaan”. Akhir-akhir ini, muncul pihak-pihak yang memiliki banyak merek, belasan bahkan puluhan merek. Tapi merek-merek ini banyak yang terbengkalai. Mereka tidak serius membangun merek dan bisnis yang ditawarkan kepada pemilik modal, melainkan hanya menjual “paket usaha” dan cenderung hit & run. Beberapa orang bahkan memberi label pada fenomena ini sebagai “franchise scam”. Kesimpulannya: Bedakan pengalaman dengan “penglamaan”. Membeli franchise itu membeli pengalaman dan peluang laba usaha. Bedakan peluang usaha dengan “paket usaha”. Bedakan antara jumlah outlet yang pernah dibuka dengan jumlah outlet yang beroperasi. Hati-hati dengan fenomena “franchise scam”. Asumsi-asumsi bisnis harus sesuai pengalaman atau kinerja historis existing outlets. Biaya-biaya waralaba antara beberapa merek itu “tidak apple-to-apple”.
Read More (163 views)
Pro Kontra Merek Milik Perora…
Beberapa merek dan waralaba yang semula merek perorangan, dialihkan kepemilikannya ke badan hukum pemberi waralaba. Meski demikian, ada konsultan dan lawyer Hak Kekayaan Intelektual yang menyarankan agar merek tetap dipertahankan sebagai milik perorangan. Bagaimana sebenarnya peta pro dan kontranya, kalau merek dipertahankan sebagai milik perorangan? Pro Bila para pemegang saham di badan hukum tersebut suatu saat akan mengalami konflik, dan Anda adalah penemu merek dan konsep bisnisnya, maka Anda akan kesulitan untuk menguasai kembali kepemilikan atas merek tersebut. Jadi dalam kasus seperti ini, kepemilikan merek sebagai milik perorangan, yang kemudian memberikan hak kepada PT untuk mewaralabakan, bisa dianggap lebih aman. Bila Anda ingin memperoleh royalti atas merek dan model bisnis yang kemudian dikembangkan menjadi jaringan waralaba bersama para pemegang saham di PT tersebut, maka memilih kepemilikan merek sebagai milik perorangan, yang kemudian memberikan lisensi kepada PT dengan imbalan royalti adalah pilihan yang tepat. Kontra Kepemilikan merek yang berbeda pihak antara pemilik merek dengan pemberi waralaba tentu akan mengakibatkan rasa tidak nyaman bagi beberapa franchisee (penerima waralaba), apalagi jika pemberian hak kepada PT tidak jelas batas waktunya. Hal ini bisa disiasati dengan membuat Perjanjian Waralaba yang menjelaskan bahwa royalti dibayarkan kepada perorangan pemilik merek yang sah, sementara PT franchisor (pemberi waralaba) menerima jasa konsultasi manajemennya. Hal lain yang menjadi kekurangan dari kepemilikan merek oleh perorangan adalah proses yang menyangkut persoalan waris nantinya. * Baca juga artikel berjudul Merek Atas Nama Perorangan vs PT Bukan Hanya Merek Persoalan mengenai HKI sebenarnya bukan hanya persoalan Merek. Dalam bisnis kuliner misalnya, ada unsur HKI berupa resep rahasia, atau bumbu inti, yang bisa dilindungi sebagai Hak Kekayaan Intelektual. Dalam hal ini Anda dihadapkan pada 2 pilihan pula: milik perorangan, atau milik badan hukum perusahaan yang menjadi franchisor (pemberi waralaba) bila hendak diwaralabakan. Semoga tulisan ini memberikan wawasan yang lebih luas dalam mengambil keputusan, apakah merek anda hendak didaftarkan atas nama perorangan, atau badan hukum.
Read More (648 views)
Franchises Went Wrong
Beberapa merek waralaba bergerak ke arah yang salah! Apa saja tanda-tandanya? Fokus Jualan Unit Waralabanya Jual Waralaba Grosiran Biaya-Biaya Waralaba Terlalu Tinggi Fokus Jualan Unit Waralaba Fokus jualan unit waralaba berarti fokusnya adalah membuka unit waralaba sebanyak-banyaknya. Salah satu contoh dari fokus yang keliru seperti ini adalah fenomena banyaknya gerobak yang mangkrak, tidak sedikit juga yang hidup segan mati tak mau. Contoh lainnya adalah banyak waralaba yang gagal karena salah lokasi. Penyebabnya adalah karena franchisor kejar setoran, seleksi kandidat franchisee dan seleksi lokasi hanya formalitas belaka. Semua (atau hampir semua) seleksi dilakukan asal-asalan dan ujung-ujungnya disetujui. Tentu membuka unit waralaba sebanyak-banyaknya bukan hal yang tabu, bila hal ini dilakukan dengan benar, seleksi franchisee dan lokasi dilakukan sesuai standar, sistem support juga dibangun sesuai kebutuhan dan jumlah outletnya. Jual Waralaba Grosiran Sedikit berbeda dari “fokus jualan unit waralaba”, fenomena dan perilaku menjual waralaba grosiran ini dipicu oleh keserakahan. Franchisor menawarkan hak semacam distributor eksklusif kepada pemilik modal, misal untuk satu kota/kabupaten, atau satu provinsi. Dengan demikian franchisor dapat menerima biaya waralaba yang relatif tinggi di muka dengan kemasan “hak eksklusif” tersebut. Franchisee yang menjadi semacam master franchisee tergiur karena bisa menjual unit-unit waralaba sebanyak-banyaknya di lokasi-lokasi dalam area eksklusifnya. Akibat dari penjualan franchise grosiran ini adalah fenomena “fokus jualan unit waralaba” menjadi pola dan modus para “master franchisee”. Master Franchising sebenarnya bukan hal yang tabu, tentu saja dengan syarat bahwa model bisnisnya (baca profit bisnisnya) masih layak dikembangkan hingga 3 level (franchisor, master franchisee, dan unit franchisee). Yang dimaksud dengan model bisnis ini adalah kinerja keuangan, profit di level unit franchisee cukup baik untuk kepentingan balik modal mereka, dan alokasi biaya bulanan bagi master franchisee juga cukup untuk menjalankan bisnis maupun system support di wilayahnya. Persoalannya adalah, banyak yang tidak peduli hal-hal fundamental tersebut, dan memang dipicu oleh keserakahan, instant money, dan mental “get rich quick” yang merugikan pihak lain. Franchisor mengejar keuntungan di muka secepatnya, dan master franchisee mengejar pengembalian modal dan keuntungan sebesar-besarnya dengan menjual unit franchise tapi mengabaikan kinerja bisnis para unit franchisee mereka. Biaya-Biaya Waralaba Terlalu Tinggi Keserakahan, instant money, dan mental “get rich quick” juga menyebabkan banyak waralaba yang dijual dengan biaya-biaya yang mencekik dompet franchisee. Beberapa dari franchisor ini mungkin tidak memahami kesalahan mereka karena terbujuk rayuan oknum yang menjanjikan keuntungan besar melalui franchising bisnis mereka. Beberapa dari franchisor ini sebenarnya simply tidak memahami cara menghitung biaya-biaya waralaba. Awalnya mereka menjual waralaba dengan harga terlalu murah, tumbuh sangat cepat (dan memang menguntungkan bagi franchisee), kemudian mulai menaikkan harga dan biaya-biaya waralaba secara perlahan atau bertahap, hingga akhirnya franchisee yang belakangan tidak mampu meraih keuntungan. Sound familiar? Merek-merek waralaba yang terlihat memiliki ciri-ciri tersebut sebaiknya Anda hindari.
Read More (630 views)
75% Franchisor Hilang Setelah…
Beberapa fakta yang mengejutkan pernah mengguncang dunia waralaba di tahun 2010-an, yaitu: Dalam waktu 10 tahun terdapat 75% franchisor yang menghilang dari waralaba. Dua merek waralaba cukup terkenal mencatat tingkat gagal bayar SBA Loan (semacam Kredit Usaha Kecil) lebih dari 35%. Beberapa merek waralaba yang kurang terkenal (di Amerika) bahkan mencatat tingkat gagal bayar SBA Loan sekitar 60% hingga 80%. 75% menghilang?, sebenarnya ada apa dengan waralaba dibalik fakta ini?. Mari kita simak penjelasan berikut ini. Scott Shane, seorang dosen dan peneliti di Amerika, pernah mengingatkan, “Riset akademis menunjukkan bahwa sejumlah tiga per empat dari franchisor yang baru (new franchisors) berhenti menawarkan waralaba setelah sepuluh tahun diwaralabakan.” Meski demikian, euforia waralaba dan entrepreneurship telah menutup rapat informasi penting ini. Informasi ini mulai terkuak lebar karena terjadi kehebohan berupa tingginya tingkat gagal bayar SBA Loan berbasis waralaba. Informasi yang dipublikasikan mengenai SBA Loan menunjukkan bahwa gagal bayar Subway hanya 4% sementara Blimpie mencapai 37%. Angka ini segera dipertanyakan oleh para pengamat, apakah ini murni faktor merek atau ada faktor lain. Meski persentase itu dibandingkan dengan jumlah gerai dari merek yang bersangkutan yang mengambil kredit SBA Loan (bukan terhadap gabungan seluruh merek waralaba yang mengambil kredit SBA Loan, artinya bukan terhadap jumlah seluruh gerai merek tersebut), persentase yang tinggi menunjukkan anggapan bahwa waralaba memiliki tingkat risiko kegagalan yang lebih rendah daripada non-waralaba patut dipertanyakan. Ini fakta yang mengerikan, meski datanya terbatas pada SBA Loan di Amerika Serikat. Tingkat gagal bayar kredit waralaba di tahun 2004-2006 ternyata 10% lebih tinggi daripada bisnis independen (non-waralaba). Bagaimana dengan Indonesia?, untuk Indonesia dulu sampai sekarang, masih belum ada publikasi serta data resminya. Kelompok Berisiko Tinggi Beberapa pengamat menduga tingginya gagal bayar SBA Loan di bisnis waralaba dikarenakan pihak-pihak yang mengajukan kredit ke SBA Loan adalah pihak yang berisiko tinggi dan tidak berhasil mendapat pinjaman konvensional dari bank umum. Bila benar mereka yang gagal bayar ini merupakan kelompok berisiko tinggi, maka hal ini mencerminkan bahwa ada yang kurang pas pada proses seleksi calon franchisee oleh para franchisor. Apalagi ketika dibandingkan dengan yang non-waralaba ternyata tingkat kegagalannya lebih tinggi yang waralaba. Di Indonesia, belum ada publikasi resmi mengenai tingkat gagal bayar kredit waralaba. Tahun 2011 pemerintah meluncurkan program pembiayaan untuk waralaba dengan bunga rendah melalui LPDB (Lembaga Pengelolaan Dana Bergulir) di bawah Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil Menengah. Mudah-mudahan program yang ditujukan untuk mengurangi jumlah pengangguran ini tepat sasaran, tidak mengalir ke merek franchise yang tidak kompeten, dan seleksi calon penerima dananya dilakukan dengan ketat sehingga tidak jatuh pada kelompok berisiko tinggi. Secara kasat mata kita melihat cukup banyak bisnis gerobakan yang ditawarkan sebagai BO akhirnya tidak beroperasi, bahkan yang mereknya terkenal sekalipun. Kita juga menyaksikan pula beberapa bisnis non-gerobak dengan merek waralaba akhirnya tutup, entah karena salah lokasi atau salah kelola. Franchisee Salah Kelola Satu hal yang bisa menjadi faktor penyebab kegagalan franchisee adalah salah kelola. Akhir-akhir ini saya menjumpai cukup banyak franchisor yang kerepotan menghadapi franchisee yang kurang disiplin dalam mengelola keuangan bisnisnya. Ada franchisee bisnis retail mengambil kredit mobil dengan cicilan Rp5 jutaan ketika bisnisnya mulai membukukan arus kas bersih bulanan sekitar Rp5 jutaan. Akibatnya, ketika arus kas bersihnya tidak berhasil menembus angka Rp5 juta, kelengkapan stok barangnya terganggu sehingga omset dan arus kas bersihnya terus mengalami penurunan. Adalagi beberapa franchisee retail yang lupa diri melihat besarnya uang tunai penjualan retailnya. Ia menggunakan sebagian besar hasil penjualan itu untuk keperluan pribadi, padahal seharusnya ia menyisihkan uang modal untuk membeli barang kembali alias melengkapi stock barangnya. Mengingat besarnya risiko salah kelola ini, sangat disarankan kepada para franchisor, yang franchiseenya memperoleh kucuran bantuan permodalan LPDB, untuk mengawasi dengan ketat keuangan franchisee selama 3 tahun pertama agar pengembalian pinjaman ini lebih terjamin. Kompetensi Manajemen Franchisor Beberapa pihak yang lain berargumentasi bahwa tingginya tingkat gagal bayar di Amerika tersebut dikarenakan Resesi Ekonomi yang melanda Amerika Serikat. Meski demikian, ternyata SBA Loan memiliki 2 versi laporan terkait pengembalian kredit yang diberikan: “Top 100 Merek Waralaba Terbaik” dan “Top 100 Merek Waralaba Terburuk”. Artinya, gagal bayar ini bukan sekedar faktor resesi ekonomi, melainkan kompetensi manajemen franchisor dan franchisee yang bersangkutan. Masa-masa sulit hampir pasti pernah dialami oleh bisnis mana pun juga. McD misalnya pernah mengalami masalah serius dan kritis sekitar tahun 2002. Larry Light, konsultan dan mantan Chief Marketing Officer McDonald’s, menyingkap fakta bahwa ketika ia bergabung dengan McDonald’s di bulan September 2002, harga saham perusahaan ini anjlok dari nilai tertinggi USD 45.31 di bulan Maret 1999 menjadi USD 17.66. Harga saham ini terus merosot hingga sekitar USD 13 pada bulan Maret 2003. McD berhasil melewati masa-masa kritis tersebut. Harga saham McDonald’s melejit dari sekitar USD 13 di tahun 2003 menjadi sekitar USD 32 di akhir tahun 2005. Selama periode Januari-Mei 2011 saham McD bergerak di atas USD 70. Bahkan sejak pertengahan Mei hingga awal Juni nilainya bertengger di atas USD 80. Owner Operator Secara umum, menurut Scott Shane, franchisor baru yang mewajibkan owner operator dengan keterlibatan 100% memiliki tingkat kegagalan yang jauh lebih rendah dibandingkan dengan investor pasif. Tingkat keberhasilan owner operator ini memang membutuhkan seleksi franchisee yang ketat, karena bila yang lolos seleksi ternyata tidak becus mengelola maka yang terjadi adalah sebaliknya: malapetaka bagi gerai franchisee tersebut (dan bagi seluruh jaringan waralaba bila kesalahannya menyangkut kepuasan pelanggan dan mengganggu citra merek waralaba tersebut). Bayangkan suatu rumah makan “Bakso XYZ”. Seorang pelanggan baru pertama kali masuk ke sana. Ia mengeluh kepada manager yang ternyata franchisee yang owner operator, “Kuahnya mengandung terlalu banyak lada.” Owner operator menjawab dengan santai, ”Memang standarnya begitu.” Pelanggan tersebut langsung memiliki persepsi bahwa “Bakso XYZ” bukan bakso yang sesuai dengan selera dia. Kemungkinan besar ia tidak akan mau masuk ke gerai “Bakso XYZ” di lokasi lainnya. Ujian 5 dan 10 Tahun Tampaknya usia 5 dan 10 tahun akan menjadi batu ujian bagi para franchisor. Beberapa sumber menyatakan, dalam waktu 10 tahun terdapat 75% franchisor yang gagal, dan separuh dari mereka sebenarnya sudah gagal dalam waktu kurang dari 5 tahun. Bagaimana dengan di Indonesia? Pada tahun 2011 saya pernah mempelajari Direktori Waralaba SWA tahun 2005. Dari “42 Merek Waralaba Lokal yang tercatat dalam 1 tahun terakhir”, saya menengarai sekitar 22 merek tidak terlihat lagi di tahun 2011 tersebut. Selain itu terdapat sekitar 6 merek yang masih ada, tapi tidak lagi menawarkan waralabanya. Di bidang makanan dan restoran, beberapa merek tidak terlihat lagi karena gagal menjaga standar kualitas dan persepsi rasa untuk mereknya. Yang lainnya ada yang menghilang karena tidak mampu mengembangkan model bisnisnya untuk berkembang lebih jauh, adapula yang tidak berhasil tinggal landas waralabanya (kurang peminat). Di tahun 2022 majalah Infobrand Indonesia me-release daftar merek waralaba dan kemitraan yang sudah dikonfirmasi masih menawarkan kerja sama waralaba/kemitraan. Jumlahnya hanya sekitar 500 merek. Padahal di tahun 2011 majalah Franchise Indonesia pernah menerbitkan data sekitar 2000 merek untuk direktori waralaba/kemitraan mereka. Semoga informasi tersebut di atas membuka wawasan kita semua. Waralaba (dan BO alias “Business Opportunity” yang mirip waralaba) bukan resep atau jalan pintas sukses yang mudah. Tidak ada jaminan keberhasilan. Jadi, telitilah sebelum membeli atau menginvestasikan dana anda ke dalam bisnis waralaba.
Read More (1011 views)
Wilayah Proteksi Waralaba
Wilayah proteksi waralaba (franchise territory) adalah topik hangat yang tak ada habisnya dalam pembicaraan mengenai waralaba. Hal ini menjadi makin seru ketika yang dibicarakan adalah fenomena Indomaret dan Alfamart yang terlihat tidak memiliki pola terkait wilayah proteksi. Bukan Proteksi Pasar Hal terpenting yang harus dipahami terkait dengan wilayah waralaba adalah bahwa proteksi itu bukan proteksi pasar, melainkan proteksi tidak adanya gerai sejenis dalam wilayah yang didefinisikan sebagai wilayah proteksi. Pelanggan bisa saja menyeberang ke gerai di lain wilayah. Hal ini dapat terjadi sekedar karena sedang melintas, atau karena kualitas layanan yang dirasakan berbeda. Alasan yang terakhir ini seharusnya tidak terjadi. Franchisor perlu menjaga standar kualitas layanan ini. Kecukupan Pasar Salah satu pertimbangan penting terkait wilayah proteksi adalah kecukupan pasar. Meski demikian, perhitungan mengenai “pasar” ini tidak selalu mengacu pada jumlah penduduk sekitar. Beberapa lokasi memiliki karakteristik pelanggan yang bukan penduduk sekitar, artinya orang yang melintas di sana, misalnya restoran dalam mall. Dalam hal ini yang dibutuhkan adalah pemahaman mengenai jumlah pelanggan dan/atau angka penjualan dan/atau angka estimasi EBITDA yang dibutuhkan untuk menjadikan bisnis di lokasi tersebut layak atau menarik sebagai suatu investasi bisnis. Salah satu minimarket pernah menyebutkan angka penjualan rata-rata Rp10 juta per hari sebagai acuan kelayakan investasi bisnis di suatu lokasi. Bagaimana dengan bisnis Anda? Semangat Berjaringan Konflik antara franchisor dengan franchisee dalam hal wilayah waralaba biasanya disebabkan karena kurangnya semangat berjaringan di benak franchisee. Selain itu, bisa juga dikarenakan ambisi franchisor untuk memiliki gerai sebanyak-banyaknya tanpa memperhitungkan kecukupan pasar yang dibutuhkan oleh franchisee. Kedua faktor ini berakar pada satu kata,“keserakahan”. Diperlukan keseimbangan antara kebutuhan franchisor dalam membangun merek dan gerai sebanyak mungkin, dengan kecukupan pasar yang dibutuhkan oleh franchisee. Radius, atau … Metode paling populer untuk menentukan batasan wilayah proteksi adalah penggunaan istilah “radius sekian kilometer”. Metode ini rawan konflik, karena batasannya seringkali kurang jelas. Apalagi bila diukur dari pencatatan kilometer mobil atau motor. Metode terbaik adalah batasan ruas jalan, rel kereta api, jembatan layang, dan landmark lainnya. Perkiraan radius dapat digunakan sebagai langkah awal. Selanjutnya, pelajarilah jumlah penduduk dan jumlah traffic yang akan menjadi pasar Anda, kemudian tentukan batas-batasnya dengan jelas. Batas-batas administratif Kelurahan, Kecamatan, atau Kabupaten/Kotamadya mungkin dapat digunakan karena lebih clear batasannya. Khusus untuk gerai di dalam mall, umumnya wilayah proteksi hanya di dalam areal lokasi gedung mall tersebut. Jadi, gerai di luar mall biasanya mengecualikan area mall dalam definisi wilayah waralabanya (tergantung kesepakatan). Tanpa Wilayah Proteksi Mungkinkah suatu waralaba tanpa wilayah proteksi?, meski tidak umum, jawaban saya adalah “mungkin saja”. Hal ini tergantung posisi tawar franchisor lebih tinggi terhadap franchisee. Ada beberapa alasan yang dapat membuat franchisor tidak memberikan wilayah proteksi. Kebutuhan untuk memiliki gerai sebanyak-banyaknya merupakan salah satu alasan yang paling umum dijumpai. Asalkan franchisor mempertimbangkan kecukupan pasar sebagaimana telah diuraikan di atas, maka kebijakan tersebut sah-sah saja menurut saya. Alasan lainnya adalah antisipasi perubahan atau pertumbuhan jumlah penduduk di wilayah tersebut di tengah-tengah jangka waktu waralaba. Beberapa franchisor memutuskan untuk memperkecil wilayah proteksi ketika perpanjangan perjanjian waralaba, karena perubahan kependudukan ini. Tentu saja franchisee yang bersangkutan seyogyanya diberi kesempatan (prioritas) untuk membuka gerai di wilayah yang semula merupakan wilayah proteksinya. Semoga penjelasan tersebut bermanfaat bagi anda semua.
Read More (776 views)
7 Mitos Waralaba
Ada banyak salah kaprah dalam waralaba yang perlu diluruskan. Salah kaprah ini telah menimbulkan konflik-konflik yang seharusnya bisa dihindari, atau setidaknya diminimalkan. Dalam kesempatan ini saya mencoba menguraikan 7 mitos waralaba yang mengakibatkan salah kaprah yang banyak terjadi. 1. Waralaba itu Menghasilkan Passive Income Khusus untuk waralaba yang operated by franchisor (dikelola atau dijalankan oleh franchisor), mungkin pendapat ini benar sebagian. Sebagian, karena meski operated by franchisor, franchisor biasanya tidak memberikan jaminan keuntungan. 2. Waralaba itu Pasti Untung Waralaba adalah investasi bisnis, jadi pasti ada resiko. Bila tidak menghendaki resiko, pilihannya adalah menyimpan uang di bank saja dalam bentuk tabungan atau deposito. Salah kaprah bahwa “waralaba pasti untung” ini terus berlanjut, karena informasi dan penawaran waralaba di pameran selalu terlihat menarik dan manis didengar. Tak jarang investor baru menyadari adanya resiko rugi setelah bisnis waralabanya beroperasi dan mengalami kerugian. Banyak investor yang terpikat oleh tampilan luar suatu merek atau bisnis yang diwaralabakan. Keterampilan franchisor dalam membangun dan mengemas merek dan bisnisnya sering mengelabui investor atau calon franchisee. Membeli waralaba dengan merek yang mentereng, tanpa mempelajari dengan cermat fundamental bisnisnya, sama saja dengan membeli rumah yang dicat dengan rapih di bagian luar saja tapi tidak memeriksa bagian dalamnya yang mungkin saja seperti bermasalah konstruksinya. 3. Waralaba itu Mudah Dijalankan Tingkat kemudahan menjalankan bisnis waralaba tergantung jenis dan model bisnisnya. Sesederhana apa pun, tampaknya manajemen kepegawaian (SDM, Sumber Daya Manusia) merupakan tantangan terbesar dan terberat yang akan dihadapi setiap franchisee. Kecuali franchise pasif, franchisee seharusnya terlibat aktif mengikuti pelatihan awal yang diselenggarakan oleh franchisor. Tidak sedikit franchisee yang mengabaikan hal penting ini. Di sisi lain, banyak franchisor yang kurang menuntut kewajiban franchisee untuk mengikuti pelatihan ini. 4. Franchisor Bertanggungjawab Menyediakan Pegawai Banyak franchisee yang “merasa dijanjikan” bahwa franchisor yang akan menyediakan pegawai. Kalau ada pegawai mengundurkan diri, maka franchisor bertanggungjawab mencarikan pegawai. Seharusnya mencari pegawai adalah kewajiban franchisee. Franchisor hanya membantu, tapi tidak mungkin memberikan janji atau jaminan pasti bisa menemukan calon pegawai. Ketersediaan calon pegawai itu di luar kendali franchisor. Kewajiban franchisor adalah mengajarkan cara menyeleksi dan melatih, atau memberikan support pelaksanaan menyeleksi dan melatih calon pegawai itu. Kewajiban franchisee adalah “mencari pegawai” dan “mengelola pegawai” dengan baik. 5. Franchisor Bertanggungjawab Meningkatkan Sales Franchisee Meski tidak sepenuhnya keliru, pernyataan di atas tidak sepenuhnya benar. Franchisor bertanggungjawab meningkatkan “peluang” terjadinya penjualan (sales) melalui upaya-upaya atau kegiatan branding dan pemasaran (marketing). Kegiatan branding dan marketing yang baik akan meningkatkan peluang datangnya calon pelanggan, tapi penjualan baru akan terjadi ketika tim di level gerai menjalankan perannya dengan baik. Keberhasilan meningkatkan penjualan adalah tanggungjawab masing-masing franchisee, melalui komitmen-komitmen menjaga standar kualitas produk dan layanan, kepuasan pelanggan, dan kegiatan promosi lokal. Dalam hal tertentu, kadang upaya franchisor masih kurang berhasil mendatangkan calon pelanggan ke gerai. Hal ini bisa diakibatkan karena suatu mall yang kurang aktif menyelenggarakan event, atau memang wilayah sekitar lokasi gerai memiliki kebiasaan tertentu yang unik, atau faktor lain seperti traffic (jumlah kendaraan atau orang yang lewat) yang kurang mendukung. Dalam hal ini memang franchisor diharapkan dapat memberikan support dengan mendatangkan timnya ke gerai untuk melihat cara-cara lain yang diperlukan khusus untuk kondisi gerai tersebut. 6. Merek Terkenal Berhak Atas Biaya Awal Waralaba yang Tinggi Salah kaprah ini dikarenakan pemahaman yang tumpang tindih dengan konsep “brand equity”. Biaya awal waralaba itu terkait dengan potensi keuntungan di level gerai yang bersangkutan. Brand equity itu terkait dengan potensi pengembangan yang tidak dibatasi di satu gerai belaka. Itu sebabnya brand equity suatu merek bisa jauh lebih tinggi nilainya bila dibandingkan dengan biaya awal waralaba. Franchisor yang memasang biaya awal waralaba amat tinggi (dengan alasan mereknya terkenal), ibarat memasang perangkap bagi dirinya sendiri. Biaya awal waralaba yang ia tetapkan dengan sangat tinggi akan mengakibatkan franchisee tidak bisa mencapai balik modal. Payback period bisnis di gerai franchisee menjadi akan buruk ketika dikaitkan dengan biaya investasi yang dikeluarkan oleh franchisee tersebut. 7. Waralaba Untuk Belajar Bisnis Salah kaprah yang satu ini memiliki dampak negatif yang mengganggu perkembangan bisnis waralaba. Beberapa franchisee mengira bahwa mereka berhak mengganti merek setelah jangka waktu perjanjian waralaba berakhir. Mereka menganggap sah-sah saja kalau mereka membeli waralaba untuk belajar bisnis, lalu menurunkan merek waralaba dan menggantinya dengan merek mereka sendiri. Bila investor atau calon franchisee memang berencana hendak menggunakan merek sendiri, etikanya mereka tidak membeli waralaba. Ada jalan lain untuk tujuan tersebut: membayar konsultan bisnis bidang tertentu, misalnya konsultan restoran bagi yang hendak mendirikan bisnis restoran, atau konsultan retail bagi yang hendak mendirikan bisnis mini market. Beberapa pemasok mesin juga sering menyediakan jasa konsultasi seperti ini, misal pemasok mesin laundry memberikan pelatihan dan konsultasi untuk mendirikan bisnis laundry, atau pemasok bahan makanan seperti coklat dan tepung menyediakan jasa pelatihan dan konsultasi untuk mendirikan bisnis roti dan kue.
Read More (751 views)
Dualisme Merek Warteg Kharism…
Tahukah anda bahwa ada DUA versi Warung Tegal (Warteg) Kharisma Bahari, dan dua-duanya memiliki Sertifikat Merek? Berikut tabel perbandingan informasi merek yang didapat dari https://pdki-indonesia.dgip.go.id/ Tabel Perbandingan Merek WKB dengan Kharisma Bahari LOGO Nama Merek WKB +LOGO KHARISMA BAHARI Translasi WKB = Penamaan Tidak ada Nama Pemilik Merek SAYUDI HERNANDO YUDHA SETIAWAN Nomor Permohonan J002019020608 JID2020081354 Tanggal Penerimaan 4/22/2019 12/16/2020 Nomor Sertifikat IDM000811094 IDM000923795 Tanggal Pendaftaran 11/11/2020 11/16/2021 Kelas 43 43 Uraian Kelas Restoran, cafe, rumah makan, tempat penyediaan makanan dan minuman, catering, warung makan. Kantin, Pusat Jajanan Serba Ada (Pujasera), Restoran, rumah makan. Dualisme (Kepemilikan) Merek Dualisme kepemilikan merek sebenarnya bukan hal yang baru. Salah satu kasus dualisme (kepemilikan) merek yang mengakibatkan perseteruan hingga ke meja hijau adalah “Geprek Bensu”. Tentu keduanya memiliki perbedaan, tapi faktanya masyarakat tidak paham hingga munculnya berita viral mengenai sengketa merek ini. Terkait merek Kharisma Bahari ini, terlihat “WKB” yang lebih dulu menggunakan merek ini hanya mendaftar di kelas 43 dan tidak melibatkan konsultan merek, sebaliknya “Kharisma Bahari” menggandeng konsultan merek dan mendaftar pula di beberapa kelas lainnya, misalnya di kelas 45 yang dalam uraiannya didaftarkan sebagai “jasa lisensi konsep waralaba, Jasa Lisensi Waralaba” (saya kurang paham makna bolak-balik dari lisensi dan waralaba ini). Bahkan di kelas 43 mereka mendaftarkan pula merek “WRTG KHARISMA BAHARI”, sekitar 2 minggu setelah permohonan pendaftaran merek mereka sendiri yang saya cantumkan di tabel tersebut. Dualisme dengan Kesepakatan Bersama Sebenarnya ada dualisme yang disertai kesepakatan bersama, misalnya Rocket Chicken dan RFC (Rocket Fried Chicken). Meski demikian, tampaknya sebagian masyarakat terlihat tidak sepenuhnya paham kalau dua merek ini berbeda kepemilikannya. Berita mengenai sengketa dua merek ini yang berujung damai dapat disimak di tautan berikut ini; Sengketa Merek Rocket Chicken dengan Rocket Fried Chicken Berujung Damai. Mengenai WKB dan “Karisma Bahari” yang bukan-WKB ini, tidak jelas apakah keduanya satu grup, atau keduanya menandatangani kesepakatan tertentu, atau pihak WKB tidak mengetahui ada pihak yang menggunakan dan mendaftarkan merek Kharisma Bahari untuk bisnis warteg. Risiko Brand Image Dualisme seperti ini sebenarnya tentu saja memiliki risiko terhadap brand image mereka masing-masing. Sebaiknya seorang pengusaha menggunakan merek yang unik dalam mengembangkan bisnisnya, dan menjaga keunikan (uniqueness) mereknya dengan memperhatikan perkembangan permohonan merek yang diajukan ke Dirjen HKI. Bila terlalu sibuk, bisa melibatkan konsultan HKI terdaftar dengan kejelasan kerja sama, yaitu menjaga agar tidak ada merek yang sama atau mirip yang didaftarkan ke Dirjen HKI. * Bila ada informasi tambahan yang dapat melengkapi kabar terkait dualisme merek Warteg Kharima Bahari, anda bisa kirim email ke admin@klikfranchise.com
Read More (1971 views)
Hoax Success Rate Franchise
Pernah mendengar franchisor menawarkan waralaba dengan klaim success rate sebagai berikut? “Tingkat sukses bisnis waralaba itu lebih dari 90%.” “Lebih dari 95% bisnis waralaba masih menjalankan bisnisnya setelah lewat dari 5 tahun” Nyaris tidak pernah ada yang mempertanyakan sumber informasinya, sebaliknya franchisor beramai-ramai mengutipnya dari waktu ke waktu. Klaim tersebut muncul sekitar tahun 1991 ketika Small Business Administration (SBA) di Amerika melakukan penelitian terhadap bisnis waralaba. Kesimpulan mengenai success rate tersebut sudah dikoreksi, karena tampaknya ada kekeliruan dalam metode sampling-nya. Sumber lain menyebutkan bahwa sample penelitian ini bias karena memang sebagian besar adalah merek franchise yang sukses. Sample penelitian ini juga gagal mengidentifikasi franchisee yang masih mempertahankan bisnisnya meskipun merugi. Ada lagi yang menyebutkan bahwa penelitian ini gagal mengidentifikasi fenomena franchise gagal yang dibeli kembali oleh franchisor untuk dipertahankan tetap beroperasi. Sumber lain menyebutkan hasil penelitian itu tidak melibatkan data keuangan yang ter-audit. IFA (International Franchise Association) di Amerika pernah mengutip statistik ini, tapi kemudian bahkan mengirimkan memo kepada anggota IFA agar tidak lagi mengutip hasil penelitian tersebut. Informasi ini setidaknya dapat anda temukan di: https://www.msaworldwide.com/blog/top-ten-reasons-to-invest-in-a-franchise/ https://www.aafd.org/franchisee-success-rates-here-we-go-again/ Jadi sebenarnya seperti apa success rate bisnis franchise ini? Tampaknya tidak ada publikasi resmi yang kredibel. Lagipula, success rate setiap merek franchise tentu berbeda, selain faktor kualitas produk dan layanan, kesuksesan suatu bisnis franchise tergantung pengalaman dan kompetensi tim manajemen franchisor dan franchisee. Di Indonesia lebih sulit lagi untuk mengukurnya, karena ada yang tidak memenuhi syarat sebagai franchise tapi menawarkan kerja sama waralaba (franchise) atau sejenis waralaba sehingga dipersepsi sebagai waralaba. Sebaliknya ada yang memenuhi persyaratan sebagai waralaba, tapi memilih untuk secara legal formal menyebutkan kerja sama bisnisnya bukan-waralaba alias kemitraan, lisensi, dsb. Related ArticlesFranchise dan KemitraanWaralaba dan Kemitraan, Kenali Bedanya!
Read More (863 views)
Franchising Agar Pegawai Heba…
Saya menyebut ini sebagai “Program Internal Franchising”. Beberapa perusahaan belum banyak yang sudah mulai mempertimbangkan langkah ini. Para pegawai internal yang akan pensiun dibekali pengetahuan tentang operasional gerai bisnis yang akan diwaralabakan kepada mereka. Karena untuk pegawai internal, maka biasanya diberi pula program pembiayaan (financing) dalam arti modalnya bisa dicicil oleh pegawai tersebut. Tentu saja program seperti di atas diberikan kepada pegawai yang baik dan berpotensi sukses sebagai franchisee. Selain bagi pegawai yang pensiun, program ini tak jarang diberikan kepada pegawai yang sudah tidak bisa mendapatkan promosi karir lebih lanjut di dalam perusahaan tersebut. Dengan menjadi franchisee alias entrepreneur, seyogyanya ini merupakan promosi terbaik yang bisa ia peroleh. Bagi perusahaan, program ini bermanfaat pula untuk mencegah pegawai tersebut masuk atau pindah ke perusahaan kompetitor ketika karirnya mentok. Bila alasannya hanya untuk keperluan internal franchising, maka waralabanya akan terbatas dan tidak ditawarkan kepada umum. Hanya sistemnya berdasarkan waralaba, tapi waralabanya tidak ditawarkan kepada khalayak ramai. Bagaimana, apakah Program Internal Franchising ini menarik untuk dipertimbangkan di perusahaan Anda?
Read More (744 views)
Make the Brand Better, Not Ju…
Larry Light, konsultan dan mantan Chief Marketing Officer McDonald’s, menyingkap fakta bahwa ketika ia bergabung dengan McDonald’s di bulan September 2002, harga saham perusahaan ini anjlok dari nilai tertinggi USD 45.31 di bulan Maret 1999 menjadi USD 17.66. Harga saham ini terus merosot hingga sekitar USD 13 pada bulan Maret 2003. McDonald’s saat itu (terutama sekitar tahun 2001 hingga 2002) seperti burung unta yang menyembunyikan wajahnya ke lubang dalam tanah. Evaluasi berkala menunjukkan adanya penurunan kinerja dan kualitas brand experience yang tak kunjung berhasil diperbaiki. Bukannya terus berupaya memperbaiki kinerja dan terus mengukurnya, yang mereka lakukan justru meniadakan evaluasi tersebut. Konon alasannya adalah agar keseluruhan sistem tidak mengalami demoralisasi. Penurunan penjualan di masing-masing gerai disiasati dengan memperbanyak dan melakukan percepatan pembukaan gerai. Bahkan dalam satu periode disebutkan bahwa proyeksi pertumbuhan McDonald’s nyaris ekuivalen dengan pembukaan satu gerai setiap 4 jam! Larry Light dengan gamblang menyebutkan bahwa saat itu tidak ada upaya serius untuk memperbaiki buruknya pengelolaan merek yang sudah besar ini, dan strategi waralaba yang digunakan sangat mengabaikan strategi branding yang baik. Fokus mereka pada promosi, iklan, dan menciptakan traffic atau kerumunan pelanggan melalui harga murah namun mengorbankan faktor kualitas produk. Akibatnya, kinerja setiap gerai mengalami penurunan dari waktu ke waktu. Branding bukan sekedar kegiatan periklanan maupun pemasaran. Branding merupakan strategi bisnis secara keseluruhan. Gejala McDonald’s ini merupakan “perangkap” yang senantiasa mengintai setiap bisnis waralaba. Banyak merek waralaba yang dibangun menjadi besar melalui pertumbuhan jumlah gerai namun gagal menjaga kinerja masing-masing gerai, kualitas produk dan pelayanannya. Larry Light menyebut perangkap ini, “making the brand bigger, but not making the brand better”. *Artikel pendek ini terinspirasi oleh buku “Six Rules for Brand Revitalization” dari Larry Light. Related ArticlesMcDonald's: Bisnis Burger atau Properti?Bagaimana McD Menjadi Bisnis Properti
Read More (781 views)
Strategi "Lower Hanging Fruit…
Lower hanging fruits berarti buah yang letaknya rendah, mudah dijangkau. Dalam konteks menjual waralaba, istilah ini ditujukan untuk mengingatkan para pewaralaba, terutama yang masih baru, dengabn konsep yang bisnisnya sensitif dengan kualitas layanan alias kinerja pegawainya, agar mengarahkan sasaran atau target pengembangan ke investor dan wilayah yang “lebih mudah”. “Lebih mudah” di sini memiliki beragam makna. Lebih Mudah Dalam Menjual Waralabanya Menjual waralaba relatif lebih mudah kepada para pelanggan, sanak keluarga, dan sahabat karib. Bila Anda yakin konsep bisnis dan model waralaba Anda saling menguntungkan, saya yakin para pelanggan Anda adalah calon investor yang paling potensial. Selain itu tentu saja sanak keluarga dan sahabat karib Anda. Lebih Mudah Memaafkan Bagaimanapun juga menjadi pewaralaba yang masih baru berarti Anda akan melewati learning curve alias kurva belajar. Ini berarti Anda harus menghindari kehadiran terwaralaba yang super kritis, super menuntut, dan super pemarah. Dalam menyeleksi calon terwaralaba, Anda harus cukup bijak untuk tidak terlalu agresif mengejar jumlah gerai dan jumlah terwaralaba yang banyak sebelum anda mulai menguasai seluk beluk bisnis Anda dan pengelolaan jaringan waralaba Anda. Para calon investor yang sangat demanding (menuntut) sebaiknya dihindari, terutama di tahun-tahun awal pewaralabaan bisnis Anda. Lebih Mudah Dalam Pengawasan Kualitas Meski hal ini tergantung jenis bisnis Anda, pengawasan dan standarisasi kualitas sangat penting karena Anda meminjamkan merek Anda kepada pihak lain. Gerai retail mungkin relatif tidak terlalu sensitif dibandingkan dengan restoran. Pada umumnya lokasi geografis berperan penting di sini. Lokasi yang jauh akan lebih menyulitkan Anda untuk melakukan pengawasan. Lebih Mudah Sukses Meski saya letakkan di bagian akhir, aspek ini sangat penting. Keberhasilan gerai pertama atau beberapa gerai di awal pewaralabaan Anda sangat menentukan kepercayaan calon investor lainnya. Bila Anda terburu-buru dan dengan mudah menyetujui lokasi yang tidak potensial, kemudian gagal alias tutup, maka kepercayaan calon investor yang lain akan relatif sulit Anda peroleh. Pilih lokasi yang memiliki kriteria sangat mirip dengan lokasi-lokasi Anda yang telah terbukti sukses. Bila biasanya yang sukses itu di sekitar sekolah, maka prioritaskan yang dekat sekolah dulu. Jangan buru-buru buka di tengah pemukiman. First impressions count … Kesan pertama sangat menentukan … Related ArticlesChecklist Pertimbangan LokasiJenis Lokasi UsahaSeleksi Lokasi Resto
Read More (6595 views)
5 Checklists: Siap Waralaba-k…
Bila Anda ingin mewaralabakan atau menawarkan kerja sama kemitraan dalam arti luas, Anda harus memenuhi kriteria sebagai berikut: Outlet Anda memiliki laba bersih yang cukup untuk franchisee dan franchisor. Bisnis Anda mudah diduplikasi. Bisnis Anda relatif mudah diawasi atau disupervisi. Bisnis Anda mampu bersaing dalam jangka panjang, alias sustainable. Bisnis Anda diminati banyak orang atau pemilik modal. Laba Bersih Dalam artikel Superior Business, dijelaskan bahwa bisnis yang diwaralabakan harus memiliki omset dan profit yang di atas rata-rata. Mengapa? Pertama, karena investasinya dibebani biaya waralaba di muka (upfront franchise fee). Kedua, laba usahanya dipotong oleh biaya bulanan (royalti, management fee, dan/atau biaya supervisi dan konsultasi). Jadi modal lebih besar, laba lebih kecil, bila dibandingkan dengan buka usaha sendiri. Merek dan sistem manajemen adalah nilai lebih alias manfaat yang harus dinikmati oleh franchisee. Dampak dari merek adalah omset yang lebih tinggi di atas rata-rata. Dampak dari sistem manajemen adalah pengendalian biaya yang berujung pada laba yang lebih baik, sehingga laba ini cukup untuk dibagi untuk franchisee dan franchisor. Duplikasi Bisnis yang mudah diduplikasi itu tidak bergantung pada skill khusus seseorang. Segala sesuatunya mudah dipelajari dan dipraktekkan. Istilah yang sering digunakan adalah “system-dependent, not person-dependent”. Yang dimaksud dengan sistem di sini adalah Pedoman Operasional (dokumen SOP) berikut sistem implementasinya (rekrutmen SDM, pelatihan dan supervisi pelaksanaannya). Mudah Diawasi Bisnis yang tidak mudah diawasi adalah bisnis yang tidak bisa “ditinggal” oleh pemilik bisnisnya. Jadi bisnis yang relatif mudah diawasi itu biasanya memiliki sistem yang dibakukan, termasuk sistem pengawasannya. Sustainable Bisnis yang sering dianggap sebagai contoh bisnis yang tidak sustainable untuk jangka panjang adalah “es kepal milo”. Ada juga yang sempat terlihat tidak sustainable tapi ternyata ada yang mampu bertahan lama, yaitu bubble tea yang saat ini terlihat pasarnya dikuasai oleh Chatime. Untuk mampu bersaing dalam jangka panjang ada banyak faktor tentunya, mulai dari kecukupan modal, pengembangan organisasi dan kompetensi timnya. Selain itu ada pengaruh faktor eksternal seperti persaingan dan krisis ekonomi yang turut menentukan keberhasilan dalam upaya menjadi sustainable tersebut. Selain konteks keberlangsungan bisnisnya, aspek sustainable ini menyangkut perlindungan merek dan unsur HKI lainnya. Tanpa adanya perlindungan HKI, suatu bisnis akan lebih sulit untuk exist dalam jangka panjang, apalagi bila merek itu ternyata dimiliki pihak lain. Diminati Banyak Pemilik Modal Aspek ini memang tergantung profil target marketnya. Kalau target marketnya niche (sempit, spesifik, terbatas), tentu jumlah outlet yang bisa dibuka tidak bisa banyak, sehingga jumlah pemilik modal yang perlu digaet juga relatif lebih sedikit dibandingkan dengan bisnis yang target marketnya sangat luas/besar.
Read More (756 views)
Menghitung Franchise Fee
Biaya-biaya waralaba (franchise fees) pada umumnya terdiri dari: Biaya waralaba di muka (upfront franchise fee) dan/atau biaya jada persiapan bisnis Biaya royalti bulanan Biaya bulanan lainnya berupa biaya support franchise, atau management fee, atau biaya supervisi & konsultasi Pada franchise ritel modern, muncul “biaya distribusi” yang sebenarnya dapat dianggap sebagai biaya ongkos kirim dan supply chain management. Tulisan ini merupakan rule of thumb (pedoman umum, atau garis besarnya saja) dalam menghitung biaya-biaya waralaba. Biasanya saya menggunakan pedoman ini untuk saringan awal bagi yang hendak mewaralabakan atau berkonsultasi mempersiapkan waralaba bisnisnya. Saya menamakan medote ini “Rule of Two”. Mengapa saya namakan demikian?, karena biasanya saya mengatur simulasi untuk menemukan keseimbangan berupa: profit franchisee minimal dua kali (2x) dari biaya franchise bulanan (biasanya royalty dan/atau management fee) yang dibayarkan ke franchisor. Rule of Two Pertanyaan utama saya untuk menggali prinsip rule of two adalah, “Berapa profit bisnis Anda dalam setahun, atau rata-ratanya dalam sebulan?” – misal jawabannya adalah Rp30 juta sebulan. Angka Rp30 juta ini harus diperjelas dulu, bahwa angka ini sudah dipotong biaya-biaya operasional pada umumnya. Selain itu angka HPP (Harga Pokok Penjualan) seharusnya sesuai dengan produk barang/jasa yang terjual. Juga sudah dipotong unsur penyimpangan nilai HPP dalam batas wajar (kalau ada kasus barang rusak dan barang hilang, harus ada batasannya sesuai kemampuan kontrol manajemennya). Nah, apabila angka Rp30 juta ini sudah “bersih” maka: Angka ini akan kita bebani biaya royalti, maksimum sepertiga, yaitu Rp10 juta. Selanjutnya kita cek angka Rp10 juta ini berapa persen dari nilai penjualan bersih. Misal penjualan bersihnya adalah Rp250 juta, maka Rp10 juta ini adalah 4% dari Nilai Penjualan Bersih. Kalau dipotong Rp10 juta sebagai biaya royalti (biaya ini bisa kita split menjadi biaya royati dan management fee), maka sisa yang tersedia bagi franchisee sebagai laba usahanya tinggal Rp20 juta per bulan. Nah, dari angka Rp20 juta ini, bila kita targetkan balik modal 18 bulan, maka biaya maksimum untuk belanja modal alias capex (dan biaya perizinan + pelatihan awal + biaya awal waralaba) adalah 18 x Rp20 juta = Rp360 juta. Kalau total belanja modal (dan biaya perijinan + pelatihan awal) nya mencapai Rp300 juta, maka biaya awal waralaba yang wajar maksimal hanya Rp60 juta saja. Kalau total belanja modal hanya Rp150 juta, maka biaya awal waralaba yang wajar maksimal bisa saja menjadi Rp110 juta. Bagaimana kalau belanja modal (dan biaya perizinan + pelatihan awal) nya mencapai angka Rp420 juta? Bila kita asumsikan biaya awal waralabanya Rp60 juta, maka total capex (dan biaya perizinan + pelatihan awal + biaya awal waralaba) menjadi Rp480 juta. Ini berarti payback period-nya bukan 18 bulan, melainkan menjadi 24 bulan (Rp480 juta dibagi Rp20 juta). Tentu saja kita bisa mengembalikan payback period-nya menjadi 18 bulan dengan melakukan adjustment terhadap besaran royalti-nya. Atau mungkin juga dengan menekan biaya capex dan biaya awal waralabanya. Bermain-main dengan angka ini sebenarnya hal yang menarik, apalagi bila untuk tujuan yang mulia: agar penawaran waralaba Anda menjunjung tinggi nilai fairness dan win-win bagi para franchisee Anda. Perlu saya tambahkan pula bahwa struktur biaya operasional dan capex Anda biasanya tidak sama dengan kompetitor maupun bisnis sejenis lainnya. Anda harus memahami angka-angka riil bisnis anda sendiri. Setelah pebisnis tersebut merasa yakin bahwa kinerja bisnisnya mampu memenuhi kriteria “Rule of Two” tadi, maka konsultasi persiapan waralaba dapat dilanjutkan dengan agenda pertamanya adalah melakukan verifikasi terhadap “keyakinan” terkait kriteria “Rule of Two” tersebut, selain kesiapan waralaba dari beberapa aspek operasional lainnya. Bila belum memenuhi kriteria “Rule of Two”, bahkan setelah melakukan adjustment terhadap royalti masih sulit memenuhi kriteria tersebut, maka sebaiknya dilakukan upaya-upaya untuk memperbaiki kinerja bisnisnya lebih dahulu (baca artikel Superior Business). Bila ada pertanyaan atau hal yang kurang jelas, anda bisa berkirim email ke admin@klikfranchise.com Related ArticlesJangka Waktu Balik Modal ("BEP")
Read More (1944 views)
Perjanjian Waralaba
Mengenai Perjanjian Waralaba, kita perlu mengacu pada cakupan minimum yang diwajibkan dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 42 Tahun 2007 tentang Waralaba. Pasal 4 mengatur bahwa Perjanjian Waralaba harus dalam Bahasa Indonesia dan tunduk pada system hukum di Indonesia. Pasal 5 mengatur cakupan minimum yang harus tertulis dalam Perjanjian Waralaba. Pasal 6 mengatur harus ada kejelasan apakah Penerima Waralaba (terwaralaba, atau franchisee) memiliki hak untuk mewaralabakan lebih lanjut kepada pihak lain. Berikut kutipan Peraturan Pemerintah tersebut: BAB IIIPERJANJIAN WARALABA Pasal 4 (1) Waralaba diselenggarakan berdasarkan perjanjian tertulis antara Pemberi Waralaba dengan Penerima Waralaba dengan memperhatikan hukum Indonesia. (2) Dalam hal perjanjian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditulis dalam bahasa asing, perjanjian tersebut harus diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Pasal 5 Perjanjian Waralaba memuat klausula paling sedikit : nama dan alamat para pihak; jenis Hak Kekayaan Intelektual; kegiatan usaha; hak dan kewajiban para pihak; bantuan, fasilitas, bimbingan operasional, pelatihan, dan pemasaran yang diberikan Pemberi Waralaba kepada Penerima Waralaba; wilayah usaha; jangka waktu perjanjian; tata cara pembayaran imbalan; kepemilikan, perubahan kepemilikan, dan hak ahli waris; penyelesaian sengketa; dan tata cara perpanjangan, pengakhiran, dan pemutusan perjanjian. Pasal 6 (1) Perjanjian Waralaba dapat memuat klausula pemberian hak bagi Penerima Waralaba untuk menunjuk Penerima Waralaba lain. (2) Penerima Waralaba yang diberi hak untuk menunjuk Penerima Waralaba lain, harus memiliki dan melaksanakan sendiri paling sedikit 1 (satu) tempat usaha Waralaba. *Draft lengkap PDF dari Peraturan Pemerintah ini dapat diunduh langsung dari https://peraturan.go.id/common/dokumen/ln/2007/pp42-2007.pdf
Read More (751 views)
BO Gerobak, Bukan Waralaba ?
Suatu kerjasama disebut waralaba apabila memenuhi beberapa persyaratan, yang mungkin berbeda antara satu negara dengan negara lain, juga antara satu konsultan dengan konsultan lain. Salah satu pedoman kriteria kerjasama yang positif dalam meredam kecurangan waralaba, dikenal mengakibatkan efek samping yang disebut sebagai “accidental franchise” (mendadak waralaba). Mengapa disebut “mendadak waralaba”? Begini kisahnya. Setelah kriteria kerjasama yang dianggap waralaba ini dipublikasikan oleh FTC (Federal Trade Commission), beberapa pebisnis yang tidak merasa hendak mewaralabakan bisnisnya ternyata terjaring oleh kriteria tersebut, sehingga wajib mendaftarkan atau menyerahkan dokumen yang dikenal sebagai UFOC (Uniformed Franchise Offering Circular) yang kemudian diganti menjadi FDD (Franchise Disclosure Document) kepada pemerintah setempat. Adapun kriteria ini adalah: (1) menggunakan merek milik salah satu pihak yang bekerjasama, (2) ada standar operasional atau pengendalian yang signifikan dari pemilik merek, (3) ada kegiatan pemasaran yang terpusat atau dikoordinir oleh pemilik merek, dan (4) ada biaya yang dibayar di muka atau sebelum 6 bulan pasca opening sebesar minimum USD 500 kepada pemilik merek. Bila suatu kerjasama yang mengandung 3 dari 4 hal tersebut, maka pemilik merek wajib untuk menyerahkan dan mendaftarkan dokumen UFOC atau FDD nya ke pemerintah setempat. Mari kita kupas BO gerobak yang masih banyak peminatnya ... BO Gerobak BO gerobak memiliki kecenderungan hanya memberikan penggunaan merek dan biaya yang dibayar di muka dalam kemasan paket dengan gerobaknya, yang kemudian dilanjutkan dengan penjualan produk. Dalam hal gerobak ini merupakan gerobak makanan, produk bisa berarti bahan makanan. Jadi BO gerobak seringkali hanya memenuhi 2 dari 4 kriteria tersebut. Dua kriteria yang sering tidak dipenuhi adalah tidak adanya pengendalian atau pengawasan yang signifikan (meski mungkin saja ada standar operasional yang sudah disusun dan baku), serta tidak ada kegiatan pemasaran yang dikoordinir oleh pemilik merek. Tidak adanya pengawasan ini membuat merek yang digunakan para mitra/investor mereka tidak terjamin standarnya, dan berpeluang merugikan mitranya karena bisa saja pengalaman buruk di satu lokasi membuat pelanggan potensial menghindari merek tersebut. Sebenarnya BO gerobak seperti ini lebih baik membiarkan mitranya menggunakan merek sendiri, alias menggunakan skema Paket Usaha saja tanpa embel-embel merek tertentu. Waralaba, Tapi ... Setelah memahami ciri-ciri kerjasama yang memiliki kriteria sebagai waralaba, dan melihat kenyataan bahwa BO gerobak tampaknya memang bukan waralaba, maka kita coba menilai kemungkinan adanya “waralaba” yang tidak memenuhi kriteria ini. Penggunaan merek merupakan hal yang justru menjadi ciri utama setiap kerjasama yang mengaku waralaba, maupun yang dianggap sebagai waralaba. Pengendalian atau pengawasan adalah hal yang tidak selalu dipraktekkan. Bahkan kerjasama dengan format bisnis rumah makan pun kadang tidak melakukan pengendalian ini. Seolah kasih pinjam merek, jual resep, selanjutnya terserah Anda (terwaralaba) tanpa pengendalian, standarisasi menjadi sia-sia. Tanpa pengendalian, terwaralaba menghadapi ancaman terbentuknya citra yang buruk terhadap merek dan produk yang diwaralabakan. Strategi dan kegiatan pemasaran terpusat juga jarang dilakukan. Pewaralaba seringkali lebih fokus pada promosi untuk menjual waralaba (atau gerobak) mereka. Hal ini sangat disayangkan, karena seyogyanya pewaralaba memikirkan strategi meningkatkan penjualan gerai para terwaralabanya. Jadi, yang masih perlu diselidiki adalah komitmen terkait pengendalian kualitas, termasuk sistem support, dan komitmen terkait strategi dan kegiatan promosi pemasaran yang terpusat. Bila dua poin ini tidak ada dalam praktek kerjasama, maka kerjasama BO gerobakan itu memang bukan waralaba. Lisensi-kah? Meski tidak terikat komitmen menyelenggarakan kegiatan promosi pemasaran yang terpusat, lisensi biasanya menerapkan konsep pengawasan. Hal ini bertujuan untuk menjaga brand image. Semoga tulisan ini memberikan pencerahan bagi kita semua. Related ArticlesFranchise dan KemitraanPaket UsahaWaralaba dan Kemitraan, Kenali Bedanya!
Read More (1063 views)
Karyawan Membeli Franchise Pa…
Membangun bisnis sambil menjadi karyawan bukanlah hal yang mudah. Bagi seorang karyawan yang ingin membangun bisnis, tentu akan menghadapi berbagai kesulitan. Kesulitan yang dihadapi bisa beragam, mulai dari ide, pelaksanaan, ataupun dalam meluangkan waktu. Membeli franchise dapat menjadi alternatif untuk karyawan dalam menambah saluran pendapatan (revenue stream). Mungkin terbesit di benak Anda, kalau beli franchise bagaimana mengelolanya nanti? Well, jika itu yang terpikir di benak Anda saat ini, mungkin Anda perlu berkenalan dengan franchise pasif. Kalau franchise adalah hubungan kontrak kerja sama antara franchisor (pemilik merek franchise) dengan franchisee (pengguna merek franchise) meliputi penggunaan merek dan sistem bisnis. Maka, secara umum franchise pasif adalah kontrak kerja sama antara franchisor dengan franchisee di mana pihak franchisee tidak perlu terlibat ke dalam bisnis. Konsep franchise pasif mirip seperti berinvestasi saham, uang yang diinvestasikan 100% dari investor dan dikelola oleh perusahaan. Anda tetap memiliki perusahaan. Dalam franchise pasif, pengelolaan diserahkan sepenuhnya kepada franchisor, sedangkan investor tidak perlu melakukan apapun. Investor hanya perlu menunggu laporan keuangan bulanan dan pembagian keuntungan. Tommy Andri Wardhana adalah salah satu penggagas dan pelaku franchise pasif. Dilansir dari Viva.co.id, Tommy yang pernah menjadi manajer franchise Alfamart mengatakan “franchise sebetulnya adalah sebuah sistem freedom dalam hal mengolah usaha apapun di mana pada dasarnya pemilik waralaba atau franchisor akan memberikan ‘know how business’ kepada pelaku usaha waralaba atau franchisee”. Menurutnya, banyak pengusaha perlu untuk mempertahankan rantai keberhasilan usahanya dengan tetap mengontrol dan memegang kendali tanpa harus menghilangkan esensi dari bentuk franchise murni tersebut. Dari hal tersebut, tercetuslah ide franchise pasif yang telah di gunakan Alfamart sejak tahun 2001. Tommy menilai, dengan menggunakan model franchise pasif ini akan menduplikasi bisnis 10 kali lebih cepat dari biasanya dan bisa meminimalkan potensi bubble economy. Risiko Anda pun dapat di minimalisasi, karena yang menjalankan bisnis Anda adalah pemiliknya langsung (secara tidak langsung). Semua kembali kepada penilaian Anda. Setiap sistem akan tetap memiliki kelemahan, dalam franchise pasif pun memiliki kelemahan. Misalnya adalah, dibanding dengan saham, berinvestasi pada franchise pasif biasanya membutuhkan dana awal yang relatif lebih besar. Apakah Anda tertarik mengalokasikan dana di franchise pasif? Referensi Finansialku.com Viva.co.id Related ArticlesFranchised Managed (by Franchisor)Waralaba untuk Pensiunan
Read More (767 views)
Superior Business
Bisnis yang diwaralabakan seyogyanya merupakan suatu bisnis yang masuk kategori Superior Business. Faktanya, tidak semua yang hendak menjadi pemberi waralaba masuk kriteria ini. Mengapa harus superior bisnisnya? Beban Biaya Awal Waralaba Investasi yang dibutuhkan untuk bisnis waralaba relatif lebih tinggi daripada bisnis dengan merek sendiri. Total investasi yang dikenai biaya awal waralaba seringkali cukup signifikan nilainya. Biaya awal waralaba ini bukan hal yang tidak wajar. Investor mendapat bantuan yang memperlancar persiapan gerai barunya. Selain itu biaya awal waralaba menjadi semacam royalti yang dibayar di muka, selain nantinya ada royalti yang harus dibayarkan bulanan. Beban Biaya Royalti Bulanan Selain biaya awal waralaba, biasanya ada biaya royalti bulanan. Biaya royalti bulanan ini merupakan imbalan atas peran merek yang diangggap memberikan peluang pencapaian nilai penjualan yang lebih tinggi dibandingkan dengan kalau menggunakan merek lain, atau merek milik investor sendiri. Biaya royalti bulanan ini menjadi komponen tambahan pada beban biaya operasional, sehingga berdampak pada berkurangnya laba usaha. Selain biaya royalti kadang ada biaya jasa supervise dan konsultasi, yaitu sistem support dari pemberi waralaba kepada penerima waralaba. Mundurnya Jangka Waktu Balik Modal Bayangkan, biaya investasi lebih tinggi, laba usaha lebih rendah. Akibatnya, jangka waktu balik modal akan mundur bila dibandingkan dengan bisnis milik Pemberi Waralaba sendiri. Tentu saja asumsi total penjualan harus bisa tinggi karena memanfaatkan merek dari Pemberi Waralaba. Dengan demikian diharapkan laba yang lebih rendah ini tetap lebih tinggi nilainya dibandingkan dengan membuka usaha dengan merek sendiri. Untuk memberikan gambaran mengenai kinerja yang kurang bagus, perhatikan ilustrasi di bawah ini: Ada kalanya pemilik merek hanya mampu mencapai angka penjualan Rp20 juta, yang berarti jangka waktu balik modalnya 25 bulan (bila milik sendiri). Namun karena hendak mewaralabakan bisnisnya, maka ia menghitung target yang dibutuhkan agar penawarannya menarik, lalu menemukan target itu adalah Rp32 juta, agar balik modal Penerima Waralaba bisa 26 bulanan, seperti gambar berikut ini: Agar penawarannya menarik, maka ia membuat proyeksi keuangan dengan target penjualan Rp32 juta. Itu sebabnya tampilan angka “proyeksi” kinerja keuangan dalam brosur beberapa penawaran waralaba, BO, dan kemitraan seringkali merupakan “target” yang sulit dicapai , bahkan ada beberapa pemilik merek yang tidak pernah mencapai target tersebut, atau kalaupun pernah mencapai angka tersebut , hanya satu dua gerai saja dari puluhan gerai yang ada. Ketika pengalaman Pemberi Waralaba hanya di level penjualan Rp20 juta dan bila Penerima Waralaba tidak cukup beruntung untuk memiliki kinerja di atas Pemberi Waralaba, maka jangka waktu balik modal Penerima Waralaba ini adalah 43 bulan, bukan 27 bulanan sebagaimana proyeksi keuangan yang disajikan Pemberi Waralaba. Pemberi Waralaba seyogyanya menjalankan bisnis dan menawarkan waralaba dengan jujur dan transparan. Calon investor harus jeli dan selalu menanyakan apakah angka target penjualan itu merupakan angka yang relatif moderat dan tidak sulit dicapai, dan gerai mana saja yang mencapai angka tersebut, atau ada berapa gerai yang benar-benar mencapai angka penjualan itu.
Read More (795 views)
Waralaba dan Kemitraan, Kenal…
Kita melihat fenomena semakin banyaknya penawaran Business Opportunity (selanjutnya disebut: Kemitraan) sebagai alternatif lain dari waralaba. Tren ini muncul karena persyaratan waralaba yang dianggap terlalu berat untuk dipenuhi. Penawaran Kemitraan ini memang banyak dijumpai dalam bentuk gerobak kuliner makanan dan minuman, meski sebenarnya beberapa pola kerja sama kemitraan ada yang berbentuk inti sampai plasma dan bentuk kerja sama lainnya. Menurut Utomo Njoto, pakar waralaba, Kemitraan Gerobak memiliki kecenderungan hanya memberikan penggunaan merek dan biaya yang dibayar di muka dalam kemasan paket dengan gerobaknya, yang kemudian dilanjutkan dengan penjualan produk. Kemitraan gerobak juga memiliki kecenderungan tidak adanya pengawasan yang dilakukan oleh pemilik merek. Hal tersebut membuat tidak terstandarisasinya kualitas produk yang mungkin akan merugikan pemilik merek dan pembeli yang kecewa karena mendapat pengalaman buruk di suatu lokasi. Kriteria Menjadi Waralaba Sebagai informasi, berikut adalah beberapa kriteria yang harus dipenuhi apabila ingin mendaftar menjadi waralaba berdasarkan PP Nomor 42 Tahun 2007 tentang Waralaba: Memiliki ciri khas usaha Terbukti sudah memberikan keuntungan Memiliki standar atas pelayanan dan barang dan/atau jasa yang ditawarkan yang dibuat secara tertulis Mudah diajarkan dan diaplikasikan Adanya dukungan yang berkesinambungan HKI yang telah terdaftar Yang wajib mendaftar sebagai waralaba adalah Pemberi Waralaba dan Penerima Waralaba. Pemberi Waralaba wajib mendaftarkan Prospektus Penawaran Waralabanya ke Kementrian Perdagangan (Kemendag). Penerima Waralaba wajib mendaftarkan Perjanjian Waralabanya di Pemda (Dati II setempat, atau Dati I untuk wilayah DKI). Setelah terdaftar, Pemberi Waralaba dan Penerima Waralaba wajib menempelkan logo "W" (waralaba) dan menyampaikan Laporan Kegiatan Tahuan sesuai pedoman di Lampiran Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 71 Tahun 2019. PDF peraturannya bisa diunduh di http://jdih.kemendag.go.id/peraturan/download/1868/2 Bedanya Kemitraan dengan Waralaba Setelah memahami kriteria untuk menjadi waralaba, kita melihat poin "terbukti menghasilkan keuntungan", maka menjadikan waralaba sebagai pilihan yang lebih minim risiko. Ingat, minim risiko bukan berarti tidak memiliki risiko. Hal tersebut berbeda dengan dengan Kemitraan yang belum mendaftarkan diri sebagai waralaba yang sudah atau belumnya "terbukti menghasilkan keuntungan" sulit untuk diketahui. Melihat Kemitraan dengan waralaba bukanlah dalam "sekali pandang". Hal tersebut sulit untuk dilakukan. Dilansir dari Bisnisukm.com, Utomo Njoto menyatakan terdapat 6 aspek yang dapat dilihat untuk membedakannya: Merek Waralaba selalu menggunakan merek dari pemberi waralaba, sementara itu untuk Kemitraan tidak wajib sama dengan merek yang menawarkan (menjual) Kemitraan. Fokusnya Waralaba berfokus pada sistem bisnis, sementara Kemitraan umumnya bicara tentang "paket usaha" yang di dalamnya terdiri dari mesin-mesin, bahan baku, dan pelatihan untuk menjalankan bisnis tersebut, tetapi mereknya boleh merek sendiri. Marketing Communication Marketing communication untuk waralaba biasanya dilakukan terpusat, artinya dipersiapkan dan dilaksanakan oleh pemberi waralaba, sementara pada Kemitraan tidak harus terpusat. Dokumen HKI Di Indonesia waralaba itu harus memiliki sertifikat merek atau setidaknya surat permohonan pendaftaran merek. Hal yang sama berlaku pula pada Kemitraan yang menawarkan penggunaan merek yang sama. Regulasi Waralaba daitur melalui PP dan Permendag yang mengatur harus ada STPW (Surat Tanda Pendaftaran Waralaba), bila hendak menawarkan waralaba, sementara saat ini Kemitraan belum ada regulasi mengenai pendaftaran serupa. Hubungan kemitraan sebenarnya diatur dalam regulasi PP Nomor 17 Tahun 2013 tentang Pelanksanaan UU Nomor 20 Tahun 2008. Sanksi Dalam waralaba terdapat peringatan tertulis sebanyak tiga kali dan denda, sementara Kemitraan belum memiliki peraturan yang jelas. Kita telah memahami lebih jauh tentang Kemitraan dan waralaba. Membeli unit Kemitraan tidak melulu lebih buruk, terkadang Kemitraan dapat memberikan keuntungan yang lebih baik dibanding waralaba karena melihat usia dan "size" Kemitraan yang masih terbuka lebar untuk bertumbuh dengan pesat. Seperti prinsip investasi, potensi keuntungan yang besar akan memberi potensi risiko yang besar pula, hal tersebut sebanding. Yang wajib diingat adalah semua bisnis pasti memiliki risiko. Semua bergantung bagaimana Anda dalam "mengelola" risiko tersebut. Jadi, Anda tertarik yang mana Kemitraan atau Waralaba?
Read More (860 views)
Waralaba untuk Pensiunan
Waralaba untuk pensiunan - Karena faktor usia, orang-orang yang menjelang pensiun cenderung menghindari risiko tinggi. Bila berinvestasi, mereka memerlukan penghasilan yang relatif stabil. Hal ini sangat penting, terutama bagi pensiunan yang belum memiliki pundi-pundi pengaman untuk kebutuhan rutin harian mereka. Waralaba sangat berpotensi membantu mereka untuk mendapatkan penghasilan untuk kebutuhan rutin mereka. Waralaba Risiko Rendah Waralaba dengan risiko kegagalan yang rendah biasanya dapat ditelusuri dari sejarah dan perkembangan bisnis waralabanya. Jam terbang sangat menentukan di sini. Jadi yang perlu diperhatikan antara lain informasi mengenai kapan mulai berdiri, kapan mulai diwaralabakan, berapa jumlah gerai waralabanya, berapa yang berhasil dan berapa yang tutup, berapa yang beralih kepemilikan. Beralihnya kepemilikan perlu dicermati, meski tidak mutlak menunjukkan kurang baiknya manajemen dari waralaba tersebut. Namun dari sana kita bisa mencari jejak penyebab kegagalannya apa saja, apakah Anda dapat menghindarinya atau Anda melihatnya sulit dihindari?, Bertanya kepada pewaralaba mengenai kunci sukses dan faktor penyebab kegagalan juga sangat dianjurkan. Bertanya kepada pihak-pihak yang pernah menjadi terwaralaba juga patut dipertimbangkan, meski Anda harus hati-hati agar tidak termakan kekecewaan yang belum tentu karena kesalahan pewaralaba. Beberapa terwaralaba mengalami kegagalan karena salah kelola di pihak terwaralaba itu sendiri. Hobi Hobi seringkali disebut sebagai petunjuk untuk menemukan minat dan hasrat (passion) anda. Kalau Anda hobi masak, ambil waralaba restoran. Bila Anda hobi mengajar, ambil waralaba pendidikan. Pernyataan tersebut separuh benar. Faktanya, hobi tidak identik dengan minat dan hasrat. Ada banyak detail lain yang harus diperhatikan, yaitu keterampilan, dan kemampuan menikmati rutinitas keseharian bisnis tersebut. Hobi mengajar juga harus memperhatikan tambahan mengenai rentang usia anak didik. Beberapa orang lebih dapat menikmati mengajar usia SMP dan SMA dibandingkan mengajar anak-anak usia balita , TK dan SD. Keterampilan Bila Anda bukan membeli waralaba yang menjadikan Anda investor pasif (model waralaba dari Indomaret dan Alfamart adalah investor pasif), maka anda harus punya ketrampilan kepemimpinan dan komunikasi dengan bawahan. Anda juga harus siap mental dalam menghadapi perilaku para pegawai Anda nantinya. Kesiapan mental, keterampilan kepemimpinan dan keterampilan komunikasi merupakan modal dasar Anda menjalani kesibukan rutinitas keseharian bisnis waralaba Anda. Bila Anda membutuhkan pelatihan mengenai keterampilan tertentu, tanyakan kepada pewaralaba untuk mengatasi kebutuhan Anda terkait keterampilan tersebut. Kecukupan Modal Informasi jumlah modal dari pewaralaba yang biasa dicantumkan dalam brosur seringkali dikecil-kecilkan untuk menarik minat calon investor. Komponen cadangan tunai awal yang biasanya dibutuhkan untuk menjaga arus kas hingga 6 bulan pertama seringkali tidak dicantumkan, demikian juga dengan biaya sewa. Bahkan beberapa waralaba tidak mencantumkan biaya renovasi, bila dianggap menggunakan ruko milik sendiri atau di garasi rumah. Pastikan Anda memiliki informasi yang jelas dan dana yang anda miliki benar-benar cukup untuk keperluan operasional 6 bulan pertama seandainya omset penjualan dalam 6 bulan pertama itu kurang memuaskan. Jangan sampai di tengah jalan, misal bulan ketiga, anda kehabisan modal sehingga harus menggadaikan mobil anda untuk menutup arus kas negatif. Waralaba itu meminimalkan risiko tapi tidak menihilkan risiko. Harapan saya, tulisan ini membantu para pensiunan dan calon pensiunan dalam memilih waralaba, juga bagi para pewaralaba dalam menyeleksi dan mengarahkan pensiunan untuk menjadi terwaralaba yang berhasil. Kecukupan modal di sini berarti pula masih ada cadangan tunai untuk kebutuhan pribadi, termasuk untuk kebutuhan darurat yang mendadak, dalam bentuk tabungan dan deposito. Juga, jangan letakkan telur dalam satu keranjang. Artinya selain investasi di waralaba, miliki pula investasi lainnya seperti reksadana, logam mulia, dan sebagainya. *Artikel ini pernah dimuat di Majalah Franchise Indonesia tahun 2015
Read More (730 views)
Rental Revenue Sharing
Berbeda dengan franchise, Rental Revenue Sharing adalah bentuk kerja sama yang perizinan dan perpajakan dari bisnis di lokasi tetap menggunakan nama pemilik merek. Dalam hal ini pemilik merek dianggap menyewa lokasi milik pihak lain (selanjutnya kita sebut Mitra). Nah, lingkup objek yang disewakan ini bisa beragam. Yang paling sederhana adalah sekedar menyewakan properti (bangunan atau ruang usaha). Sedikit di atas sewa properti, bisa ditambahkan fasilitas lainnya seperti lemari, instalasi dapur, dan perlengkapan lain yang “melekat” pada bangunan. Pemilik merek akan melakukan investasi, alias membawa asset, berupa peralatan dan perlengkapan untuk menjalankan Bisnis yang tidak movable alias tidak melekat pada gedung/bangunan. Dalam hal ini kedua pihak hanya mengikat perjanjian kerja sama dan tidak membentuk badan usaha joint venture (JV) maupun join operation (KSO). Selain skema tersebut, bisa juga pemilik merek menawarkan skema seluruh investasi dilakukan oleh Mitra, sehingga pemilik merek menyewa fasilitas yang secara keseluruhan dimodali oleh Mitra tersebut. Skema ini disebut Revenue Sharing, karena dihitung dari revenue/omset, bukan profit. Contoh: Kemitraan FORE, Kemitraan KFC yang menggunakan skema Revenue Sharing.
Read More (1279 views)
Franchise Resale (Take Over)
Indomaret dan Alfamart kadang memiliki penawaran Franchise Take Over, yaitu pengalihan kepemilikan suatu outlet yang biasanya sudah cukup stabil kinerja bulanannya, dan sudah diamankan biaya sewanya sesuai kebutuhan jangka waktu perjanjian waralaba. Selain pola buka sendiri lalu jual sebagai Franchise Takeover seperti Indomaret dan Alfamart, Franchise Resale atau Take Over bisa juga terjadi antara franchisee yang bermaksud mengakhiri kerja sama sebelum berakhirnya perjanjian kerja sama. Tidak semua Franchise Resale dikarenakan merugi, karena bisa saja ada kebutuhan keuangan yang cukup mendesak. Franchise Resale yang kondisinya merugi pun belum tentu tidak bisa diperbaiki, terutama kalau dikarenakan franchisee tersebut salah kelola. Kadang bisa terjadi Franchise Resale karena salah lokasi. Kesimpulan hasil survei ternyata berbeda dengan kenyataan di lapangan. Franchisee memiliki hak untuk relokasi, tapi tidak memiliki cukup dana untuk melakukan relokasi tersebut. Bila Resale dilakukan di tahun kedua atau ketiga, dan franchisor mengizinkan Resale ini dilakukan dengan relokasi, maka bisa saja di Lokasi baru nanti kinerjanya menjadi jauh lebih baik. Umumnya Franchise Resale harus sepengetahuan dan seijin franchisor. Jadi jangan melakukan transaksi dengan franchisee tanpa sepengetahuan franchisor. Ingat bahwa franchising itu memanfaatkan merek milik franchisor.
Read More (954 views)
Franchised & Managed (by Fran…
Disebut juga Licensed & Operated, skema Franchised & Managed ini biasa dijumpai dalam kerja sama waralaba atau lisensi manajemen operasional hotel. Skema ini digunakan pula oleh Indomaret dan Alfamart. Dalam skema ini franchisee menyediakan seluruh modal yang dibutuhkan. Perizinan dan perpajakan atas nama franchisee, namun operasional harian dikelola oleh tim franchisor, termasuk manajemen keuangannya. Karena perizinan operasional bisnis atas nama franchisee, maka pemberi kerja dari para pegawai adalah franchisee pula. Skema ini dipilih untuk memberikan tingkat pengendalian yang lebih tinggi daripada franchising yang operasional hariannya dikelola oleh franchisee. Untuk bisa menjalankan skema ini tentu saja franchisor harus mampu melakukan pencatatan pembukuan yang dapat dipertanggung jawabkan. Franchisee tentu punya hak untuk melakukan audit, namun biasanya hak ini hanya dapat dilakukan dengan menunjuk Kantor Akuntan Publik yang ada baiknya sudah disepakati bersama saat penandatanganan perjanjian kerja sama.
Read More (763 views)
Kelengkapan Dokumen Prospektu…
Prospektus Penawaran Waralaba diatur melalui Permendag No. 71 Tahun 2019, tepatnya pada Bab 1 Pasal 1 yang berisikan tentang ketentuan isi prospektus penawaran waralaba setidaknya memuat: Data identitas Pemberi Waralaba atau Pemberi Waralaba Lanjutan, yaitu fotokopi KTP atau paspor pemilik usaha apabila perseorangan, dan fotokopi KTP atau paspor para pemegang saham, komisaris, dan direksi apabila berupa badan usaha. Legalitas usaha Waralaba, yaitu izin teknis seperti Surat Izin Usaha Perdagangan (SIUP), Izin Tetap Usaha Pariwisata, Surat Izin Pendirian Satuan Pendidikan, atau izin usaha yang berlaku di negara Pemberi Waralaba. Sejarah kegiatan usaha, yaitu uraian yang mencakup antara lain mengenai pendirian usaha, kegiatan usaha, dan pengembangan usaha. Struktur organisasi Pemberi Waralaba atau Pemberi Waralaba Lanjutan, yaitu struktur organisasi usaha Pemberi Waralaba atau Pemberi Waralaba Lanjutan mulai dari Komisaris dan Direksi sampai dengan ke tingkat operasionalnya. Laporan keuangan 2 tahun terakhir, yaitu laporan keuangan atau neraca keuangan Pemberi Waralaba atau Pemberi Waralaba Lanjutan untuk periode tahun pajak 2 tahun terakhir yang telah diaudit oleh akuntan publik. Bagi Pemberi Waralaba atau Pemberi Waralaba Lanjutan yang termasuk dalam skala usaha mikro dan kecil, laporan keuangan dimaksud tidak perlu diaudit. Jumlah tempat usaha, yaitu gerai/tempat usaha Waralaba sesuai dengan kabupaten/kota domisili untuk Pemberi Waralaba atau Pemberi Waralaba Lanjutan berasal dari dalam negeri dan sesuai dengan negara domisili gerai/tempat usaha untuk Pemberi Waralaba atau Pemberi Waralaba Lanjutan berasal dari luar negeri. Daftar Penerima Waralaba atau Penerima Waralaba Lanjutan, yaitu daftar nama dan alamat Penerima Waralaba atau Penerima Waralaba Lanjutan, baik yang berdomisili di Indonesia maupun di luar negeri. Hak dan kewajiban Pemberi Waralaba atau Pemberi Waralaba Lanjutan dan Penerima Waralaba atau Penerima Waralaba Lanjutan, yaitu hak dan kewajiban yang meliputi: a. Pemberi Waralaba atau Pemberi Waralaba Lanjutan Hak untuk menerima fee atau royalty dari Penerima Waralaba atau Penerima Waralaba Lanjutan; dan Kewajiban untuk memberikan pembinaan secara berkesinambungan kepada Penerima Waralaba dan Penerima Waralaba Lanjutan. b. Penerima Waralaba atau Penerima Waralaba Lanjutan Hak untuk menggunakan Hak Kekayaan Intelektual atau Ciri Khas Usaha yang dimiliki Pemberi Waralaba; dan Kewajiban untuk menjaga kode etik/kerahasiaan Hak Kekayaan Intelektual (HKI) atau Ciri Khas Usaha yang diberikan Pemberi Waralaba. HKI yang memuat informasi mengenai HKI sebagai Ciri Khas Usaha yang diberikan Pemberi Waralaba, termasuk status pendaftaran HKI. Yang dimaksud dengan Pemberi Waralaba Lanjutan (subfranchisor), adalah Penerima Waralaba yang memiliki hak untuk mengikat Perjanjian Waralaba Lanjutan (Subfranchise Agreement). Yang dimaksud dengan HKI bisa berarti merek, hak cipta, paten, design industri, dan sebagainya.
Read More (1045 views)
Prosedur Mendaftarkan Waralab…
Bila bisnis Anda memenuhi persyaratan untuk mendaftar STPW, maka bisnis Anda dapat melakukan pendaftaran STPW. Tanpa STPW, Anda DILARANG menawarkan dan/atau mengikat Perjanjian Waralaba di Indonesia. Regulasi waralaba memberikan wewenang pelaksanaan pengawasan waralaba secara nasional kepada Direktorat Jenderal Perdagangan Dalam Negeri (PDN) dari Kementerian Perdagangan. Pendaftaran STPW dilakukan secara online melalui http://sipt.kemendag.go.id/, platform Sistem Informasi Perizinan Terpadu (SIPT) milik PDN-Kemendag. Adapun langkah-langkahnya sebagai berikut: Mula-mula Anda mendaftarkan usaha Anda di portal Online Single Submission (OSS) https://oss.go.id/ untuk mendapatkan Nomor Induk Berusaha (NIB). Anda mendaftar pada portal http://sipt.kemendag.go.id/ dengan menekan “Daftar Hak Akses” yang dilanjutkan dengan pengisian data perusahaan secara umum, meliputi NIB, profil perusahaan, penanggung jawab perusahaan, dan koordinator SIPT. Setelah status pendaftaran diterima, Anda akan mendapat username dan password melalui email yang terdaftar untuk digunakan login pada portal tersebut. Anda kemudian memilih menu perizinan dan memilih izin “STPW (Pemberi Waralaba Dalam Negeri/Luar Negeri)” dan mengisi jenis perizinan “Baru.” Kemudian, Anda dapat melengkapi pop-up berisikan data yang dibutuhkan, meliputi data pemohon, data perusahaan, data pemilik/penanggung jawab, data tempat usaha, data jenis & merek usaha, dan data legalitas & persyaratan (Prospektus Penawaran Waralaba). Umumnya data yang perlu dimasukkan adalah informasi umum mengenai perusahaan yang sudah Anda miliki, dokumen tambahan yang perlu dimasukkan dalam pengajuan STPW ini adalah Prospektus Penawaran Waralaba. Ketentuan apa saja yang termuat dalam prospektus dapat Anda lihat di artikel "Kelengkapan Dokumen Prospektus Penawaran Waralaba". Setelah menyelesaikan prosedur pendaftaran STPW, maka Kemendag akan melakukan pemeriksaan dan apabila disetujui, STPW dapat Anda download pada portal OSS.
Read More (2786 views)
STPW, Surat Tanda Pendaftaran…
STPW atau Surat Tanda Pendaftaran Waralaba adalah izin khusus yang wajib dimiliki pebisnis agar secara legal berhak menjalankan bisnis waralaba di wilayah Republik Indonesia. STPW ini terdiri dari STPW Pemberi Waralaba dan STPW Penerima Waralaba. STPW Pemberi Waralaba terkait izin untuk menawarkan kerja sama waralaba. STPW Penerima Waralaba terkait izin untuk menjalankan bisnis yang menggunakan pemberian waralaba oleh Franchisor yang sudah memiliki STPW Pemberi Waralaba. Untuk dapat menjadi Pemberi Waralaba, ada persyaratan yang telah ditetapkan pemerintah, yaitu: Memiliki ciri khas usaha; Terbukti sudah memberikan keuntungan; Memiliki standar atas pelayanan dan barang dan/atau jasa yang ditawarkan yang dibuat secara tertulis; Mudah diajarkan dan diaplikasikan; Adanya dukungan yang berkesinambungan; dan Hak Kekayaan Intelektual (HKI) yang telah terdaftar. Selain 6 syarat tersebut, di bagian Penjelasan dari PP Nomor 42 Tahun 2007 yang menjadi landasan pengaturan waralaba disebutkan pula bahwa sebagai bukti sudah memberikan keuntungan, Pemberi Waralaba sudah memiliki pengalaman menjalankan bisnis yang hendak diwaralabakan minimal sekitar 5 tahun. Perlu dipahami pula bahwa setelah memperoleh STPW, ada kewajiban menyampaikan Laporan Kegiatan Tahunan dan kewajiban lain seperti memasang simbol “W” dari Kemendag. Prosedur mendaftarkan waralaba dapat dipelajari dilihat dalam artikel berjudul "Prosedur Mendaftarkan Waralaba ke Kemendag".
Read More (1024 views)
Franchise dan Kemitraan
Franchise atau Waralaba adalah bentuk kerja sama bisnis dengan ciri-ciri sebagai berikut: Pengunaan merek milik Pemberi Waralaba (franchisor) oleh Penerima Waralaba (franchisee). Pengendalian standar prosedur operasional oleh franchisor. Dukungan teknis (pelatihan & konsultasi) operasional oleh franchisor agar standar kualitas layanan dan produk dapat dicapai. Kegiatan pemasaran dan promosi oleh franchisor. Pembayaran biaya-biaya terkait waralaba oleh franchisee kepada franchisor. Untuk teknis perizinan, pemerintah Republik Indonesia dalam hal ini Kementerian Perdagangan, mengatur persyaratan untuk bisa mendaftarkan diri ke Kemendag, agar secara legal boleh menawarkan kerja sama waralaba. Persyaratan itu dapat dilihat dalam artikel berjudul "STPW, Surat Tanda Pendaftaran Waralaba". Kemitraan adalah kerja sama dan memiliki makna yang lebih luas daripada waralaba. Kemitraan bisa berarti waralaba, namun bisa juga berarti kerja sama patungan (join venture), kerja sama sewa imbal hasil, kerja sama inti plasma, kerja sama lisensi, distributorship, keagenan, dan sebagainya. KlikFranchise menyediakan informasi mengenai Waralaba dan Kemitraan. Sesuai aturan hukum yang berlaku, yang belum memiliki STPW akan masuk kelompok Kemitraan. Selengkapnya mengenai perbedaan franchise dengan kemitraan dapat anda baca di Franchise dan Kemitraan, Kenali Bedanya!
Read More (1638 views)